Jumat, 09 Juli 2010

Potensi Rembang Zaman Dulu

Pada jaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, semakin banyak sumber-sumber yang bisa diperoleh dan bisa memberikan informasi mengenai potensi ekonomi daerah Rembang sebagai kota perdagangan maritim. Namun demikian kayu jati tetap merupakan barang dagangan utama di daerah Rembang. Hal itu dapat diketahui dari adanya perdagangan maritim di Rembang yang didukung oleh melimpahnya bahan kayu jati, yaitu perahu sedang berukuran 1,465 last (1 last = 300 ton) dan tongkang dengan pemasaran di berbagai daerah Jawa kecuali Batavia, Semarang dan Surabaya. Di samping itu kota Rembang juga terdapat industri kecil yang memproduksi suku cadang kapal atau perahu seperti kain layar, tali temali, dan sebagai nya.


Namun demikian hutan kayu di Rembang menjadi semakin rusak karena terlalu banyak ditebangt pada jaman Kultur Stelsel. Kebutuhan kayu yang amat banyak  pada waktu itu adalah untuk membangun sarana infrastruktur dalam mendukung pelaksanaan Kultur Stelsel baik di Rembang maupun daerah-daerah sekitarnya, antara lain untuk pembangunan jembatan, los-los atau gudang tembakau, pabrik pengolahan hasil tanaman ekspor dan sebagainya. Bahkan pembangunan benteng di Ambarawa dan Willem I di Semarang tahun 1836 bahan kayunya (jati) diambilkan dari Rembang. Hal itulah yang menjadi salah satu sebab utama merosotnya industri perkapalan di Rembang sejak pertengahan kedua abad ke-19.

Pada awal abad ke-19, di Jawa banyak terjadi perubahan-perubahan ketatanegaraan, baik pada masa Daendels maupun Rafles. Rupanya dasar-dasar yang diterapkan Rafles masih tetap dipertahankan, paling tidak sampai tahun 1830.70 pejabat pemerintah kolonial dibagi menjadi dua golongan, yaitu Korps Pemerintahan Belanda atau Binnenlands Bestuur (BB) yang terdiri dari para pejabat Eropa dari Gubernur, Residen, Asisten Residen,Kontrolir, Adspiran Kontrolir dan Korps Pemerintahan Pribumi atau Inlands Bestuur (IB) yang terdiri dari pejabat-pejabat pribumi. IB melaksanakan fungsi pemerintahan berada di bawah pengawasan BB.

Setiap Karesidenan mempunyai pemerintahan pribumi dengan hierarki atau urutan kepangkatan sendiri. Terdapat variasi pada setiap karestdenan dengan cara memerintah yang berbeda-beda. Para Residen dan Asisten Residen biasanya mempunyai cara-cara tersendiri tentang bagaimana mengurus para pejabat pribumi atau orang Jawa pada umumnya.72 Bupati merupakan pejabat di bawah Residen dan bertempat tinggal di ibukota kabupaten yang merupakan kota penting, tetapi kebanyakan kota pelabuhan kecil atau pasar kecil di pedalaman. Para Bupati diinstruksikan untuk mengawasi urusan-urusan pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan, irigasi, pemeliharaan jalan, dan pengumpulan pajak di wilayah kabupatennya.

Dalam memerintah Karesidenan Rembang, Residen dibantu oleh 4 orang Bupati dari setiap kabupaten itu, sementara untuk Tuban dan Bojonegoro secara khusus diangkat Asisten Residen. Di samping itu Residen juga dibantu sekretaris karesidenan, serta notaris dan juru lelang untuk Kabupaten Rembang dan Blora. Di Afdeling Tuban dan Bojonegoro, para Asisten Residen dibebani tugas-tugas itu. Ada lima kontrolir yang membantu residen dalam hal mengurusi pajak tanah dan tanaman. Untuk mengurusi kehutanan, di karesidenan ini ada 10 asisten, pegawai dan mandor pada jawatan kehutanan. Dalam bidang kekuasaan hukum, Rembang termasuk dalam wilayah wewenang Dewan Peradilan di Semarang termasuk wilayah Lembaga Warisan Semarang. Di setiap kabupaten terdapat peradilan yang dipimpin oleh hakim tinggi. Sementara untuk pengawasan barang, terutama barang-barang impor ditugaskan pada pejabat Komisi Penerima, yang juga berfungsi sebagai kepala pelabuhan di Rembang. Untuk kepentingan keagamaan bagi masyarakat yang beragama Kristen Protestan ada seorang pendeta, yang juga bertugas untuk Karesidenan Jepara. Di Rembang juga terdapat sub komisi pendidikan yang dikepalai langsung oleh residen.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Rembang Kaya akan Kayu Jati

Dari sumber VOC tahun 1778 dapat diketahui bahwa daerah Rembang pada waktu itu tidak dikepalai oleh seorang bupati. Dalam sumber tersebut terdapat daftar banyaknya balok kayu bangunan yang harus diserahkan oleh berbagai bupati di Pantai Utara Jawa kepada Kompeni yaitu sebagai berikut:


a. Bupati Brebes ……………………….500 balok
b. Bupati Pekalongan dan Batang……….800 balok
c. Bupati Jepara…………………………1800 balok
d. Bupati Kendal, Kaliwungu dan Semarang…..2000 balok
e. Bupati Kudus………………….500 balok
f.  Bupati Pati……………….900 balok
g. Bupati Juwana…………………….300 balok
h. Bupati Lasem …………………………..600 balok
i.  Bupati Tuban………………………1000 balok
j.  Kepala hutan (Boschoofden) Rembang…………….2000 balok

Dari sumber diatas menunjukkan bahwa tampaknya Rembang pada waktu itu mempunyai ibukota Kabupaten di Lasem. Hanya saja oleh karena potensi kayu yang besar di Rembang, maka Kompeni mengangkat kepala hutan (Boschoofden) sebagai pengelolanya.

Sebagai dampak positi f adanya industri perkapalan di Lasem pada jaman kolonial adalah mendorong penduduk sekitarnya untuk mengembangkan kerajinan rumah tangga (home industry) yang berupa suku cadang atau perlengkapan perahu antara lain kain layar, tali temali dan sebagai nya. Di samping itu penduduk di beberapa desa yang tinggal di tepi pantai juga melakukan usaha penangkapan ikan di laut sebagai mata pencaharian pokok mereka secara turun temurun. Usaha lain dari nelayan/penduduk di tepi pantai adalah pengeringan ikan, pembuatan garam yang diperdagangkan (eksport) ke daerah-daerah lain.66

Ketika VOC mengalami kebangkrutan dan tidak dapat lagi melaksanakan tujuan kolonialnya secara efektif untuk kepentingan negeri induk, maka sebagai gntinya dibentuk pemerintahan kolonial berdasarkan UUD Belanda pada tahun 1798.67 Pada saat VOC secara resmi dinyatakan bubar,68 daerah Pantai Utara Jawa merupakan salah satu daerah yang berhasil dikuasai oleh VOC, termasuk di dalam nya daerah Rembang. Dengan demikian daerah Rembang sejak saat itu berstatus sebagai daerah jajahan dibawah kekuasaan Kolonial Belanda.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Tokoh Panji Margono

Dari banyak kitab suci, temasuk di dalam nya adalah Sabda Badrasanti, setelah diserahkan oleh penduduk dikumpulkan di alun-alun Kabupaten Lasem kemudian dibakar dengan disaksikan banyak orang. Di samping itu banyak patung-patung pemujaan Siwa dan Budha dihancurkan dan dibuang ke laut. Hanya kitab milik Raden Panji Margana yang tidak ikut dibakar karena orang-orang Belanda pada waktu itu tidak berani menyitanya. Raden Margana adalah putra Adipati Lasem P. Tejakusuma, tetapi ia tidak menggantikan kedudukan ayahnya karena lebih suka menjadi orang yang bebas yaitu bertani dan berdagang. Pada waktu itu berkecamuknya pemberontakan Cina Ia menjadi salah satu tokohnya di Lasem dengan memakai nama samaran Cina yaitu Tan Pan Ciang alias Tan Mo Tjwan alias Encek Macan, dan bekerjasama dengan tokoh pemberontak Cina yaitu Tan Ke Wi dan Ui Ing Kiat.


Oleh karena adanya ancaman pembunuhan oleh para sisa-sisa pemberontak terhadap Suro Adimenggolo III, maka pada tahun 1750 Suro Adimenggolo III memindahkan rumah dan pemerintahan kabupaten Lasem ke Rembang yaitu di Magersari.

Dari dua sumber tersebut diatas, lokal dan kolonial terdapat perbedaan nama bupati Lasem pada saat yang bersamaan. Apabila sumber kolonial menyebutkan Bupati Sumanegara, maka sumber lokal menyebutkan nama Suro Adimenggolo III yang pada tahun 1751 digantikan oleh Tumenggung Citrasoma.65 Mungkinkah Suro Adimenggolo adalah gelar yang dipakai oleh Sumanegara? Sesudah tahun 1751 atau sesudah Tumenggung Citrasoma tidak diperoleh informasi mengenai jabatan Bupati Rembang . Ada kemungkinan jabatan Bupati Rembang dihapuskan atau dijadikan satu dengan Kabupaten Lasem.

Dari sumber lokal yaitu Sabda Badra-Santi diperoleh informasi bahwa bupati Lasem yaitu Surodimenggolo III di kembalikan ke Semarang karena dianggap tidak mampu menjaga ketertiban dan keamanan, pada waktu itu terjadi kekacauan atau perusuhan yang dilakukan oleh sisa-sisa pemberontakan Cina. Sebagai penggantinya maka diangkat Tumenggung Citrosoma menjadi Bupati Lasem pada tahun 1751.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Desa Tulis Bekas Kedudukan Bupati Lasem

Menurut sumber lokal yaitu Sabda Badrasanti, dapat diperoleh informasi bahwa pada tahun 1745 Gubernur Van Imbof mengangkat Suro Adimenggolo sebagai bupati Lasem yang berkedudukan di Tulis. Pada waktu itu di Lasem masih banyak terdapat sisa-sisa pemberontak baik dari kalangan Cina sendiri maupun dari orang-orang Jawa. Hal itu bisa dimengerti karena daerah Lasem merupakan pertahanan terakhir dari pemberontakan Cina.64 Di samping itu Lasem juga merupakan pemukiman orang-orang Cina yang ramai sejak abad ke-16. Oleh karena Suro Adimenggolo adalah bupati yang diangkat oleh Kompeni dan bersekutu dengan Kompeni, maka masyarakat Lasem khususnya sisa pemberontak sangat membenci dan bahkan mengancam akan membunuh Suro Adimenggolo. Lebih-lebih Suro Adimenggolo dikenal sebagai bupati yang bersikap kasar, sombong, dan sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Pada tahun 1747 misalnya Suro Adimenggolo membuat peraturan yang sangat menyinggung perasaan masyarakat Lasem yaitu sebagai berikut:


a. Barang siapa yang bersekutu dengan pemberontak (brandal) Cina, akan dijatuhi hukuman siksa sampai mati.
b. Kepada seluruh penduduk Lasem dilarang menyimpan kitab suci Siwa atau Budha, buku-buku mengenai cerita Lasem dan catatan mengenai pemberontakan (brandal) Lasem, dan barang siapa masih memiliki harus menyerahkannya ke kabupaten, bagi yang melakukan pelanggaran atas larangan itu akan dikenai hukuman cambuk 25kali.
c. Semua patung-patung harus dimusnahkan, sedangkan candi tempat pemujaan harus dibongkar.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Rembang dan Perjanjian dengan Kompeni

Dua pasal terpenting dalam perjanjian tersebut terutama yang ada kaitannya dengan daerah Rembang adalah pasal 5 dan 9 yang isinya adalah sebagai berikut:


1. Kompeni memberikan pengampunan kepada semua Bupati dan penduduk yang terlibat dalam pemberontakan yang terjadi sesudah tahun 1740. Di samping itu para Bupati Pasisiran tidak lagi terikat dengan kewajiban untuk menghadap ke Kraton Mataram (Kartasura) sebagaimana biasa pada setiap tahunnya, kecuali atas persetujuan dan perintah Kompeni.

2. Semua daerah-daerah yang dirampas Kompeni (dari tangan pemberontak) selama perang akan di serahkan kepada Kompeni, yaitu daerah-daerah:

a. Semua daerah di ujung timur Jawa, yaitu yang terletak di sebelah timur dari garis yang ditarik dari Pasuruan ke selatan sampai ke Pantai Selatan Jawa.
b. Surabaya dan kabupaten-kabupaten yang termasuk didalamnya.
c. Semua daerah yang berjarak minimal 600 roede dari pantai dan muara-muara sungai yang mengitari seluruh pulau Jawa.
d. Semua distrik di Rembang dan Jepara, termasuk hutan-hutan yang ada didalamnya.
e. Syah Bandar di Semarang, Kaligawe, Terbaya, dan Gumulak.
f. Semua perjanjian tahun 1677 dan 1705 masih tetap berlaku.

Dalam kaitannya dengan pasal 5 a perjanjian tersebut pihak Kompeni akan tetap menghormati dan menjalin hubungan kerjasama dengan para Bupati pantai utara Jawa sebagai kepala daerah di wilayah nya masing-masing. Untuk itu akan segera diadakan registrasi dan penetapan para kepala daerah tersebut secara resmi menjadi bupati-bupati di wilayah Kompeni. Disamping itu juga akan diangkat Bupati-bupati baru jika diperlukan.

Dengan demikian seharusnya Bupati Rembang yaitu Ngabei Anggajaya memperoleh pengampunan seperti bupati-bupati lainnya di Pantai Utara Jawa. Akan tetapi pada tahun 1745 Ngabei Anggajaya dipecat dari jabatannya dengan tuduhan keterlibatannya dalam pemberontakan Pacina. Pengingkaran oleh Kompeni atas pasal 5 a perjanjian 11 Nopember 1743 itu mungkin sekali atas pertimbangan atau berkaitan erat dengan peristiwa penghancuran Garnisun Kompeni dan terbunuhnya Residen Rembang dalam pertempuran yang terjadi pada tanggal 27 Juli 1741. Namun demikian pada tahun 1749, tepatnya pada tanggal 7 Nopember, bertepatan dengan penetapan jabatan para Bupati Pantai Utara Jawa yang berada dibawah kekuasaan Kompeni, nama Anggadjaja termasuk salah satu diantara nama-nama bupati lainnya. Nampaknya hal itu merupakan kiat dari politik kolonial pada umumnya, yang selalu berusaha untuk memanfaatkan kepala-kepala pribumi yang disegani oleh rakyatnya untuk tetap dapat menduduki jabatan supaya eksploitasi atas tanah dan penduduk di Jawa akan menjadi lebih efektif.

Di samping itu apabila dianggap perlu Kompeni akan mengangkat bupati-bupati baru. Dari pasal itu dapat di interprestasikan bahwa pihak Kompeni sesungguhnya mempunyai kekuasaan penuh atas para bupati di Pantai Utara Jawa, baik dalam pengangkatan maupun dalam pemecatannya. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 1745 bupati Rembang pada waktu itu yaitu Ngabei Anggajaya dipecat dari jabatannya karena dituduh terlibat dalam “pemberontakan Cina”. Kemudian pada tanggal 7 Nopember 1749 di Semarang, Kompeni secara resmi menetapkan/mengangkat jabatan para bupati Pantai Utara Jawa.63 Untuk daerah Lasem yang diangkat dan ditetapkan menjadi Bupati adalah Tumenggung Sumanegara, sedangkan untuk daerah Rembang kompeni kembali mengangkat Ngabei Anggajaya sebagai Bupati di daerah itu. Nampaknya dalam hal itu Kompeni memberi pengampunan kepada Anggajaya sebagai seorang tokoh yang sangat disegani masyarakat Rembang waktu itu. Dengan demikian pada tahun itu antara Lasem dan Rembang mempunyai kedudukan yang sama sebagai daerah kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati.

Untuk bupati Tuban pada waktu belum ditetapkan karena masih terdapat perbedaan pendapat atau perundingan dengan pihak kesunanan Kartasura. Dalam hal ini Kartasura masih menghendaki Tuban tetap menjadi wilayah kekuasaannya, Namun demikian diketahuo bahwa Tuban di kemudian hari tetap dianeksi oleh Kompeni.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Rembang dan Perang China

Pada tahun 1740 meletus pemberontakan orang-orang Cina yang terjadi di Batavia akan tetapi kemudian meluas hampir seluruh Jawa. Di Jawa Tengah khususnya di ibukota Kerajaan Mataram yaitu Kartasura, para pemberontak orang-orang Cina itu pada mulanya memang mendapat dukungan oleh Raja Kartasura pada waktu itu yaitu Paku Buwana II. Sebagai akibatnya benteng kompeni di Kartasura diserang dan dikuasai oleh para pemberontak. Peristiwa yang naas bagi Kompeni ini terjadi pada tahun 1741, bahkan komandan Benteng yang bernama Vilsen dibunuh, sedangkan prajurit kompeni lainnya yang bersedia masuk Islam diberi pengampunan.58 Namun demikian setelah Kompeni menghimpun kekuasaan militer yang besar di sepanjang Pantai Utara Jawa, Paku Buwana II berbalik menarik dukungannya kepada “pemberontak”. Selanjutnya dengan terlebih dahulu meminta maaf kepada pihak Kompeni, Paku Buwana II bergabung dan bersekutu dengan Kompeni untuk bersama-sama menumpas pemberontakan Cina.


Pada tanggal 17 Juli 1741, loji di Rembang juga telah diduduki dan dibakar pasukan Tionghoa. Tentang armada kekuatan pasukan pemberontak, Willem G.J. Remmelink, menyebutkan, bahwa pada 1 Oktober 1742 menurut keterangan yang diterima Steinmets, adalah hari Joosje (JOSS), sebuah armada Cina berlayar ke luar dari Teluk Rembang. Armada ini terdiri dari 20 kapal dan sebuah mesin “aneh”, semacam rakit yang terbuat dari balok-balok besar yang dibungkus kulit sapi dan dipersenjatai meriam, dengan panjang 50 kaki dan lebar 30 kaki. Senapan-senapan Kompeni tidak berdaya menghadapinya. Keesokan harinya ketika armada sedang berlayar dalam cuaca tenang, salah satu perahu berhasil mendekati mesin aneh itu, tapi ketika kru Kompeni berteriak “menang” orang Cina meletakkan senjata rahasia itu. Ledakan besar yang terjadi merusak beberapa kapal Kompeni. Mereka berhasil dipukul mundur dan Kompeni bahkan berhasil menyelamatkan beberapa meriam dari mesin aneh itu. Sayangnya mesin itu sendiri tidak dapat diselamatkan.

Dalam perkembangannya, setelah mengetahui pengkhianatan Paku Buwana II, sebagai imbangan pihak pemberontak mengangkat Mas Garendi (cucu Sultan Mas yang akhirnya di buang ke Sailan) sebagai susuhanan ( raja) dengan gelar Sunan Amangjurat.60 Oleh karena sebagai pemimpin pemberontak Cina (kulit kuning) maka Mas Garendi lebih dikenal sebagai Sunan Kuning. Pada tahun 1742 pemberontakan Cina di bawah pimpinan Mas Garendi berhasil merebut dan menguasai Kraton Mataram, bahkan bagian-bagian terpenting dari kraton tersebut dibakar. Pada waktu itu Paku Buwana II beserta beberapa pengikutnya dan beberapa orang Belanda dua diantaranya adalah Hohendrof dan Hogewits (utusan kompeni) melarikan diri ke Ponorogo. Kepada Kompeni Paku Buwana meminta dengan sangat agar bersedia menumpas pemberontak dan mengembalikan kedudukannya sebagai Raja Mataram. Untuk itu Paku Buwana berjanji akan menyerahkan daerah-daerahnya di wilayah Pasisiran dan mengangkat patih Kartasura kepada kompeni.

Pihak Kompeni memang menyetujui permintaan Paku Buwana II tersebut, akan tetapi kompeni lebih dulu mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota-kota pantai utara Jawa. Maka terjadilah pertempuran di Bicak (Kudus) antara pasukan Kompeni melawan pasukan pemberontak. Pasukan pemberontak pada waktu itu berada dibawah pimpinan Martapura (Bupati Grobogan), Mangun Oneng (Bupati Pati) dan Panjang (tokoh pemberontak Cina) yang menggerakkan rakyat Rembang dan orang-orang Cina dari Rembang, serta Tambi seorang Bugis bekas pimpinan pedagang India di Juwana. Di pihak Kompeni yang bertempur pada waktu itu adalah pasukan kasunanan yang telah bersekutu dengan Kompeni dibawah pimpinan Pringgalaya. Dalam pertempuran tanggal 7 Mei 1742 pasukan Pringgalaya mengalami kekalahan total.

Di front yang lain pasukan Kompeni di bawah pimpinan Kapten Mom pada bulan Agustus berhasil menghalau pemberontak yang menguasai Demak. Pasukan pemberontak yang mengundurkan diri ke Welahan juga dapat dihalau kembali oleh pasukan Kapten Mom dalam pertempuran pada tanggal 24 Agustus 1742. Pada waktu itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Singseh dan Suryokusumo (yang ternyata adalah Raden Mas Said). Pasukan pemberontak kemudian mengundurkan diri lagi ke timur untuk bergabung dengan pemberontak yang bermarkas di Kudus. Di kota pasukan pemberontak kembali dihalau oleh pasukan Kapten Mom. Mereka terpaksa mengundurkan diri lagi, sebagian ke Grobogan (dibawah pimpinan Martapura), dan sebagian lagi ke arah timur ke Pati dan Rembang.

Rencana Kapten Mom selanjutnya adalah merebut Pati dan Rembang. Dengan bantuan pasukan yang didatangkan dari Semarang di bawah pimpinan Steinmets mereka bergerak menuju Pati dan Juwana. Akan tetapi pasukan pemberontak pada waktu itu telah mengundurkan diri ke Rembang. Maka pada tanggal 19 Oktober 1742 terjadilah pertempuran di kota Rembang. Dalam pertempuran itu timbul pasukan pemberontakan tidak mampu menghadapi pasukan Kompeni , sehingga mereka melarikan diri ke Lasem.

Setelah seluruh pantai Utara Jawa berhasil direbut oleh Kompeni, selanjutnya adalah merebut Kraton Kartasura dan mengembalikan tahta Mataram kepada Paku Buwana II. Usaha Kompeni itu memang berhasil dengan ditangkapnya Mas Gaendi sebagai pimpinan pemberontak. Sebagai hukumannya dibuang ke Sailan pada tahun 1743. Dengan berakhirnya penumpasan pemberontakan Cina, maka pada gilirannya Kompeni mengajukan tuntutan atau menagih janji Paku Buwana II pada waktu pelariannya di Ponorogo. Tuntutan Kompeni itu akhirnya dipenuhi dan dituangkan dalam perjanjian 11 Nopember 1743.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Pelabuhan Rembang Zaman Dulu

Pada zaman Mataram Kartasura kota Pelabuhan Rembang merupakan salah satu daerah milik mataram yang berada di Pasisiran Timur. Bersama dengan daerah Lasem, Blora dan Jipang (Cepu). Rembang mempunyai arti ekonomis yang penting bagi Mataram, terutama karena daerah-daerah tersebut merupakan daerah penghasil kayu jati yang mahal harganya. Dengan demikian pada masa ini Rembang merupakan daerah sendiri secara administratif terpisah dari Lasem maupun Tuban. Lagi pula di Rembang juga terdapat “bupati” sendiri sebagai kepala daerah sendiri yaitu bupati seperti halnya di Lasem dan Tuban.


Posisi Rembang sebagai salah satu Pelabuhan Mataram yang cukup ramai, juga menjadi incaran para bajak laut Makasar. Pada tahun 1675 bajak laut Makasar yang bersekutu dengan Trunajaya dari Madura menyeberang ke Rembang. Sasaran mereka juga ditujukan kepada para pedagang dan pengusaha kayu orang Cina dan Belanda yang tinggal di sana.54 Rembang sempat dihancurkan oleh pemberontak Madura di bawah Trunajaya. Namun para pemberontak dapat diusir oleh pasukan Mataram dengan bantuan VOC. Pemberontakan itu sendiri dapat ditumpas habis pada tahun 1679.55 Sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Mataram, VOC mendirikan benteng di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa. Ia membangun benteng di Semarang, Jepara dan Surabaya, membangun loji di Tegal, Pekalongan, dan Cirebon, menempatkan pasukan penjaga di Gersik, dan membuat galangan kapal di Demak dan Rembang. Bahkan di jantung Mataram sendiri, di ibukota Kartasura dibangun benteng VOC atas “permintaan” Sunan.

Pada masa itu Rembang berkembang sebagai penghasil kayu jati, pengekspor garam, dan produsen kapal, baik untuk Mataram maupun untuk VOC. Pada tahun 1657 Sunan Amangkurat I memerintahkan Tumenggung Pati membuat 1 kapal dan 1 kapal di pesan oleh duta Makasar. Namun kekuasaan VOC yang semakin meluas ke daerah Rembang, baik di bidang perdagangan kayu dan pembuatan kapal sangat merisaukan Mataram. Dalam usaha membendung ekspansi VOC ini Sunan memerintahkan Adipati Sindurejo untuk menguasai kembali desa-desa penebang kayu di Rembang dan Lasem, yang pada sekitar tahun 1680-an diserahkan kepada VOC untuk keperluan penebangan dan pengangkutan kayu. Secara khusus Sunan mengangkat Bupati Rembang yang mengurus masalah kontrak penebangan dan penjulan kayu jati, yang mendatangkan keuntungan besar itu, pada tahun 1685.

Rembang dan Mataram Kartasura

Pada masa Amangkurat I Rembang belum merupakan daerah kabupaten yang berdiri sendiri, akan tetapi masih sebagai bagian dari wilayah kekuasaan “Gubernur” Pati, bersama-sama dengan daerah Juwana dan Pajangkongan.

Pada jaman Mataram Kartasura yang mulai pada tahun 1680, daerah Rembang termasuk dalam wilayah Pasisiran Timur. Hal ini dapat diketahui dalam  sistem politik dan pembagian wilayah yang berlaku pada waktu itu, yaitu yang terdiri dari wilayah Kutagara atau Kuta Negara, wilayah Negara Agung, wilayah Mancanegara dan wilayah Pasisiran.

Wilayah Kuta Negara merupakan wilayah inti dari Kerajaan Mataram. Di Kutagara inilah terletak kraton yang sekaligus merupakan pusat kerajaan tempat tinggal raja beserta para keluarganya dan para pejabat tinggi kerajaan  Kutagara jug merupakan pusat kerajaan yang berfungsi sebagai Ibukota, tempat raja dan para pejabat tinggi kerajaan mengendalikan pemerintahan diseluruh wilayah kerajaan.

Di luar wilayah Kutagara yang sesungguhnya juga masih merupakan wilayah inti kerajaan adalah wilayah Negara Agung. Wilayah ini mengitari wilayah Kutagara, dan di wilayah itulah terletak Tanah-tanah lungguh atau Tanah Aponage para bangsawan kraton dan pejabat tinggi kerajaan yang tinggal di Kutagara.

Sesuai dengan arah dan letaknya, terdapat dua wilayah Mancanegara, yaitu Mancanegara Barat dan Mancanegara Timur. Berbeda dengan wilayah Negara Agung, di wilayah Mancanegara tidak terdapat tanah-tanah lungguh atau aponage dari para pejabat tinggi dan bangsawan kraton.

Wilayah Pasisiran adalah wilayah kerajaan yang letaknya paling jauh dari pusat kerajaan.Sesuai dengan arah dan letaknya, wilayah Pasisiran juga dibagi menjadi dua bagian yaitu Pasisiran Timur dan Pasisiran Barat. Sampai pada masa pemerintahan raja Paku Buwana II di Kartasura, wilayah Pasisiran Barat masih meliputi daerah-daerah : Pekalongan (8.000 karya); Brebes dan Bentar (3.040 karya); Tegal (4.000 karya); Demak (6.000 karya); Kaliwungu (2.300 karya); Kendal (2.000 karya); Batang (2.000 karya); Pemalang (2.000 karya); Wilayah Pasisiran Timur meliputi daerah-daerah : Jepara (4.000 karya); Kudus (1.000 karya);; Cengkal (700 karya); Pati (4.000 karya); Juwana (1.000 karya); Rembang (500 karya); Pajangkungan (300 karya); Lamongan (1.000 karya); Gersik (2.800 karya); Surabaya ( 6.000 karya) Pasuruhan dan Bangil (3.000 karya); Madura (18.000 karya).51

Dari data-data mengenai luas masing-masing daerah di wilayah Pasisiran ternyata daerah Rembang hanya meliputi luas 500 karya. Hal itu bukan berarti bahwa daerah Rembang merupakan wilayah yang sempit, akan tetapi kemungkinannya adalah bahwa jumlah keluarga petani atau yang pada jaman itu disebut dengan istilah cacah atau karya masih relatif sedikit. Banyaknya bau atau karya di suatu daerah menunjuk pada banyaknya petani penggarap yang mengerjakan tanah-tanah persawahan dan terkena pajak. Oleh karena itu daerah Rembang yang sebagian wilayahnya pada waktu itu merupakan daerah hutan yang terkenal dengan kayu jatinya, tidak diperhitungkan dalam administrasi Jawa yang mendata banyaknya cacah (keluarga petani).

Bagaimana arti penting daerah Rembang bagi Mataram, khususnya dari segi ekonomi kurang bisa diketahui secara rinci/lengkap, karena langkanya sumber-sumber lokal (pribumi) yang bisa memberi informasi mengenai hal itu. Oleh karena itu hanya sumber Belandalah (VOC),walaupun hanya terbatas, dapat memberikan petunjuk mengenai potensi ekonomi daerah Rembang.
Pada masa itu Rembang sudah menjadi tempat yang sangat penting dan segi ekonomi, terutama karena Rembang merupakan pelabuhan yang cukup ramai, khususnya untuk penjualan dan pengangkutan kayu. Kayu jati sebagai bahan bangunan yang mahal harganya dihasilkan dari hutan-hutan dari daerah Rembang, Lasem, Blora hingga Jipang (cepu). Di samping itu sejak lama Rembang telah menjadi tempat produksi kapal bagi keperluan dagang maupun perang. Pada tahun 1651 misalnya VOC untuk pertama kali membuat 3 kapal kici (yacht) di Rembang. Dalam hal ini VOC banyak memanfaatkan tukang-tukang setempat dan juga bahan baku kayu jati yang memang tersedia dalam jumlah yang besar.

Rembang dan Sultan Agung

Dengan keberhasilan Sultan Agung menundukkan hampir semua penguasaan di Jawa, maka semua wilayah di Pulau Jawa, kecuali Cirebon, Banten dan Batavia adalah wilayah kekuasaan Mataram. Jelas sangat sukar untuk mengontrol seluruh wilayah yang sedemikian luas, lebih-lebih sebagian dari wilayah itu adalah daerah-daerah taklukan. Namun yang terpenting adalah penguasaan daerah pantai dan pelabuhan perdagangan yang merupakan sumber kekayaan yang berasal dari pajak impor, upeti para pedagang dan perdagangan yang ditaklukkan Mataram sendiri. Untuk tetap menguasai daerah-daerah pantai ini Sunan Amangkurat I, putra Sultan Agung, mengangkat 4 orang “Gubernur” pada tahun 1657 yaitu :


1). Tumenggung Pati yang selain bertanggung jawab atas daerahnya sendiri juga bertanggung jawab atas wilayah pantai Indramayu, Muara Citarum dan Batavia.

2). Ngabehi Martanata dari Jepara yang selain berkuasa atas Jepara juga bertanggung jawab atas Batang dan wilayah Jambi.

3).Tumenggung Suranata dari Demak disamping berkuasa atas Demak juga atas Palembang.

4). Ngabehi Wangsaraja dari Semarang berkuasa atas Semarang dan bertanggung jawab atas daerah Sukadana (Kalimantan).

Kamis, 13 Mei 2010

Rembang Zaman Kerajaan Islam

Pada jaman Kerajaan Demak dan kemudian jaman pajang, daerah Lasem tampaknya secara bergantian berada dibawah kekuasaan dua kerajaan tersebut, atau paling tidak mengakui rajanya sebagai yang tertinggi diantara mereka. Hal itu dapat diketahui misalnya, ketika Raja Pajang dilantik sebagai Sultan pada tahun 1581, yaitu Jakatingkir atau Sultan Hadiwijaya, dihadiri oleh raja-raja Sedayu,Tuban, Pati, Lasem,dan raja-raja pantai Jawa Timur lainnya.43 Menurut De Graaf hal ini sebagai bukti bahwa kedudukan Sultan Pajang dianggap sebagai Maharaja oleh raja-raja atau penguasa-penguasa kota-kota pelabuhan Pesisiran Timur.44 Walaupun mereka bukan merupakan vasal dari Pajang, paling tidak mereka mengakui Sultan Pajang sebagai Raja Islam dan Sultan dari para raja-raja atau penguasa kota-kota pelabuhan di Pasisiran Timur. Dalam hal ini saling hubungan mereka adalah bersifat bersahabat.

Ekspansi terakhir Senopati untuk menguasai kota-kota pantai adalah ke Tuban pada tahun 1598-1599, menurut De Graaf tidak berhasil berdasarkan kesaksian orang Belamda pada waktu itu ternyata belum dikuasai Mataram. Sebaliknya kota Pelabuhan Jepara berhasil dikuasai Mataram pada tahun 1521 A.J. seperti tertulis dalam Babad Sengkala”bedhahe kalinyamat”.

Menurut De Graaf sama dengan tahun 1599 A.D.y ternyata cocok dengan catatan orang-orang Eropa. Setahun kemudian yaitu tahun 1600, daerah Pati yang penguasanya adik ipar Senopati, menentang Mataram dan berhasil ditaklukkan dengan demikian sampai wafatnya Senopati pada tahun 1601,Mataram telah meluaskan kekuasaannya di pedalaman Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, namun hanya sebgian saja kerajaan-kerajaan pantai yang berhasil dikuasainya, yaitu Demak, Jepara, dan Pati. Pada masa ini tidak terdengar kata Rembang. Apabila Rembang termasuk wilayah kekuasaan Lasem, dan Lasem sendiri merupakan  bagian dari wilayah kerajaan Tuban, maka pada masa senopati, Rembang belum dikuasai oleh Mataram.

Minggu, 02 Mei 2010

Sejarah Rembang Versi Lain

Sampai disini berita tentang sejarah Lasem bisa diurutkan berdasarkan sumber tertulis, kemudian bagaimana kaitannya dengan Rembang?

Karena sumber tentang sejara Rembang pada masa Majapahit tidak pernah diketemukan, maka satu-satunya petunjuk tentang hal itu dapat dilihat pada buku tulisan Mbah Guru yang berjudul Sejarah Rembang. Disebutkan bahwa pada tahun Saka 1402, salah seorang darah Bangsawan Lasem yang disebut Raden Panji Singapataka membuka hutan.

kemudian pada tahun Saka 1418, setelah R.P Simgapataka sudah berhasil menyatukan orang-orang Hindhu-Jawa Tireman dan orang-orang Budha Lokeswara Kabongan, serta orang-orang PANKAWIKAN-kejawen Kasingan, juga orang-orang Islam Mbelahan, ditambah orang-orang asli dari hutan (?) yang masih menekuni agama adat KANOR ( berbau Hindhu Jawa pantang memotong dan makan daging sapi), yaitu orang-orang daerah Besi, Landhoh, Sulang, Lambangan; serta juga orang-orang Gedhug dan Karangasem yang menekuni adat KANUNG (Berbau Budha-Jawa, pantang mengganggu atau memburu kijang).

Kebijaksanaan Raden Panji Singapataka yang menambah kewibawaan Lasem itu, menimbulkan rasa bangga dan puas kakak iparnya yaitu Pangeran. Santipuspa, Adipati Lasem; maka RP Singapataka kemudian diberi penghargaan dilantik dan disahkan pemegang kekuasaan pemerintahan dengan pangkat PANEWU; sebab dapat mengatur para penduduk yang jumlahnya seribu rumah (?)

Kota pusat pemerintahan berada di desa Kasingan dan semua wilayah kekuasaannya disebut : Kapanewon Rembang; dengan disertai suatu piagam pengesahan dari Adipati Raden Panji Santipuspa di Kadipaten Lasem. Kapanewon Rembang yang dipegang oleh R.P. Singapataka menjadi daerah bagian Kabupaten Lasem. Tercatat (?) di Rembang; hari ke 14, bulan Srawana, tahun Saka; 1418 dengan Candra Sengkala; Manggala Sudira Akarya Prabu.

Kamis, 22 April 2010

Sunan Bonang dan Putri Malokha


Sunan Bonang dan Putri Malokha
Di dalam Kitab Negarakertagama maupun Pararaton tidak disebutkan adanya keturunan Bhre Lasem, hingga tidak dapat diketahui tentang genealoginya. Meskipun demikian ada beberapa Bhre Lasem yang disebut dalam Pararaton, yaitu Kusumawardhani yang dikenal sebagai Bhre Lasem Sang Ahayu (Bhre Lasem yang cantik), Ia adalah putri Hayam Wuruk dari permaisurinya yang bernama Paduka Sori, Putra Bhra Parameswara.

Kusumawardhani menikah dengan saudara sepupunya yang bernama Wikramawardhana alias Bhra Hyang Wisesa. Wikramawardhana adalah anak Dyah Nittaja, yaitu adik Hayam Wuruk yang kawin dengan Bhre Paguhan yang bernama Singhawardhana. Kemudian ada lagi yang di sebut sebagai Bhre Lasem yaitu Negarawardhani yang dikenal dengan sebutan Bhre Lasem sang Alemu (Bhre Lasem yang gemuk). Ia adalah anak Bhre Pajang yang diperistri oleh Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir. Setelah itu disebut sebagai Bhre Lasem adalah putri Bhre Wirabhumi.

Dari Pararaton diketahui, Bhre Wirabhumi mempunyai 4 orang anak, yaitu Bhre Pakembangan, Bhre Mataram yang diperistri oleh Bhre Tumapel, dan Bhre Matahun. Lasem yang terakhir dikenal adalah anak Bhre Pandan salas adalah seorang Raja Majapahit yang bergelar Bhre Pandan Salas Byah Suraprabhawa Sri Singhawikra-mawardhana. Setelah itu tidak terdengar kemunduran dan kejatuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-16.

Dewi Indu menurunkan Pangeran Badrawardhana, Pr. Badrawardhana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pr. Wijayabadra menurunkan Pr. Badranala. Ketiga keturunan Dewi Indu ini menjadi Adipati turun temurun di Lasem, serta tetap menempati Keraton Indu di Kriyan.Pr. Badranala kawin dengan Putri Campa yang bernama Bi Nang Ti, menurunkan dua putra, bernama Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santibadra.Sepeninggalan Pr.Wirabajra putra pertama, tidak menempati lagi Keraton Kriyan,tetapi pindah menempati bumi Bonang-Binangun,pada tahun Saka 1391 dekat dengan tempat kubur ibunya di Teluk Regol. Sedang Puri Kriyan ditempati Pr. Santibadra beserta istri anaknya hingga keturunannya.

Pangeran Wirabajra Menurunkan Pangeran Wiranagara yang ketika masih kecil sudah belajar agama Rosul (Islam) di Ampelgading. Pada waktu belakangan Wiranagara diambil menantu oleh Maulana Rakhmat Sunan Ampelgading, dijodohkan dengan putrinya yang pertama yang bernama Malokhah. Pr. Wiranagara kemudian menggantikan Ayahnya menjadi Adipati Binangun, menjabat menjadi Adipati baru 5 tahun sudah meninggal, pada tahun Saka 1401; Pemerintahan Kadipaten kemudian dipegang kemudinya oleh putri Malokhah Janda Muda yang masih berusia 28 tahun, ketika itu sudah mempunyai dua putra : yang pertama putri bernama Solikhah. Dan bungsunya baru berumur 1 tahun sudah meninggal ketika ayahnya masih hidup.

Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal dalam usia 39 tahun sepeninggalan putri Malokhah penguasa Kadipaten Lasem kemudian dirangkap oleh Dhang Puhawang Pangeran. Santipuspa, yang dibantu oleh adiknya bernama Pangeran. Santiyago dan disuruh menempati Keraton Kadipaten di Colegawan…(Sic) Kitab “Babad” Badrasanti menjelaskan penguasa Kadipaten Lasem hingga dipegang oleh Bupati Sura Adimenggala III yang diangkat oleh VOC dari Semarang.

Sampai disini berita tentang sejarah Lasem bisa diurutkan berdasarkan sumber tertulis, kemudian bagaimana kaitannya dengan Rembang?

Sekilas Tentang Majapahit

Sekilas Tentang Majapahit
Pada zaman Majapahit di kenal pula adanya kelompok yang disebut Saptaprabu, yang merupakan sebuah Pohon Narendra, yaitu suatu lembaga yang merupakan “Dewan Pertimbangan Kerajaan”. Dewan ini bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Raja. Anggotanya adalah para Sanak Saudara Raja. Anggota Dewan Pertimbangan Keajaan ini berjumlah tujuh orang kerabat, dan termasuk di dalamnya adalah penguasa Lasem (Bhre Lasem).

Lembaga Bhattara Saptaprabu pertama kali diketahui dari prasasti berangka tahun 1273 Saka (1351 M) yang dikeluarkan oleh Rakriyan Mapatih Mpu Mada. Kemudian diketahui pula di sebutkan di dalam Kidung Sundhayana dengan sebutan Saptaraja dan di dalam kakawin Negarakertagama dengan sebutan Pohon Narendra.

Seperti diketahui bahwa Kerajaan Majapahit mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dia sangat memperhatikan daerah dengan beberapa kali mengadakan perjalanan kenegaraan dan peninjauan kedaerah-daerah wilayah Majapahit. Dari Kitab Negarakertagama diketahui pada tahun 1275 S Ia mengadakan perjalanan ke daerah Pajang, pada tahun 1276 S ke daerah Lasem, pada tahun 1279 S ke daerah Pajang, pada tahun 1281 S ke daerah Lumajang, kemudian pada tahun 1282 S Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Tirip dan Sempur. Pada tahun Saka 1285 mengadakan ziarah ke Simpang sambil meresmikan sebuah candi.

Dengan demikian, Lasem sebagai daerah bawahan Majapahit merupakan salah satu daerah penting karena mendapat kunjungan dari Raja Hayam Wuruk. Arti penting kunjungan ini menunjukkan betapa Lasem baik secara politis maupun ekonomis merupakan daerah yang dapat di andalkan oleh Kerajaan Majapahit untuk memperkuat kedudukannya. Dalam PupuhXVII/ 6-7 di sebutkan bahwa perjalanan Hayam Wuruk keberbagai daerah bawahan ini di sesuaikan dengan arah mata angin pokok. Secara Kosmologi magis, daerah yang di kunjungi dapat memberikan kekuatan spiritual atas kedudukan dan posisi Majapahit sebagai pusat pemerintahan.

Hingga kini tak ada prasasti yang ditemukan di daerah Lasem yang menunjukkan informasi historis yang memadai. Persamaan antara Negarakertagama dan Babad Badrasanti hanya berhenti atau terbatas pada keterangan tentang adik sepupu Raja Wilwatika seorang Ratu dari Lasem, bernama Indu Dewi, yang bersuamikan seorang penguasa Matahun, bernama Rajasawardhana.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Sejarah Lasem

Sejarah Lasem
Sementara itu mengenai Lasem, dapat di ketahui dari Kitab Negarakertagama. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Lasem merupakan salah satu daerah kekuasaan Majapahit yang terletak di nagian Utara Kerajaan Majapahit, dan terletak di sebelah Barat Matahun, yaitu daerah Lasem, Jawa Tengah sekarang, sedangkan Matahun terletak di bagian Barat Bojonegoro sekarang.

Dalam Kitab Badrasanti diceritakan, bahwa pada tahun saka 1273, Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu Raja Hayam Wuruk dari Wilwatika.Suaminya bernama Pangeran Rajasawardhana, yang dijadikan Dampuhawang di Pelanuhan Regol, di Lasem merangkap menjadi Adipati Matahun, bergelar Raja Maladresmi karena kecekapan parasnya. Daerah kekuasaan Dewi Indu meliputi wilayah yang terbentang dari Pacitan sampai muara Bengawan Silungangga di Pangkah Sedayu, sedangkan wilayah sebelah Timur Bengawan beserta pulau-pulau lainnya masuk dalam daerah kekuasaan Hayam Wuruk. Keduanya memerintah bersama-sama di Ngawantipura Wilwatika.

Keraton Dewi Indu terletak di Bumi Kriyan. Disebelah Tenggar keraton terdapat Tamansari dan Balekambang yang ditanami pohon-pohon kamal (asem), sedangkan sepanjang jalan ditanami pohon sawo kecik. Keraton dihiasi ukir-ukiran, dengan umpak berbentuk bunga teratai, lantainya di buat dari bata persegi yang besar dan halus. Atapnya di tutup dengan sirap atau ijuk, sedangkan hubungan atap dihias dengan genting berukir.

Mengenai nama Silungangga, rupanya ada kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia yang mendapat pengaruh Hindhu, untuk menghubungkan sungai besar dengan nama Gangga. Jadi Bengawan Silungangga dapat dipastikan bahwa yang di maksud adalah Sungai Bengawan Solo.

Pada Masa Majapahit, pemerintahan dinegara-negara daerah di pegang oleh keluarga Raja yang terdekat dengan kedudukan sebagai penguasa atau raja daerah dengan gelar Paduka Bhattara, Bhrai atau Bhre. Mereka ini menjalankan pemerintahan daerah dengan dibantu sejumlah pejabat daerah dengan strukur yang hampir sama dengan struktur pemerintahan pusat, tetapi ukurannya lebih kecil.32 Dalam Pupuh X/2 Kitab Negarakertagama, disebutkan tentang susunan pemerintahan negara bawahan dan daerah Anjuru. Disebutkan ada senelas (11) daerah bawahan Majapahit di Jawa, Yaitu Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Peguhan, Singasari, Wirabhumi, Mataram, Kahuripan, Pawanuhan.

Persoalannya, apakah ada indikasi bahwa Rembang pada masa Majapahit merupakan wilayah Lasem? Apabila kita lihat luas wilayah Lasem pada masa Majapahit, baik berdasarkan sumber Kitab Negarakertagama maupun Kitab “Babad”Badrasanti, bisa disimpulkan bahwa Rembang pada saat itu memang merupakan bagian dari daerah Lasem. Dengan demikian untuk mengkaji sejarah Rembang pada masa Majapahit sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Lasem.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Asal Usul Nama Rembang?

Asal Usul Nama Rembang?
Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru. Di sebutkan antara lain: “…kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di negaranya…”Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan itu.Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan do’a dan semedi, kemudian di mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.

Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : KABONGAN; mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),…. Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di mulai mbabat diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”.Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.”Menurut Mbah Guru, upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung, Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Rembang, Setting Historis

B. Setting Historis
Pada masa Kerajaan Majapahit, Rembang sebagai kota ataupun wilayah yang sudah berpemerintahan sendiri ataupun menjadi bagian darisuatu Negara bagian kerajaan Majapahit masih belum bisa di buktikan dengan jelas dan tepat. Hal ini di sebabkan sumber-sumber atau bukti-bukti tertulis yang menceritakan Rembang dalam aktivitas kota maupun pemerintah daerah tidak banyak di sebutkan. Berdasarkan sumber tertulis masa Majapahit, nama Rembang memang telah di sebutkan di dalam Kitab Negara Kertagama pada Pupuh XXI sebagai berikut:” …Menuruni surah melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan langsung ke Payaman. Tepasana ke arah kota Rembang sampai di Kemirakan yang letaknya di pantai lautan”.

Meskipun demikian, kota-kota pantai di pantai Utara Jawa dari beberapa sumber baik di dalam maupun dari luar telah di sebutkan eksistensinya. Antonio Pigafetta, seorang pelaut dari Italia, yang pernah mengadakan perjalanan ke beberapa tempat di Indonesia.Dalam catatan perjalanannya pada tanggal 26 Januari sampai 11 Pebruari telah menyebutkan beberapa nama kota di wilayah itu. Olehnya di dengar kabar, bahwa kota-kota penting yang terdapat dalam ilmu bumi, yaitu Majapahit, Mentraman, Djepara, Sedaya, Gresik, Surabaya dan Bali.

Nama Rembang bersama-sama dengan kota-kota pantai lainnya di Jawa juga muncul dalam sumber tertulis yang berasal dari Tome Pires. Di sebutkan oleh Tome Pires, (1512-1515) antara lain : New Comes Java and we must speak of the King within the hinterland. The land of Cherimon(Cheroboam), the land of Jepara, Theland of Losari(Locuri), The land of Tegal (Tegegual), The land of Semarang (Camaram), The land of Demak (Demma), Tidunan (Tudunar),the land of Jepara, the land of Rembang (Remee), the land of Tuban (Toban),the land of Sidayu (Cedayo), the land of Gresee (Agacif), the land of Surabaya (Curabaya),the land of Gamta, the land of Blambangan, the land of Pajarakan (Pajaracam), the land of Gamta,the land of Panarukan (Panarunca), the land of Chamdy, and when is ended we will speak of the great island of Madura.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Sabtu, 17 April 2010

Rembang Miskin Dari Dulu?

Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi social ekonomi penduduk Residensi Rembang terutama pada abad XIX relative miskin dan menderita. Penduduk Rembang yang hidup di wilayah pedalaman sangat bergantung pada tanah sebagai lahan garapan untuk menyambung hidupnya.
Sebagaimana di ungkapkan oleh James C. Scott, bahwa para petenu di Asia Tenggara mempunyai etika subsistensi dengan moral ekonomi yang disebut “safety first”. Dengan demikian, petani diumpamakan oleh Scott sebagai orang yang terendam dalam air laut sebatas lehernya, sehingga bila ada sedikit gelombang saja, sudah bisa menenggelamkannya. Meskipun perlu di teliti lebih jauh tentang moral ekonomi petani itu, namun tampaknya bagi penduduk/petani di daerah Rembang mempunyai indikasi yang hamper sama dengan apa yang dikemukakan dengan Scott. Apakah benar pandangan seperti itu terjadi di Rembang, sehingga menyebabkan penduduk berada dalam kondisi yang miskin dan memprihatinkan?
Menurut H.C.Bekking (Residen Rembang pada pertengahan abad ke-19), sebab-sebab kemiskinan dan kemunduran penduduk Rembang terletak pada cara hidupnya. Dikatakan oleh Bekking, bahwa penduduk Rembang cenderung bergaya hidup rendah, sehingga oranglebih tergantung dari tanah dengan segala dampak yang ditimbulkannya.
Sejak jaman dulu penduduk Rembang mempunyai kebiasaan untuk mengolah tegalan yang luas di samping sawah yang kurang berkembang karena kurangnya peluang untuk mengairi sawahnya, kecuali pada musim hujan. Di tegalan-tegalan mereka menanam tanaman kedua yang bisa mengimbangi panen beras yang gagal atau kurang memadai. Mengenai tanaman kedua ini, kebanyakan berupa bahan pangan, juga termasuk tembakau. Penduduk memperoleh uang melalui tanaman ini sehingga dapat memenuhi kebutuhan berasnya.
Ada tiga jenis padi utama yang ditanam di daerah Rembang yaitu “dalem”, “tengahan”, dan “genjah”. Padi jenis “dalem” terdiri dari tjami langkungan, papah aren, sri kuning, mendjangan mangle, koentoel nguijuk. Padi jenis “tengahan” terdiri dari apa yang disebut genjah, sasrabaija, dan riwong. Sedangkan padi jenis “genjah” terdiri dari pendok pontie, pendok besi, koentoelan dan mentik.
Adapun jenis-jenis tanaman kedua (sampingan) di Karesidenan Rembang yang sangat umum ditanam oleh penduduk antara lain : jagung, ketela, kapas, semangka, krai, gula bit (suikerriet), ubi, talas, bentool, jarak, kacang, lombok, tembakau, indigo, kedelai, terong, ketimun, dan lain-lain. Secara umum, kadaan cuaca kurang menguntungkan bagi tanaman padi, karena musim panas lebih panjang daripada musim penghujan. Meskipun demikian pada awal periode kedua abad ke-19 hasil dari sawah pada umumnya menguntungkan.
Di bidang penanaman hasil buni bagi pasaran Eropa, Rembang lebih ketinggalan dibandingkan dengan semua karesidenan lain di Jawa. Jenis tanaman bagi pasaran Eropa yang utama adalah kopi, hanya di tanam di Kabuaten Rembang dan Blora. Pada tahun 1844 dihasilkan kopi sebanyak 1.938 pikul keadaan tanah di karesidenan ini memang kurang cocok untuk menanam tebu dan kopi. Sementara kayu manis hanya di tanamdi Distrik Bantjar dengan hasil sebanyak 973 pon untuk 1844 dan 496 pon pada tahun 1845. Tanaman yembakau menghasilkan 17.390 pikul pada tahun 1844, kebanyakan perkebunan tembakau terdapat di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro.
Sementara penduduk di daerah pantai hidup dari perdagangan pantai dan nelayan. Kecuali perikanan laut yang masih sangat pentng. Di daerah pantai banyak di jumpai kolam-kolam atau tambak-tambak ikan. Di Distrik Waru, Bancu, Jenu, dan Rembes terdapat 624 orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Perkampungan nelayan dapat di jumpai terutama di ibukota Rembang dan Tuban, Mereka banyak memelihara ikan terutama banding dan belanak serta menangkap ikan di laut.
Bagi para nelayan, ikan menjadi konsumsi dan produksi harian dengan cara dikeringkan atau diasinkan untuk selanjutnya diangkut kepedalaman dan pasar-pasar maupun kekaresidenan lain untuk dijual. Aktivitas ini menjadi kesibukan besar yang senantiasa dilakukan oleh para nelayan.
Di Rembang banyak terdapat kerajinan seperti penenunan tenda dan layer bagi perahu dan kapal, pembuatan perahu-perahu pribumi, pengayaman karung goni, tali-temali, pertikangan pribumi, penenunan batik serta kain dan sapu tangan.
Pengrajin emas dan perak banyak terdapat di kota Rembang meskipun hasil karyanya kebanyakan dijual berkeliling di beberapa Distrik. Demikian halnya dengan tukang tembaga dan tukang pembuat kaleng. Di samping itu juga terdapat aktivitas pembakaran kapur, pembuatan batu bata, pot tanah liat, dan lain-lain. Pembuatan garam dan penanaman tembakau untuk konsumsi domestic maupun ekspor banyak dilakukan oleh penduduk Rembang.

Rembang Zaman Sekarang

Pada masa sekarang ini, Rembang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, terletak di Pesisir Pantai Utara Jawa memiliki luas kurang lebih 968,02 km2. Pada tahun 1980-an wilayah ini berpenduduk kira-kira 442.594 jiwa.Disebelah selatan Kabupaten Rembang berbatasan dengan Kabupaten Blora, di sebelah barat dengan Pati, dandi sebelah tinur dengan Tuban (di propinsi Jawa Timur) dan Laut Jawa di sebelah utara.

Secara fisiografi, wilayah Kabupaten Rembang meliputi jajaran Pegunungan Kapur Utara yang mendominasi sepertiga wilayah kabupaten. Ada juga gunung yang tidak tinggi yakni Gunung Butak (dengan ketinggian = 679 m) dan Gunung Lasem (ketinggian = 806 m), selebihnya terdiri dari dataran rendah yang melajur ke utara sampai ke pesisir Laut Jawa.

Hasil pertanian meliputi padi, jagung, ubi kayu, ubi manis, kacang hijau, kacang tanah, kelapa, kapok, tembakau. Sementara itu hasil perikanan laut penduduk Rembang antara lain berupa ikan kembung,tengiri, kakap, tongkol,, udang, dan lain-lain. Untuk hasil perikanan darat terdiri dari banding, mujahir, udang tambak. Ibu kota Kabupaten Rembang terletak di pesisir Laut Jawa di hubungkan dengan kota-kota di sekitarnya.

Adapun daerah Lasem, yang sekarang menjadi salah satu kecamatan dari Kabupaten Rembang, terletak di koordinat 6o 42’ Lintang Selatan dan 111o 25’ Bujur Timur. Secara geografis daerah Lasem dapat dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu 1) daerah pantai yang berpusat di Caruban dan Bonang Binangun; 2) daerah dataran rendah terdapat di sekitar kota Lasem yang dialiri Sungai Lasem; 3) daerah pegunungan Lasem dengan puncak-puncaknya Gunung Ngeblek, Gunung Ijo, Gunung Setro, dan sebagainya. Iklim daerah pantai ini terdiri dari musim kemarau yang jatuh mulai bulan Juni sampai Oktober, musim Pancaroba mulai bulan November hingga Desember dan bulan April sampai Mei, serta musim hujan yang jatuh pada bulan Januari sampai Maret. Curah hujan relatif sedikit sekali, rata-rata kurang dari 1500 mm/tahun. Jumlah rata-rata hujan 60 hari/tahun.

Zaman Pendudukan Jepang

Pada masa Pendudukan Jepang, pihak penguasa melakukan perubahan dalam tata pemerintahan daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.27 tahun 1942. Berdasarkan Undang-Undang itu kecuali wilayah “Vorstenlanden” (wilayah bekas kerajaan Surakarta dan Yogyajarta) seluruh Jawa dibagi menjadi : Syuu (karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik) dan Ko (Kelurahan).

Pada dasarnya pembagian itu hanya merupakan pergantian nama dari tata pemerintahan (pembagian wilayah) di Jawa yang sudah ada pada masa sebelumnya. Perubahan yang menonjol adalah dihapuskannya pemerintahan tingkat propinsi, dan perubahan nama Karesidenan Jepara-Rembang menjadi Syuu Pati.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Rembang Zaman Tanam Paksa

Pada masa Kultur Stelsel atau Tanam Paksa (1830-1970), Karesidenan Rembang termasuk bagian dari wilayah Jawa Timur. Dengan demikian disamping sebagai ibukota kabupaten, Rembang juga merupakan ibukota karesidenan, bahkan juga merupakan ibukota kedistrikan yaitu Distrik Rembang.

Di Rembang menjadi tempat kedudukan Residen, Bupati dan kepala Distrik Rembang. Dengan demikian disamping sebagai kota perdagangan Rembang juga merupakan kota pusat pemerintahan sampai tingkat karesidenan. Oleh karena itu bisa diperkirakan bahwa Rembang pada waktu itu merupakan satu kota yang ramai di Jawa Tengah.

Sebagai Karesidenan, Rembang disebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Surabaya, di sebelah barat dengan Karesidenan Jepara dan Kabupaten Grobogan, Di sebelah selatan dengan Karesidenan Madiun dan Kediri, sedangakan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Mengenai pembagian wilayah pada waktu itu karesidenan Rembang terdiridari 4 kabupaten yaitu: Kabupaten Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro. Sedangkan untuk Kabupaten Rembang sendiri terdiri dari tujuh wilayah kedistrikan yaitu : Rembang, Waru, Binangun, Kragan, Sulang, Pamotan, dam Sedan. Luasnya meliputi 1.032 km2 yang merupakan sepertujuh dari bagian luas wilayah karesidenan Rembang. Kabupaten tersebut (Rembang), disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Tuban, sebelah selatan kabupaten Blora, dan disebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Karesidenan Jepara.

Pada Tahun 1905, yaitu tahun diberlakukannya Decentralisatie Besluit, karesidenan atau Gewest Rembang seperti halnya daerah-daerah lainnya yang setingkat memperoleh hak-hak otonom, yang berarti wilayah Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Rembang, Blora, Tuban dan Bojonegoro menjadi daerah otonom penuh. Untuk itu maka dibentuklah Dewan Daerah (Gewestelijke Raad) untuk wilayah Rembang.

Perubahan terjadi lagi dengan diberlakukannya Provincie Ordonantie (Undang-Undang Propinsi) pada tanggal 1 April 1925. Berdasarkan Provincie Ordonantie tersebut, maka khusus untuk Jawa Tengah berdasarkan Ordonantie 1929, secara resmi menjadi salah satu provinsi di Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu).

Sebagai wilayah propinsi, Jawa Tengah merupakan daerah otonom dengan hak-hak otonomi tertentu disamping juga memiliki Dewan Propinsi (Provinciale Raad). Berdasarkan Ordonansi itu pula Propinsi Jawa Tengah dibagi menjadi karesidenan yang salah satu diantaranya adalah Karesidenan Rembang-Jepara, yang terdiri dari Kabupaten Jepara, Rembang, Pati, Blora dan Kudus. Kabupaten Bojonegoro dan Tuban yang sebelumnya merupakan 2 kabupaten di Karesidenan Rembang sejak saat itu menjadi bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Zaman Mataram Kartosuro

Sementara pada zaman Mataram Kartosuro, daerah Rembang termasuk wilayah Pesisir Timur bersama daerah-daerah Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juana, Panjangkungan, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi dan Blambangan, dan Madura.

Pada masa pemerintahan Daendeles (1808-1811) ditemukan sumber yang menyebutkan bahwa Perfectur (semacam karesidenan) Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Juana, Rembang, Lasem dan Tuban.

Namun demikian pada masa Kultur Stelsel, berbagai sumber colonial khususnya Kultuurverslagen menyebutkan bahwa Lasem hanya merupakan daerah yang merupakan bagian dan termasuk wilayah Kabupaten Rembang.

Pada waktu itu daerah Lasem dikepalai oleh seorang Demang. Dengan melihat siapa yang menjadi kepala daerah di Lasem yaitu Demang, maka menurut system pemerintahan pribumi (Inlandsche bestuur) yang berlaku pada waktu itu, Lasem hanyalah merupakan order distrik atau setingkat dengan kecamatan pada saat ini. Walaupun hanya berstatus sebagai order distrik (kecamatan masa kini) Lasem mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi bagi Kabupaten Rembang.

Bahkan pada jaman Mataram Islam, Lasem sudah mempunyai fungsi penting bagi perdagangan dan hubungan luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Sungai Lasem yang bagian muaranya merupakan pelabuhan dagang.

Pada jaman colonial Belanda sungai Lasem pernah diperdalam sehingga bisa dilewati perahu berukuran 2,5 pal (1pai = 300 ton) dari kota Lasem sampai ke laut. Di sisi timur dekat muara sungai Lasem terdapat perusahaan galangan kapal milik seorang Belanda yang bernama Browne.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Rembang Zaman Majapahit

Pada masa Kerajaan Majapahit, Rembang berada dibawah kekuasaan Lasem. Tome Pires memberitahukan pula bahwa Rembang memiliki galangan kapal, tempat pembuatan kapal-kapal dagang Demak.

Akan tetapi aktivitas di daerah maupun Pelabuhan Rembang pada masa Majapahit, berdasarkan sumber-sunber sejarah baik sumber tradisional maupun sumber asing, tidak banyak yang dapat diceritakan.

Pada masa Kerajaan Mataram dibawah Panembahan Senopati, nama daerah Rembangtidak terdengar, baikketika masa damai maupun masa penaklukan-penaklukan Senopati terhadap daerah-daerah Pesisir Utara Jawa.

Sampai dengan wafatnya Senopati pada Tahun 1600. Apabila saat itu Rembang termasuk wilayah kekuasaan Lasem, maka pada masa Senopati, Rembang belum dikuasai oleh Mataram, karena Lasem baru dapat ditaklukkan Mataram dibawah Sultan Agung pada Tahun 1616.

Rembang Zaman Kolonial

Setting Ekologis
Rembang Zaman Kolonial
Rembang, baik sebagai nama suatu kota, kabupaten, maupun karisidenan, sudah dikenal sejak masa lampau. Pada masa klasik, pengungkapan sejarah Rembang tidak bisa dilepaskan dengan nama Lasem, karena pada saat itu, wilayah Rembang pernah menjadi bagian dari wilayah Lasem.

Pada masa Kolonial Hindia Belanda, Rembang selain menjadi nama Karesidenan juga menjadi nama Kabupaten dan Lasem menjadi wilayah bagian dari Kabupaten Rembang.

Pada masa Klasik atau masa Kerajaan Majapahit, aktivitas Rembang tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan karena terbatasnya sumber-sumber yang bisa menjelaskan. Namun pada masa Mataram dan prokolonial, wilayah ini mulai banyak diceritakan secara relative lengkap.

Dari beberapa bukti sejarah yang ada, Rembang pada masa ini sangat dikenal sebagai kota pelabuhan dengan aktivitas baharinya. Namun sayangnya pada masa akhir kolonial kebesaran Rembang sebagai daerah bahari mulai menurun.

Kamis, 18 Maret 2010

Rembang Post, Demi Rembang Ke Depan

Rembang Post, media lokal ini layak dikembangkan untuk kemajuan Rembang ke depan. Ayo, Anda yang warga Rembang, di mana pun Anda berada, mari kita galang kekuatan, ramai-ramai kita kelola Rembang Post ini sebagai media bersama. Selamat Sukses!