Dengan demikian
sejak jaman kuno di wilayah Pantai Utara Jawa dengan wilayah-wilayah pesisir
lain telah tercipta jaringan perdagangan laut yang saling menghubungkan kota
pelabuhan satu dengan yang lain.
Jalur perdagangan
laut tradisional dalam negeri dapat direkonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan
pribumi dan wilayah ekspansinya, baik Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Banten,
Sunda Kelapa dan lain-lain. Dari pantai barat Sumatera, kapal-kapalm memasuki
selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa terutama di Jepara,
Lasem, Tuban dan Gersik maupun Surabaya. Pada umumnya angin Musim Timur,
kapal-kapal dari Pantai Utara Jawa bagian timur berlayar ke Selat Malaka,
Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-pelabuhan Siam. Sedangkan pada
Musim Barat, mereka berlayar ke pulau-pulau Nusa Tenggara, kepulauan Malaka dan
sekitarnya.78 Dari berbagai sumber sejarah yang menceritakan kota-kota
pelabuhan di Pantai Utara Jawa, Pelabuhan Rembang secara khusus memang tidak
pernah disebut. Dari sumber tradisional, justru Lasemlah yang disebut-sebut
salah satu pe;abuhan besar milik Majapahit. Meskipun demikian, pada masa VOC,
Rembang sudah disebut-sebut sebagai sebuah pelabuhan dan tempat pembuatan kapal
yang cukup terkenal. De Graaf, dengan beberapa karyanya senantiasa menyebutkan
Rembang sebagai daerah pelabuhan,79 yang tentunya mengandung pengertian tentang
adanya aktifitas sebuah pelabuhan yang terletak di daerah Rembang, baik sebagai
daerah kabupaten maupun sebuah kota.
Di Rembang, Kompeni
menganggap mutlak perlu mendirikan kantor karena kaya akan kayu, oleh karena
itu ditempat itu didirikan sebuah galangan kapal.80 Tentang kapan galangan itu
didirikan dan sejak kapan dimulai beroperasi memang tidak bisa dipastikan. Tome
Pires menceritakan, bahwa pada awal abad ke-16, Rembang memilikin galangan
kapal untuk armada dagang Kerajaan Demak.81 Kemungkinan besar, sejak saat itu
aktivitas Rembang sebagai kota pelabuhan sudah mulai berlangsung dan menjadi
bagian dari jaringan jalur perdagangan laut.
Sementara di
pelabuhannya sendiri bisa dianggap sebagai pelabuhan yang cukup ramai terutama
untuk penjualan kayu jati dan pembuatan kapal, serta pengekspor garam. Pada
saat terjadi penyerangan bajak laut Makasar ke Rembang, sasaran mereka
ditujukan kepada pedagang dan pengusaha kayu Cina dan Belanda yang tinggal
disana. Dalam serangan itu kapal-kapal baru Kompeni di golongan kapal milik
Daniel Dupree meskipun bisa diselamatkan, tetapi perahu-perahu yang lain bisa
dihancurkan beberapa hari sebelumnya terjadi serangan-serangan dan
perampasan-perampasan atas sebuah kapal milik Cina-Rembang.
Di samping itu,
pentingnya Pelabuhan Rembang pada waktu itu dapat ditunjukkan dengan sering
disinggahinya pelabuhan bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada jalur Pantai
Utara Jawa. Sebagai contoh misalnya, Pelabuhan Rembang dijadikan tempat-tempat
singgahannya seorang nahkoda dari Melayu yang bernama Sautana yang hendak
berlayar dari Gersik ke Pasir di Kalimantan.83 Pelabuhan Rembang rupanya banyak
didatangi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Madura.
