Jumat, 31 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (5) MAKAM R.A. KARTINI

Setelah wafat pada tanggal 17 September 1904, jenazah R.A.Kartini dimakamkan di pemakaman keluarga bupati Rembang R.M.A.A.Djojodiningrat. Makam ini terletak di desa Bulu, Kecamatan Bulu (Mantingan), Kabupaten Rembang. Pemakaman ini terletak sekitar 17,5 km dari kota Rembang ke arah kota Blora. Luas seluruh areal pemakaman ini adalah sekitar 10 ha. Di pemakaman ini pula dimakamkan suami R.A.Kartini R.M.A.A.Djojodiningrat dan putera beliau satu-satunya R.M. Susalit.

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (4) MUSEUM R.A. KARTINI


R.A.Kartini merupakan salah satu tokoh nasional kebanggaan masyarakat Rembang. Oleh karena di kota Rembang inilah dia memanfaatkan masa-masa akhir hayatnya untuk melanjutkan pemikiran-pemikiran segarnya mengenai kemajuan wanita Indonesia. Oleh bengsa Indonesia, ia diakui sebagai pahlawan emansipasi wanita. Untuk itulaj museum Kartini didirikan di Rembang, khususnya di kompleks Pendopo Kabupaten Rembang yang menyatu dengan rumah dinas Bupati Rembang di jalan Gatot Subroto No. 8 Rembang. Museum Kartini menempati ruangan yang dulu pernah digunakan oleh Kartini dalam aktivitas menuliskan ide-ide dan buah pikirannya mengenai kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya dan wanita pada khususnya. Tempat ini sekaligus juga merupakan tempat beliau melahirkan putra satu-satunya yaitu Raden Mas Susalit dan sebagai kamar pribadi hingga beliau wafat. Benda-benda yang menjadi koleksi museum beraneka ragam khususnya benda-benda yang pernah digunakan oleh R.A.Kartini semasa hidupnya.
R.A.Kartini lahir di Mayong, Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari pasangan suami istri yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ngasirah yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten Wedono Mayong dan tiga tahun setelah kelahiran R.A.Kartini menjabat sebagai Bupati Jepara. Ngasirah, ibu kandung R.A.Kartini adalah anak seorang kyai yang berasal dari Teluk Awur Jepara. Dalam usia tiga tahun yaitu tahun 1881, R.A.Kartini diboyong ke Jepara ketika sang ayahandanya diangkat sebagai Bupati Jepara. Ayah R.A Kartini sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan Kartini.Meskipun pendidikan formal bagi kaum wanita belum merupakan sesuatu yang lazim dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu. Ayahanda R.A.Kartini sudah memberikan pendidikan formal. Meskipun R.A.Kartini mempunyai hak untuk sekolah di sekolah Eropa, namun sang ayah menyekolahkan Kartini di sekolah bersama teman-temannya. Sejak usia sekolah Kartini sudah menunjukkan ketekunan dan bakatnya dalam membaca dan menulis. Ia membaca buku-buku tokoh-tokoh progresif seperti Multatuli, sehingga mengetahui seluk-beluk penindasan penjajahan Belanda. Hal ini memberikan kesadaran kepada Kartini untuk menentang penjajahan Belanda.
Dengan bacaan-bacaannya dan korespondensinya dengan sahabat-sahabat orang Belanda, proses pendewasaan Kartini menjadi semakin matang, yang pada akhirnya mengantarkan jiwa Kartini yang penuh kebebasan dalam berpikir dan demokratis serta berorientasi maa depan dalam bertindak. Oleh karena itu dalam surat-suratnya yang dikirimkan kepada para sahabatnya di Belanda, ia mengetik adat istiadat yang ia pandang sebagai penghambat kemajuan wanita seperti budaya memingit wanita. Ia menganjurkan agar wanita diberi kebebasan untuk menuntut ilmu dan bebas belajar. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda diurungkan dan memohon kepada Pemerintah Kolonial Belanda agar beasiswanya diberikan kepada pemuda Indonesia yang lain. Ia lebih senang melanjutkan sekolah guru.
Sadar bahwa cita-cita perjuangan untuk meningkatkan derajat wanita lewat pendidikan tidak dapat dijalankan sendiri, maka ia menerima lamaran Bupati Rembang Raden Mas Adipati Djojodiningrat, seorang duda yang memiliki beberapa orang anak. Bupati Rembang sangat mendukung gagasan dan aktivitas untuk memajukan pendidikan kaum wanita dan untuk memperjuangkan kaum wanita agar sederajat dengan kaum pria. Perkawinan Kartini berlangsung pada tanggal 8 November 1903. Empat hari setelah perkawinan, Kartini meninggalkan Jepara pindah ke kota Rembang.
Untuk merealisir cita-citanya, langkah awal yang diambil oleh Kartini adalah mendirikan sekolah wanita yang ditempatkan di rumahnya yaitu didebelah timur gapura     Kabupaten Rembang (sekarang digunakan sebagai Kantor Wakil Bupati Rembang). Sekolah yang didirikan oleh Kartini memiliki banyak murid. Murid-murid dari kalangan keluarga yang tidak mampu, tidak dipungut biaya. Oleh karena mengalami kemajuan pesat, sehingga diperlukan guru bantu agar semua murid bisa ditangani dengan baik. Kartini juga mengajukan subsidi kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk memajukan sekolahnya. Semuanya dilakukan secara tulus berdasarkan jiwa sosial dan pengabdiannya.
Dalam kehidupan sebagai ibu rumah tangga, beliau juga merasa sangat bahagia. Telah banyak yang dilakukan Kartini untuk kepentingan keluarga dan masyarakatnya. Namun demikian sayang sekali, ia tidak bisa mengabdikan diri lebih lama apalagi menikmati hasil perjuangannya. Ia wafat dalam usia yang masih sangat muda sebagai seorang pembaharu, yaitu 25 tahun. Ia wafat tanggal 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra satu-satunya, yaitu Raden Mas Susalit. Beliau meninggalkan semua yang dicintainya, yaitu keluarga dan bangsanya. Jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Rembang yaitu di desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan wanita oleh Presiden Soekarno. Kamar pribadi R.A.Kartini dijadikan sebagai ruang museum R.A.Kartini dengan koleksi peninggalan beliau antara lain berupa : beberapa perabot rumah tangga yang dulu pernah digunakan oleh Katini, bak mandi, bothekan tempat jamu, sepasang rono, penyekat ruangan dari kayu jati berukir pemberian ayahandanya, meja makan, meja untuk merawat bayi, lukisan karya R.A.Kartini berupa tiga ekor angsa, naskah tulisan tangan R.A.Kartini dan lain-lain.

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (3) MASJID JAMI' REMBANG DAN KOMPLEKS MAKAM DI SEKITARNYA



Masjid Jami’ Rembang berada di sebelah barat alun-alun kota Rembang. Kompleks Masjid ini berada di dusun Kauman, desa Kutoharjo, kecamatan Rembang. Posisi Masjid dibangun diatas batur setinggi satu meter, sehingga lebih tinggi dari areal disekitarnya. Kompleks Masjid ini dikelilingi oleh tembok bata setinggi satu setengah meter. Sebagaimana biasanya masjid di Pantai Utara Jawa pada khususnya dan masjid lain di Indonesia pada umumnya, bangunan induk masjid berbentuksegi empat dengan lebar sisi sekitar 40 cm. Pada sisi barat ruangan bagian bangunan utama ini terdapat relung mihrab yang fungsinya sebagai tempat “pengimaman” atau tempat imam memimpin sholat. Sementara itu, di sebelah utara nihrab masih terdapat mimbar yang terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif tumpal, sulur-sulur, dan tumbuh-tumbuhan. Fungsi mimbar adalah sebagai tempat khotib (orang yang memberi khotbah pada sholat Jum’at). Di ambang mimbar ini terdapat inskripsi dengan menggunakan huruf Arab. Demikian juga inskrip dengan huruf Arab juga bisa didapatkan diatas pintu masuk ruang utama. Bangunan induk masjid ini ditopang oleh empat sokoguru yang terbuat dari kayu jati yang berbentuk segi empat. Sebagaimana masjid lain, Masjid Jami’ Rembang juga memiliki tambahan serambi.
Bila dilihat dari inskripsi yang ada, maka dapat dipastikan bahwa masjid Jami’ Rembang ini didirikan tahun 1814 M oleh Bupati Rembang yang bernama adipati Condrodiningrat. Meskipun masjid ini telah mengalami enam kali pemugaran, namun bentuk aslinya terjaga.
Sebagaimana prototipe masjid kuno di Indonesia, kawasan masjid juga selalu menjadi ko,pleks pemakaman. Di belakang masjid (sebelah barat) terdapat bangunan cungkup dengan model arsitektur Eropa yang cukup megah. Dengan ketinggian batur sekitar satu meter, bangunan cungkup ini berbentuk segi delapan yang berpusat pada lima buah makam yang ada didalamnya. Kompleks makam ini terkenal dengan sebutan makam Pangeran Sedo Laut, meskipun di dalamnya terdapat paling tidak lima buah makam. Secara berjajar dari barat ke timur makam-makam tersebut adalah :
(1).Makam Adipati Condrodiningrat dengan menggunakan jirat dari semen dan nisan berbentuk kurawal yang terbuat dari batu putih. Makam ini berangka tahun 1289 Hijriyah.
(2).Makam istri Adipati Condrodiningrat dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan makam suaminya. Nisan ini berangka tahun 1291 Hijriyah.
(3).Makam Raden Tumenggung Pratiktoningrat atau Kanjeng Pangeran Sedo Laut dengan jirat yang terbuat dari susunan bata dan nisan yang sudah terbuat dari semen. Pada nisan terdapat angka tahun 1757 menurut angka tahun Kawa atau 1831 Masehi.
(4).Makam istri Kanjeng Pangeran Sedo Laut dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan suaminya. Hanya saja pada makam ini tidak bisa ditemukan angka tahun.
(5).Makam istri Patih Pati, yaitu Raden Ayu Sasmoyo dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan makam ke-3 dan ke-4 dengan tanpa angka tahun.

Kamis, 16 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (2) PELABUHAN LAMA


Pelabuhan Lama Rembang terletak di Pantai kota Rembang atau tepatnya di muara sungai Karanggeneng. Di samping sebagai tempat pelabuhan, di muara sungai Karanggeneng juga terdapat tempat penimbunan kayu, sedangkan di muara sungai Lasem terdapat tempat pembuatan kapal (galangan kapal) yang sangat penting bagi perkembangan Pelabuhan Rembang itu sendiri.
Secara geografis, Pelabuhan Rembang terletak di lokasi yang tepat atau memenuhi syarat sebagai pelabuhan yang cukup aman. Dari segi geografis, suatu pelabuhan akan berfungsi apabila memenuhi syarat : 1) Mempunyai dasar laut yang cukup dalam; 2) Bebas dari pembekuan/es; 3) Gelombang laut yang tidak besar; 4) Daerah berlabuh cukup luas; 5) Mempunyai daerah belakang (hinterland) yang memenuhi syarat dan mendukung berfungsinya pelabuhan.
Pantai di sepanjang Laut Jawa, tempat tedapatnya Teluk Rembang dan Tuban, relatif lebih tinggi dan terawat daripada Jepara.Tingginya tanah di daerah Rembang Utara dan bagian yang dekat dengan Laut Jawa merupakan akibat dari munculnya tanah di wilayah itu pada masa Mio-Pliosen. Di sini terjadi dorongan pelipatan pada masa plistosin dan menyebabkan kenaikan tanah. Itulah sebabnya wilayah Rembang relatif lebih tinggi daripada wilayah lain di Pantai Utara Jawa dan mempunyai laut cukup dalam. Di Teluk Rembang sendiri terdapat sejumlah pulau karang kecil dan gundukan pasir. Nama kepulauan itu adalah Dua Bersaudara (Pulau Kembar) dan Sawalan. Sedangkan gundukan pasir itu bernama Gossa, Pasir Batu dan Pasir Besi.
Adanya pulau-pulau karang dan gundukan pasir di Teluk Rembang ini rupanya menjadikan pelindung dari ombak yang besar, sehingga kondisi laut di pantai Rembang relatif lebih tenang. Sudah barang tentu kondisiseperti ini sangat disukai oleh para pelaut yang akan membawa kapalnya berlabuh di pantai. Pantaidi sepanjang Pantai Rembang yang bisa dilabuhikapal relatif cukup luas, apabila dilihat dari eksistensi Pelabuhan Rembang sebagai pelabuhan kecil. Adapun daerah di pantai Rembang yang dapat digunakan untuk berlabuh adalah dari celah Sungai Karanggeneng ke arah timur laut sepanjang kurang lebih 73 mil dari tembok pelabuhan dengan kedalaman air sekitar 2,5-3 meter dan kerendahan dari permukaan tanah sekitar 1-0,5 kaki.
Eksistensi suatu pelabuhan tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat bergantung pada daerah belakang (hinterland). Bagi Pelabuhan Rembang sendiri, hinterland menjadi pendukung utama aktifitas pelabuhan karena produk kayu jatinya yang sangat baik, disamping produk hasil bumi lainnya. Meskipun demikian, kayu jati buknlah satu-satunya faktor yang mempunyai pengaruh terhadap aktifitas Pelabuhan Rembang. Memang dari dulu Pelabuhan Rembang merupakan penyuplai kayu jati, terutama untuk membuat kapal. Bahkan dibawah pemerintahan Raffles, kayu jatinya berhasil bersaing dengan kayu jati dari Birma maupun Benggala. Pengaruh kayu jati bagi Pelabuhan Rembang rupanya telah menyebabkan pelabuhan ini menjadi ramai terutama bagi kapal-kapal pengangkut kayu yang beroperasi karena berbagai pesanan dari daerah lain. Di samping itu, kapal-kapal dagang yang lain tidak ketinggalan untuk melibatkan diri dalam perdagangan di sekitar pelabuhan dan pada gilirannya Pelabuhan Rembang telah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang cukup penting.
Bagaimanapun juga kondisi sebuah pelabuhan sangat ditentukan oleh faktor-faktor geografis. Sementara itu penanganan terhadap pelabuhan dari segi geografis sangat mempengaruhi fungsi pelabuhan tersebut. Pelabuhan Rembang pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, merupakan pelabuhan dengan warisan kebesaran tradisi maritimnya. Peranan sungai menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan Pelabuhan Rembang. Hal ini disebabkan karena Pelabuhan Rembang merupakan pelabuhan muara, sehingga sngi mempunyai peranan penting sebagai penghubung antar daerah pedalaman dengan wilayah pantai.
Pada tahun 1830, kondisi muara Sungai Karanggeneng tidak sesuai untuk dimasuki kapal-kapal besar. Dengan demikian sebenarnya secara fungsional, Pelabuhan Rembang pada saat itu cocok untuk berlabuh kapal-kapal yang relatif kecil. Akan tetapi tidak berarti bahwa pross pengapalan terhadap barang-barang yang keluar masuk pelabuhan menjadi terhenti. Proses pengapalan di pelabuhan kecil memang berlangsung sangat sederhana. Kapal terletak atau membuang sauhnya agak jauh dari tembok dermaga, para kuli harus memikul barang-barang yang dimuat dan dibongkar ke dari dermaga/dinding itu melalui pasir pantai.
Kemunduran secara geografis suatu pelabuhan terjadi karena adanya endapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai ke muara. Di samping itu angin musiman di Laut Jawa, secara teratur setiap hari memberikan aliran dan pasang surut dengan perbedaan ketinggian mencapai 1,20-1,80 meter, menyebabkan gerakan yang mengikis pantai.
Sampai tahun 1858, fungsi pelabuhan Rembang maupun pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa, tetap penting untuk pengapalan produk-produk negara. Namun, pada umumnya kondisinya sangat buruk. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memungkinkan banyak proyek untuk memperbaiki pelabuhan sehingga banyak pelabuhan yang tidak dirawat. Faktor yang menyebabkan kerusakan suatu pelabuhan adalah cacing laut. Rupanya, cacing laut telah merusak tonggak-tonggak penguat dinding germaga dan bersama dengan air laut, terutama sepanjang tahun pada angin musim Barat Laut dengan kuat menghantam pantai, sehingga pemasangan batu menjadi rusak. Di samping cacing laut, ternyata ada juga jenis kerang yang merugikan dan merusak tonggak-tonggak jati di sepanjang pelabuhan dan pantai. Dengan demikian jelaslah bahwa letak dan dampak geografis suatu pelabuhan akan menentukan eksistensi dan dinamika dari pelabuhan itu sendiri. Sementara eksisten suatu pelabuhan sangat menentukan kedudukannya dalam jaringan perdagangan laut. Tentang hal ini bagaimana dengan Pelabuhan Rembang itu sendiri?
Selanjutnya pada masa VOC, juga tidak banyak sumber yang menceritakan tentang siapa dan bagaimana mengelola Pelabuhan Rembang Baru pada tahun 1816, diperoleh informasi singkat tentang petugas pelabuhan. Rupanya Pelabuhan Rembang yang berkedudukan sebagai Pangkalan Angkatan Laut Kolonial, sehingga para pejabat pengelola pelabuhan saat itu berkedudukan sebagai personal Angkatan Laut. Dari sumber itu disebutkan tentang jumlah pengelola pelabuhan yang terdiri dari seorang kepala pelabuhan (Havenmeester), seorang juru tulis, seorang tukang bendera, seorang juru mudi dan delapan kelasi. Dalam setahun mereka memperoleh gaji sebagai berikut:
Gaji Pengelola Pelabuhan Rembang Tahun 1816, sbb : Kepala Pelabuhan  1 org: f3.600, Juru tulis pelabuhan 1 org: f.400, Tukang bendera 1 org: f96, Juru mudi 1 org: f115,6, Kelasi 3 org: f.576. Masing-masing diberikan pertahun.
(Sumber : AVRR, tahun 1816)
Di lihat dari jumlah petugas pelabuhan dan kedudukan dari para petugas yang brfungsi ganda, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Palabuhan Rembang saat itu merupakan palabuhan kecil yang mempunyai aktifitas perdagangan dan pelayaran dalam skala kecil. Meskipun demikian, Pelabuhan Rembang tetap mempunyai nilai strategis yang penting bagi Pemerintah Kolonial terutama dalam kaitannya dengan eksploitasi hutan jati dan pembuatan kapal. Dari beberapa sumber yang diungkapkan oleh Frank Broeze tentang armada dagang di berbagai pelabuhan di Jawa dari tahun 1820-1850 menunjukkan bahwa Pelabuhan Rembang merupakan salah satu pelabuhan yang secara rutin  banyak dikunjungi oleh para pedagang.
Bahkan dalam klasifikasi pelabuhan yang dolakukan oleh Broeze, Pelabuhan Rembang tidak termasuk dalam kategori sebagai pelabuhan kecil (minor ports). Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dari data- data yang disajikan oleh Broeze masih terbatas pada data-data tentang jumlah kapal yang mengunjungi Pelabuhan Rembang. Sedang tentang beberapa tonase atau bobot dari kapal-kapal itu tidak diunkapkan, sehingga masih bisa dipertanyakan apakah dari jumlah kapal yang datang ke suatu pelabuhan bisa dijadikan indikasi tentang besar kecilnya suatu pelabuhan. Namun yang jelas bahwa pada masa Kolonial, Pelabuhan Rembang menjadi salah satu Pelabuhan kolonial, dalam arti kebijakan terhadap pengelolaan suatu pelabuhan sangat ditentukan oleh kepentingan Kolonial Belanda.
Pelabuhan Rembang bisa disebut sebagai pelabuhan kecil, maka tugas kepala Pelabuhan Rembang diserahkan kepadaKomisi Penerima (Komieden – Ontvangers). Sebenarnya tugas Komisi Penerima ini adalah melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang, tetapi sekaligus juga berfungsi sebagai kepala pelabuhan di Rembang.
Dalam hal kebutuhan bagi tersedianya  pegawai douane yang bertugas di bidang pengawasan dan berkaitan dengan kepentingan kas negara, telah diangkat sebagai Komisi Pengawas. Bagi Pelabuhan Rembang,tugas komisi pengawas ini adalah mengurusi cukai ekspor-impor yang berlangsung di pelabuhan. Tentang berapa jumlah pegawai dalam komisi pengawas ini tidak banyak keterangan yang diperoleh. Hnya saja, dilaporkan bahwa tugas pengawasan yang dilakukan oleh komisi ini tidaklah mencukupi untuk pengawasan di pelabuhan dan sekitarnya, terutama untuk mengawasi penyelundupan kayu jati maupun candu. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 1873 telah diangkat seorang pejabat baru yang membantu Komisi Pengawas. Pejabat itu disebut “Penguji” dengan tugas utama menilai jumlah cukai terhadap barang-barang ekspor-impor di pelabuhan.
Sukses tidaknya aktivitas sebuah pelabuhan, salah satunya ditentukan oleh faktor keamanan bagi kapal-kapal yang kan berlabuh. Faktor keamanan ini tidak saja ditentukan oleh kondisi geografis, tetapi juga ditentukan oleh keamanan penguasa pelabuhan dan pantai untuk memberikan jaminan keamanan bagi kapal beserta barang-barang yang dibawanya. Menurut Chaudhuri, faktor keamanan ini memang penting bagi kelangsungan hidup sebuah pelabuhan. Para pedagang akan selalu singgah apabila dapat melakukan transaksi dagang, pengapalan maupun dalam hal yang berkaitan dengan keuangan dengan kredit secara aman di pelabuhan itu. Satu lagi ysering dikeluhkan oleh seorang pedagang adalah bahwa kapal-kapal sering dirompak, sehingga jaminan keamanan wilayah perairan suatu pelabuhan pun sesungguhnya sangat menentukan eksistensi sebuah pelabuhan.
Bgi Pelabuhan Rembang sendiri, usaha untuk memberikan semacam “Jaminan” keamanan perairan telah dilakukan oleh pemerintah. Patroli laut oleh kapal-kapal pengawas selalu dilakukan oleh para petugas Pelabuhan Rembang. Kapal-kapal pengawas ini berkedudukan di Pelabuhan Rembang dan mempunyai tugas mengamankan wilayah Perairan Rembang dari gangguan perompak dan perdagangan gelap. Memang, secara khusus tugas kapal pengawas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keamanan terhadap kapal-kapal yang datang atau pergi melalui Pelabuhan Rembang. Akan tetapi, usaha ke arah itu sedikit banyak telah dilakukan dan paling tidak telah mengurangi tindak kriminalitas di Perairan Rembang.
Pada tahun 1830, tugas pengamanan terhadap perairan dan Pelabuhan Rembang dilakukan oleh beberapa perahu saja, sehingga tidaklah mencukupi untuk memerangi sejumlah besar perompak pantai atau memberantas perdagangan gelap. Mengingat panjang Pantai Rembang sekitar 80 paal, menjadikan perahu-perahu kecil tidak mengalami kesulitan untuk mendarat di pantai atau masuk ke sungai-sungai yang bermuara di laut, dan bisa berbuat sesukanya. Untuk ukuran saat itu, kapal pengawas yang dapat menjaga secara teratur atas wilayah Perairan Pantai Rembang paling tidak diperlukan tiga buah kapal yang berukuran besar. Rupanya usaha Residen untuk memperoleh fasilitas kapal besar dari pemerintah (Gubernur Jenderal) dapat terpenuhi. Pada tahun 1834 telah bertugas tiga buah kapal tempur yaitu kapal nomor 1, 12 dan 32. Kapal-kapal itu bertugas menjaga dan mengamankannya dari para perompak. Untuk kapal tempur nomor 1 dan 12 bertugas melakukan patroli laut, sedangkan kapal tempur nomor 32 lebih banyak berkadudukan di pelabuhan. Tampaknya terjadi penurunan intensitas perampokan di Pantai Rembang, meskipun tidak diperoleh informasi tentang jumlah peristiwa perampokan yang terjadi di wilayah Perairan Rembang. Pada tahun 1845 jumlah kapal pengawas di Perairan Rembang turun menjadi dua yaitu kapal pengawas no. 12 dan 17. Jumlah ini tetap tidak memadai, meskipun dirasakan mempunyai manfaat yang sangat besar. Rupanya tugas kapal pengawas di Perairan Hindia Belanda ini dilakukan secara bergiliran dan sesuai dengan kebutuhan atau prioritas yang harus ditangani oleh wilayah tertentu. Hal ini terbukti dari sering bergantinya kapal pengawas yang bertugas di Rembang. Bahkan ketika tahun 1852 terjadi penyelundupan senjata api di Kerajaan Jambi, oleh pemerintah kolonial dikirimkan empat kapal tempur yang diambil dari pangkalan Pelabuhan Cirebon, Jepara, Rembang dan Batavia untuk menumpas penyelundupan ini.

Minggu, 05 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (1) KELENTENG MAK CO DI REMBANG

Sesudah pecahnya pemberontakan Tiong Hoa dan diperoleh kenyataan adanya persatuan antara orang-orang pribumi dan Tionghoa, maka hal ini dianggap membahayakan kejayaan Kompeni. Selanjutnya Kompeni melakukan pemecahbelahan antar dua kelompok ini. Bahkan Kompeni mengeluarkan perintah memindahkan pemukiman orang-orang Tionghoa di Dresi dan Jangkungan menuju ke sebelah timur atau masuk ke dalam kota Rembang yang sekarang ini.

Dengan dipindahkannya pemukiman orang-orang Tionghoa tersebut, maka kelenteng “Dewi Sanudra Mak Co Poo Thian Siang Sing Bo Nio-Nio” yang semula berada di Jangkungan masuk ke kota Rembang. Pertama kali menempati lokasi di jalan K.S. Tubun No.3 sekarang ini. Di tempat itu hingga sekarang masih terdapat batu peringatan pemugaran kelenteng tersbut. Tidak diperoleh data pasti sejak kapan dan berapa lama kelenteng Dewi Samudra berada dilokasi ini. Dari tempat ini kemudian kelenteng berpindah ke lokasi di desa Tasik Agung tepatnya di jalan Pelabuhan No.1 Rembang, setelah dibangun kelenteng “Tjoe Hwie Kiong” oleh masyarakat Tionghoa di Rembang pada tahun 1841.

Lokasi kelenteng ini berada di tepi sungai Karanggeneng dan menghadap ke arah bekas pelabuhan Rembang di muara sungai ini yang sekarang berada di sisi barat Kawasan Bahari Terpadu. Kelenteng Mak Co di Rembang ini di dirikan pada tahun 1841 oleh Kapten Lie (?). Kelenteng ini mula-mula didirikan di desa Jangkungan, kecamatan Kaliori kemudian dipindah ke lokasi sebagaimana yang sekarang bisa dijumpai.Keistimewaan kelenteng ini adalah adanya dua menara kembanr yang disebut Kie Kwa yang tidak dapat di jumpai pada kelenteng lain.

Setiap sepuluh tahun sekali diadakan perayaan ulang tahun kelenteng secara besar-besaran yang dimeriahkan dengan berbagai atraksi yang khas seperti liang liong, barongsai, pertunjukan wayang potehi, wayang kulit dan sebagainya. Pengunjungnya datang dari berbagai daerah bukan hanya dari Rembang saja tetapi juga dari Jakarta, Semarang, Solo, Surabaya dan sebagainya.

Di dalam klenteng tersebut ditemukan sebuah prasasti berhuruf kanji yang berisi informasi tentang pembangunan klenteng tersebut. Adapun isi prasasti tersebut adalah sebagai berikut :

Riwayat Sheng Mu (Seng Boo yaitu Ma Zu / Mak Co yang harum mulai tahun Jian Long (960 M). Dinasti Song waktu dilahirkan di pulau Mi, Prefektur Pu (terletak di provinsi Fujian / hokkian), beliau sudah dilengkapi kekuatan gaib yang luar biasa dan setelah dewasa beliau menjadi Dewi dan naik ke langit pada waktu siang hri. Beliau menyelamatkan dunia, menguntungkan rakyat, juga membntu serta menolong manusia pada saat bahaya. Kebaikan tersebut menunjukkan bahwa beliau sama seperti Sang Pencipta. Pada zaman Dinasti Sang, beliau dipuja dan dihadiahi tanah dan gelar oleh 14 kaisar, Pada zaman Dinasti Yuan dari 5 kaisar, dan pada zaman Dinasti Ming, jumlah pernyataan penghormatan padanya ditambah 4.

Para Kaisar Dinasti Qing pula menambah tanah dan gelar kehormatan padanya serta menempatkan beliau dalam upacara sembahyang resmi, jumlahnya mencapai 10 kali. Sejak Dinasti Song sampai sekarang, telah tercatat 800 kali lebih kaisar-kaisar turun-temurun menghadiahi tanah dan gelar kehormatan padanya dan berulang-ulang memberi peningkatan statusnya dalam upacara sembahyang resmi. Dengan berlalunya zaman, kebaikannya semakin luar biasa, dunia ini semakin diperdamaikan, dan keluhurannya semakin jelas. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa kebaikannya tidak terbatas pada tempat atau waktu, tetapi terbentang ke seluruh dunia dan seluruh masa. Kami para Tang Ren (orang Tionghoa) di Nan Wang (Rembang) juga diberkati seluas-luasnya dan dilindungi sebesar-besarnya, oleh karena itu kami ingin memuji keajaibannya yang abadi dan jaya. Maka disinilah kami mendirikan istana untuk mempersuburkan kemurahan hatinya (Ci / Tjoe) dan keberkatannya (Hui / Hwe). Dengan mengumpulkan dana dari seluruhnya, akhirnya berhasil menyelesaikan pembangunan klenteng ini. Kemuliaannya dan perayaan demi beliau akan dipuja ribuan tahun, dan disini kami khusus mengingatkan bahwa keajibannya terus makmur, dan kami akan menyembah beliau sebesar-besarnya dan selama-lamanya.

Tahun Dio Guing ke-21 (1841 Masehi), Xin Chou (Tahun Sapi-Mas-Yin) Jiayue (bulan “Alang-alang”), Gudan (pagi hari yang baik)

Dipahat oleh antara lain Pengurus / Kapitan : Xinshi Huang Kai San; Pengikut (Oei Khay San) Zuzhi Sun Guo Tai (Soen Kok Thay), Xinshi Guo De Zong (Kwee Tee Tjang).

REMBANG SEBAGAI DAERAH BAHARI

Jauh sebalum abad ke-16, Indonesia selalu memainkan secara integral dalam perdagangan laut di Asia yang menggunakan jalur antara Timur Tengah dan Cina.75 Bahkan penyebaran agama Islam di Indonesia juga terjadi melalui perdagangan laut.76 Sementara itu perkembangan sosial ekonomi wilayah Pantai Utara Jawa Tengah sejak abad ke-15 ditandai oleh perkembangan kota-kota pelabuhan yang semakin ramai terutama kedatangan saudagar-saudagar Islam.

Dengan demikian sejak jaman kuno di wilayah Pantai Utara Jawa dengan wilayah-wilayah pesisir lain telah tercipta jaringan perdagangan laut yang saling menghubungkan kota pelabuhan satu dengan yang lain.
Jalur perdagangan laut tradisional dalam negeri dapat direkonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya, baik Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Banten, Sunda Kelapa dan lain-lain. Dari pantai barat Sumatera, kapal-kapalm memasuki selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa terutama di Jepara, Lasem, Tuban dan Gersik maupun Surabaya. Pada umumnya angin Musim Timur, kapal-kapal dari Pantai Utara Jawa bagian timur berlayar ke Selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-pelabuhan Siam. Sedangkan pada Musim Barat, mereka berlayar ke pulau-pulau Nusa Tenggara, kepulauan Malaka dan sekitarnya.78 Dari berbagai sumber sejarah yang menceritakan kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, Pelabuhan Rembang secara khusus memang tidak pernah disebut. Dari sumber tradisional, justru Lasemlah yang disebut-sebut salah satu pe;abuhan besar milik Majapahit. Meskipun demikian, pada masa VOC, Rembang sudah disebut-sebut sebagai sebuah pelabuhan dan tempat pembuatan kapal yang cukup terkenal. De Graaf, dengan beberapa karyanya senantiasa menyebutkan Rembang sebagai daerah pelabuhan,79 yang tentunya mengandung pengertian tentang adanya aktifitas sebuah pelabuhan yang terletak di daerah Rembang, baik sebagai daerah kabupaten maupun sebuah kota.

Di Rembang, Kompeni menganggap mutlak perlu mendirikan kantor karena kaya akan kayu, oleh karena itu ditempat itu didirikan sebuah galangan kapal.80 Tentang kapan galangan itu didirikan dan sejak kapan dimulai beroperasi memang tidak bisa dipastikan. Tome Pires menceritakan, bahwa pada awal abad ke-16, Rembang memilikin galangan kapal untuk armada dagang Kerajaan Demak.81 Kemungkinan besar, sejak saat itu aktivitas Rembang sebagai kota pelabuhan sudah mulai berlangsung dan menjadi bagian dari jaringan jalur perdagangan laut.

Sementara di pelabuhannya sendiri bisa dianggap sebagai pelabuhan yang cukup ramai terutama untuk penjualan kayu jati dan pembuatan kapal, serta pengekspor garam. Pada saat terjadi penyerangan bajak laut Makasar ke Rembang, sasaran mereka ditujukan kepada pedagang dan pengusaha kayu Cina dan Belanda yang tinggal disana. Dalam serangan itu kapal-kapal baru Kompeni di golongan kapal milik Daniel Dupree meskipun bisa diselamatkan, tetapi perahu-perahu yang lain bisa dihancurkan beberapa hari sebelumnya terjadi serangan-serangan dan perampasan-perampasan atas sebuah kapal milik Cina-Rembang.

Di samping itu, pentingnya Pelabuhan Rembang pada waktu itu dapat ditunjukkan dengan sering disinggahinya pelabuhan bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada jalur Pantai Utara Jawa. Sebagai contoh misalnya, Pelabuhan Rembang dijadikan tempat-tempat singgahannya seorang nahkoda dari Melayu yang bernama Sautana yang hendak berlayar dari Gersik ke Pasir di Kalimantan.83 Pelabuhan Rembang rupanya banyak didatangi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Madura.

Pada sekitar tahun 1700, VOC berkembang menjadi sebuah kekuasaan pusat perdagangan kuno, dan menguasai jalur perdagangan laut yang sibuk di sepanjang Pantai Laut Hindia dan Laut Cina serta Pantai India, Burma, Siam, Vietnam, Formosa, dan Nagasaki di Jepang. Namun kegiatan dagang VOC lebih dipusatkan di Maluku, sehingga menghilangkan keseimbanganperdagangan laut di sepanjang Pantai Utara Jawa dari Maluku ke pelabuhan entreport Malaka dan seterusnya ke India. Hal inilah yang turut mempengaruhi intensitas perdagangan laut di Utara Jawa termasuk terjadinya proses kemunduran pelabuhan-pelabuhan tradisional di Jawa. Tak kecuali dengan Pelabuhan Rembang.
Ketika VOC banyak mengalami kekalahan di berbagai medan pada masa Perang Pacinan, tetapi masih tetap mempertahankan pos-pos perdagangannya di Jepara, Semarang, Surabaya, Rembang, Demak, dan Tegal.86 Dengan demikian jalur perdagangan laut yang menghubungkan Rembang dengan daerah-daerah lain di Pantai Utara Jawa masih tetap bertahan. Sebaliknya, ketika VOC berhasil menumpas pemberontakan Pacinan dapat menganeksasi sebagian wilayah pesisir Utara Jawa, telah menimbulkan pergeseran sosial ekonomi atas wilayah-wilayah itu. Di daerah Rembang misalnya, telah terjadi eksploitasi yang semakin intensif atas daerah itu. Penyerahan wajib yang dibebankan kepada daerah Rembang pada waktu itu terutama kayu jati, ikan asin, garam, dan tamarin. Barang-barang itu merupakan komoditas yang cukup berarti dalam perdagangan laut. Dengan demikian di Pelabuhan Rembang mengalami pergeseran-pergeseran pada aktivitas perdagangan lautnya. Peranan Pelabuhan Rembang sebagai salah satu lokasi yang menghubungkan jalur perdagangan laut tetap berlangsung dengan baik, bahkan Pelabuhan Rembang semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang, terutama mereka yang mempunyai kaitan dengan perdagangan kayu jati dan aktivitas pembuatan, perbaikan dan pembelian kapal. Rupanya perdagangan laut dari dan ke Pelabuhan Rembang masih menggunakan jalur perdagangan laut kuno, meskipun intensitas dan kualitas perdagangan laut pribumi semakin berkurang. Sebaliknya pedagang-pedagang asing dari Barat semakin intensif memasuki jaringan perdagangan laut yang sudah terbentuk itu.

Pada abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda semakin menyadari pentingnya peranan transportasi laut di Indonesia, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk lalu lintas manusia dan barang, dan sekaligus untuk memantapkan proses pasifikasi kolonial.
Meskipun Pemerintah Kolonial Belanda telah menguasai aktivitas Pelabuhan Rembang sejak dasawarsa kedua abad ke-19, tetapi sebenarnya sistem pengelolaan pelabuhan itu sendiri belumlah berjalan secara efektif. Apalagi dengan situasi dan kondisi keuangan pelabuhan yang sangat terbatas telah menyebabkan penanganan pelabuhan baik secara umum maupun Pelabuhan Rembang sendiri sering terabaikan. Dengan demikian perkembangan pelabuhan berlangsung secara sederhana dan apa adanya. Berbagai pihak yang berkepentingan terhadap Pelabuhan Rembang terpaksa harus menyesuaikan dengan kondisi ini, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik. Rupanya kondisi kebanyakan pelabuhan di Jawa pada akhir tahun 1886 cukup memprihatinkan. Sudah barang tentu, dengan kondisi seperti ini telah menjadikan kendala bagi perkembangan pelabuhan itu sendiri yang pada gilirannya akan mempengaruhi kapal-kapal dan pedagang-pedagang yang datang. Di samping itu peranan Pemerintah sangat dominan dalam fungsionalisasi pelabuhan, sedangkan pihak swasta tidak banyak mengalami perkembangan karena mereka harus berperan menyesuaikan dengan kondisi pelabuhan. Kondisi seperti ini juga berpengaruh pada perdagangan laut secara umum di Hindia Belanda maupun di Rembang.