Pada sekitar tahun
1700, VOC berkembang menjadi sebuah kekuasaan pusat perdagangan kuno, dan
menguasai jalur perdagangan laut yang sibuk di sepanjang Pantai Laut Hindia dan
Laut Cina serta Pantai India, Burma, Siam, Vietnam, Formosa, dan Nagasaki di
Jepang. Namun kegiatan dagang VOC lebih dipusatkan di Maluku, sehingga
menghilangkan keseimbanganperdagangan laut di sepanjang Pantai Utara Jawa dari
Maluku ke pelabuhan entreport Malaka dan seterusnya ke India. Hal inilah yang
turut mempengaruhi intensitas perdagangan laut di Utara Jawa termasuk
terjadinya proses kemunduran pelabuhan-pelabuhan tradisional di Jawa. Tak
kecuali dengan Pelabuhan Rembang.
Ketika VOC banyak
mengalami kekalahan di berbagai medan pada masa Perang Pacinan, tetapi masih
tetap mempertahankan pos-pos perdagangannya di Jepara, Semarang, Surabaya,
Rembang, Demak, dan Tegal.86 Dengan demikian jalur perdagangan laut yang
menghubungkan Rembang dengan daerah-daerah lain di Pantai Utara Jawa masih
tetap bertahan. Sebaliknya, ketika VOC berhasil menumpas pemberontakan Pacinan
dapat menganeksasi sebagian wilayah pesisir Utara Jawa, telah menimbulkan
pergeseran sosial ekonomi atas wilayah-wilayah itu. Di daerah Rembang misalnya,
telah terjadi eksploitasi yang semakin intensif atas daerah itu. Penyerahan
wajib yang dibebankan kepada daerah Rembang pada waktu itu terutama kayu jati,
ikan asin, garam, dan tamarin. Barang-barang itu merupakan komoditas yang
cukup berarti dalam perdagangan laut. Dengan demikian di Pelabuhan Rembang
mengalami pergeseran-pergeseran pada aktivitas perdagangan lautnya. Peranan
Pelabuhan Rembang sebagai salah satu lokasi yang menghubungkan jalur
perdagangan laut tetap berlangsung dengan baik, bahkan Pelabuhan Rembang
semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang, terutama mereka yang mempunyai
kaitan dengan perdagangan kayu jati dan aktivitas pembuatan, perbaikan dan
pembelian kapal. Rupanya perdagangan laut dari dan ke Pelabuhan Rembang masih
menggunakan jalur perdagangan laut kuno, meskipun intensitas dan kualitas
perdagangan laut pribumi semakin berkurang. Sebaliknya pedagang-pedagang asing
dari Barat semakin intensif memasuki jaringan perdagangan laut yang sudah
terbentuk itu.
Pada abad ke-19,
Pemerintah Kolonial Belanda semakin menyadari pentingnya peranan transportasi
laut di Indonesia, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk lalu lintas
manusia dan barang, dan sekaligus untuk memantapkan proses pasifikasi
kolonial.
Meskipun Pemerintah
Kolonial Belanda telah menguasai aktivitas Pelabuhan Rembang sejak dasawarsa
kedua abad ke-19, tetapi sebenarnya sistem pengelolaan pelabuhan itu sendiri
belumlah berjalan secara efektif. Apalagi dengan situasi dan kondisi keuangan
pelabuhan yang sangat terbatas telah menyebabkan penanganan pelabuhan baik
secara umum maupun Pelabuhan Rembang sendiri sering terabaikan. Dengan demikian
perkembangan pelabuhan berlangsung secara sederhana dan apa adanya. Berbagai
pihak yang berkepentingan terhadap Pelabuhan Rembang terpaksa harus
menyesuaikan dengan kondisi ini, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik.
Rupanya kondisi kebanyakan pelabuhan di Jawa pada akhir tahun 1886 cukup
memprihatinkan. Sudah barang tentu, dengan kondisi seperti ini telah
menjadikan kendala bagi perkembangan pelabuhan itu sendiri yang pada gilirannya
akan mempengaruhi kapal-kapal dan pedagang-pedagang yang datang. Di samping itu
peranan Pemerintah sangat dominan dalam fungsionalisasi pelabuhan, sedangkan
pihak swasta tidak banyak mengalami perkembangan karena mereka harus berperan
menyesuaikan dengan kondisi pelabuhan. Kondisi seperti ini juga berpengaruh
pada perdagangan laut secara umum di Hindia Belanda maupun di Rembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar