Dengan sikap dasar
seperti inilah ketika terjadi pengungsian besar-besaran orang-orang Cina dari
Belanda ke Lasem pada tahun 1741 ia membantu pimpinan orang Cina di Lasem yang
bernama Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) untuk membantu para pengungsi
Cina dari Batavia. Dengan tokoh Cina inilah R.P.Margono mengorganisir rencana
untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni bersama orang-orang Cina di Lasem.
Rencana perlawanan ini juga dibantu seorang juragan Cina yang kaya yaitu Tan Ki
Wie. Bahkan R.P.Margono ini dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni dengan
menyamar sebagai orang Cina dengan nama Tan Pan Ciang. Akhirnya dengan
kerjasama yang baik antara laskar Cina dengan orang-orang pribumi, mereka bisa
menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Namun
demikian setelah mendapatkan bantuan tentara dan persenjataan lengkap dari
Semarang akhirnya perlawanan ini dapat dikalahkan oleh Belanda.
Sabtu, 29 September 2012
OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (3) KOMPLEKS MAKAM RADEN PANJI MARGONO
Makam Raden Panji
(R.P.) Margono terletak di desa Dorokandang, Kecamatan Lasem. Di kompleks
pemakaman ini dimakamkan pula seorang tokoh yang bernama Ki Moersodo dan
istrinya yang menurut cerita merupakan pengawal R.P.Margono. Menurut cerita
dalam kitab Sabda Badra Santi R.P.Margono adalah seorang putra tertua dari
Adipati Lasem Pangeran Tejokusumo V. Sebagaimana ayahnya ia memiliki sikap
tidak senang kepada Sunan Pakubuwono I yang berpihak kepada Kompeni Belanda. Oleh
karena itu ketika ayahnya wafat ia tidak mau menjadi adipati Lasem. Ia tidak
senang menjadi pejabat tetapi lebih memilih sebagai orang kebanyakan yaitu
sebagai petani dan berdagang dengan orang-orang Cina di Lasem dan sekitarnya.
OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (2) KOMPLEKS MAKAM NYAI AGENG MALOKO
Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat, Nyai Ageng Maloko merupakan anak pertama dari Sunan
Ampel. Nama aslinya adalah Siti Syari’ah. Ia memiliki taga adik yaitu Sunan
Bonang, Sunan Drajat dan Nyai Ageng Manila (istri Sunan Kalijaga). Tidak
berbeda dengan saudara-saudara laki-lakinya, Nyai Ageng Maloko sebagai
keturunan ulama besar Islam juga merupakan seorang mubalighot Islam yang
terkenal. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyebarkan Islam
terutama di kalangan perempuan. Mula-mula ia ikut menyebarkan Islan di daerah
Ampel Denta (Gresik) bersama orang tuanya. Oleh orang tuanya ia dikawinkan
dengan salah satu muridnya yang bernama Wiranagara yang merupakan anak Adipati
Lasem yang bernama Wirabajra. Pada waktu Adipati Wiranegara (Hindhu-Budha)
melamar Siti Syari’ah ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati, yaitu :
1. Pangeran.
Wiranegara harus bisa membaca syahadad (msuk Islam)
2. Dia (sang Putri)
harus tetap diijinkan mengajar ngaji bagi kaumnya
3. Dibuatkan tempat
khusus untuk mengajar (mengaji dan membuat kain tenun bagi kaumnya) di tepi
pantai.
Atas persyaratan
itu, maka didirikanlah sebuah tempat pendidikan Islam bagi kaum perempuan di
wilayah desa yang diberi nama gedung Mulyo di dukuh Caruban. Setelah menjadi
istri Adipati Wiranegara namanya diubah menjadi Siti Malochah (dialek jawa
menjadi Maloko). Masyarakat sekitar menyebut Nyai Ageng Maloko.
Ketika Adipati
Wirabjra meninggal, maka Wiranegara segera pulang ke Lasem untuk menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai adipati di Lasem. Pada saat pemerintahannya, pusat
kadipaten dipindahkan ke Binangun. Ia menjabat pemerintahan Lasem selama 5
tahun. Ia meninggal tahun 1479. Oleh karena putranya masih sangat kecil (yaitu
seorang putri yang bernama Sholikhah
sedangkan anak yang ke-dua meninggal dunia), maka pemerintahan Lasem dipegang
oleh Nyai Ageng Maloko sendiri yang pda waktu itu usianya masih 28 tahun.
Pada tahun 1480
ibukota kadipaten dipindahkan lagi ke Lasem oleh Nyai Ageng Maloko. Pusat
pemerintahannya berada di kawasan Caruban dekat dengan kediaman Pangran Santi
Puspo yang menduduki jabatan semacam laksamana yang waktu itu dipercaya
dikasihi oleh Dewi Laut. Pangeran Santi Puspo juga masih memiliki hubungan
kerabat dengan suami Nyai Ageng Maloko sehingga mereka memiliki hubungan yang
akrab. Sementara itu setelah putri Solikhah dewasa ia diperistri oleh Arya Jin
Bun yang kemudian menjadi Sultan Demak. Selama pemerintahannya Nyai Ageng
Maloko membangun sebuah gedung dan taman yang diceritakan dekat dengan tempat
pemujaan Sang Hyang Baruna (Dewa Laut) yang diberi nama Taman Sitaresmi yang
untuk masa selanjutnya juga disebut Taman Caruban. Nyai Ageng Maloko meninggal
pada usia 39 yahun. Setelah itu kedudukan adipati digantikan oleh Pangeran
Santi Puspo dan didampingi oleh adiknya yang bernama Santiyogo. Menurut cerita
juru kunci makam Nyai Ageng Maloko, Pangeran Santiyogo inilah yang disebut
sebagai Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran yang menggantikan kedudukan Nyai
Ageng Maloko sebagai Adipati Lasem. Setelah meninggal, Nyai Ageng Maloko
dimakamkan di Caruban (yang termasuk dalam wilayah desa Gedungmulyo, Kecamatan
Lasem). Makam Nyai Ageng Maloko berada dalam sebuah cungkup yang terdapat pada
bagian yang paling utara dari kompleks pekuburan. Bangunan cungkup dibuat
dengan menggunakan batu bata merah. Namun demikian saat ini tembok batu bata
tersebut sudah dilepa dengan semen. Cungkup ini dibangun lebih tinggi daripada
makam-makam disekitarnya. Di dalam cungkup ini hanya terdapat satu makam yaitu
makam Nyai Ageng Maloko. Jirat dan nisan makam ini tampaknya bukan aslinya
tetapi sudah diperbarui.
Menurut penuturan
juru kunci Nyai Ageng Maloko, di daerah Lasem (dusun Caruban) inilah dia
membuka pesantren putri yang tidak hanya diperintukkan bagi masyarakat Lasem
tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria
(Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah), dan bahkan ada santriwati dari
Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah
murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak
wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren
ini bertambah ramai.
Di luar cungkup ini
terdapat banyak makam dengan nisan kuno yang sesuai dengan nisan yang terdapat
di makam Sayid Abubakar. Selain itu juga bisa ditemukan berbagai macam
peninggalan pra Islam seperti beberapa buah lingga dan benda-benda purbakala
lainnya. Kompleks makam Nyai geng Maloko ini juga dikelilingi oleh pagar yang
aslinya berupa batu bata merah kuno meskipun sayang sekali sekarang sudah
dipugar dan dilepo dengan semen sehingga tidak menampakkan keasliannya. Di luar
pagar kompleks makam Nyai Ageng Maloko terdapat pekuburan umum yang mungkin
sesuai dengan nisan-nisan yang ada di dalam tembok keliling.
Sabtu, 22 September 2012
OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (1) MAKAM SAYID ABU BAKAR (SANTI PUSPO)
Di
kalangan masyarakat setempat Sayid Abu Bakar dikenal juga sebagai Mbah Santi
Puspo atau Mbah Imam. Ia dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai salah satu
penyebar Islam yang yang tertua di daerah Lasem dan sekitarnya. Di daerah itu,
Sayid AbuBajar menyebarkan agama Islam bersama dengan murid-muridnya. Ia
Mendirikan pesantren di kawasaan dususn Caruban yang dikelililingi oleh
perkanpungan penduduk. Dusun ini letaknya tidak jauh dari pantai, yaitu sekitar
200 meter saja. Berdasarkan penelituian archeologi situs Caruban merupakan
salah satu situs tertua sebagai perkampungan pada masa awal kota lasem.
Setelah meninggal, Sayid Abubakar dimakamkan didusun Caruban, desa Gedongmulyo, kecamatan Lasem bersama dengan para santrinya. Bahkan pada saat ini kompleks makam itu juga digunakan oleh penduduk sebagai tempat pemakaman umum. Makam Sayid Abubakar berada di dalam bangunan cungkup sederhana yang aslinya terbuat dari bata merah yang kemungkinan berasal dari sekitar abad XV. Sementara itu serambi cungkup tampaknya merupakan bangunan baru yang berfungsi untuk ruang tunggu para peziarah. Jirat makam ini masih relatif baru karena sudah berbahan semen. Menurut keterangan yang ada memang aslinya makam ini tidak berjirat. Adapun nisan makam ini masih sli yaitu nisan yang berbentuk kurawal berhiaskan motif sulur-sulur dan berbahan batu karang. Di sebelah timur batu cungkup terdapat batu bata yang berserakan dan bekas pondasi persegi panjang keliling. Kemungkinan sisa-sisa pondasi dan batu bata tersebut merupakan tembok keliling makam yang sudah lapuk dimakan usia. Namun demikian ada yang mengatakan bahwa serakan batu bata dan fondasi tersebut merupakan bekas candi pra-Islam yang sudah rusak. Belum jelas apakah bekas candi itu candi itu kemudian difungsikan sebagai mushola bagi orang islam atau dibiarkan begitu saja. Aneh sekali bahwa tanah yang berada di dalam di sebelah timur makam Sayid Abubakar ini lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan letak makam itu sendiri. Sebelum mencapai pintu masuk cungkup makam ini terdapat sumur tua yang diyakini sebagai sumur peninggalan Sayid Abubakar.
Setelah meninggal, Sayid Abubakar dimakamkan didusun Caruban, desa Gedongmulyo, kecamatan Lasem bersama dengan para santrinya. Bahkan pada saat ini kompleks makam itu juga digunakan oleh penduduk sebagai tempat pemakaman umum. Makam Sayid Abubakar berada di dalam bangunan cungkup sederhana yang aslinya terbuat dari bata merah yang kemungkinan berasal dari sekitar abad XV. Sementara itu serambi cungkup tampaknya merupakan bangunan baru yang berfungsi untuk ruang tunggu para peziarah. Jirat makam ini masih relatif baru karena sudah berbahan semen. Menurut keterangan yang ada memang aslinya makam ini tidak berjirat. Adapun nisan makam ini masih sli yaitu nisan yang berbentuk kurawal berhiaskan motif sulur-sulur dan berbahan batu karang. Di sebelah timur batu cungkup terdapat batu bata yang berserakan dan bekas pondasi persegi panjang keliling. Kemungkinan sisa-sisa pondasi dan batu bata tersebut merupakan tembok keliling makam yang sudah lapuk dimakan usia. Namun demikian ada yang mengatakan bahwa serakan batu bata dan fondasi tersebut merupakan bekas candi pra-Islam yang sudah rusak. Belum jelas apakah bekas candi itu candi itu kemudian difungsikan sebagai mushola bagi orang islam atau dibiarkan begitu saja. Aneh sekali bahwa tanah yang berada di dalam di sebelah timur makam Sayid Abubakar ini lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan letak makam itu sendiri. Sebelum mencapai pintu masuk cungkup makam ini terdapat sumur tua yang diyakini sebagai sumur peninggalan Sayid Abubakar.
Rabu, 05 September 2012
OBYEK WISTA UTAMA REMBANG (6) KOMPLEKS TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI
Taman Rekreasi
Pantai Kartini (TRPK) sebetulnya sudah dikenal masyarakat Rembang dan
sekitarnya sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman Kolonial Belanda, di
samping digunakan sebagai tempat rekreasi, TRPK juga digunakan untuk
kepentingan lain yaitu untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas laut di
sekitar Rembang. Satu hal yang menarik adalah bahwa di dalam kompleks TRPK ini
terdapat bekas bangunan kuno yang dapat dibayangkan kemegahannya pada jaman
dulu. Bangunan ini berarsitektur Eropa yang kemungkinannya dulu pernah
digunakan oleh orang-orang Belanda untuk melakukan pertemuan dan pesta (semacam
gedung societiet)
Menurut
informasi, di atap bangunan ini pernah ditemukan tulisan angka tahun pembuatan
gedung ini yaitu tahun 1811. Kalau hal ini benar, maka gedung ini kemungkinan
dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W.Daendels (1808-1811) yang
terkenal sebagai pemrakarsa pembangunan Jalan Post antara Anyer dan Panarukan.
Rembang merupakan salah satu kota yang dilewati Jalan Pos ini. Sejak tahun
1945, gedung ini dimanfaatkan sebagai gereja oleh Jemaat Umat Kristen
Protestan. Oleh karena jumlah anggota jemaat yang semakin berkurang maka
bangunan tua tersebut diubah fungsinya sebagai Taman Bacaan dan Perpustakaan
Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang. Setelah beberapa lama bangunan tersebut
dibeli oleh Jemaat Kristen Jawa (dengan koordinasi dengan Gereja Indonesia
Bagian Barat) sejak tahun 1996, maka kondisi bangunan semakin memburuk. Pada
akhir tahun 2001 atap bangunan tersebut roboh. Pada saat ini tinggal
tiang-tiang penyangga dan temboknya saja yang masih tersisa.

Secara
keseluruhan, Taman Kartini telah mengalami renovasi beberapa kali sejak tahun
1979. Pada tahun ini dibangun sarana bermain anak-anak. Selanjutnya pada tahun
1992 diadakan penataan lagi dengan menambah fasilitas seperti shelter, gardu
pandang, pembangunan talud pantai, dan sebagainya sehingga menambah daya tarik
taman rekreasi ini. Sejak saat itu nama Taman Kartini diganti dengan nama Taman
Rekreasi Pantai Kartini (TRPKartini).
Di dalam TRP
Kartini terdapat jangkar raksasa yang oleh masyarakat dikenal dengan nama
jangkar Dampo Awang. Jangkar
ini dipercaya milik pelaut Tionghoa yang bernama Sam Pho Khong. Diceritakan
bahwa pada waktu Sam Pho Khong sedang berlayar di Laut Jawa dalam rangka
ekspedisi ke selatan, kapal Sam Pho Khong diterjang gelombang besar sehingga
kapalnya rusak, rantai jangkar terlepas dan terdampar di Rembang dan layarnya
tertiup angin topan yang akhirnya jatuh di pantai Bonang sekarang ini dikenal
sebagai batu layar.
Untuk kepentingan pengmbangan
wisata di TRPKartini, pada hari kamis pon tanggal 16 Oktober 2003, jangkar dengan
panjang 2,5 m dan lebar 1,5 m ini dipindah dari tempatnya semula daratan di
tengah-tengah TRP Kartini yaitu sekitar 50 km dari garis pantai ke dalam
monumen megah yang dilengkapi dengan pelindung kaca dan lampu yang dibangun
diatas perairan tepi pantai, tepatbya 20 m dari garis pantai. Oleh masyarakat
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang, jangkar Dampo Awang ini tidak hanya
dijadikan sebagai benda bersejarah, namun juga dijadikan sebagai simbol
semangat bahari kota Rembang guna mewujudkan misi “Rembang Bahari”
Mengenai hal ihwal pemindahan
jangkar Dampo Awang ini terdapat cerita-cerita yang menarik. Diceritakan bahwa
pada tahun 1950-an, jangkar ini pernah “mengamuk” ketika akan dipindah keluar
Rembang yaitu ke Semarang. Tiba-tiba muncul badai besar di Rembang selama satu
minggu lebih. Behkan benda yang semula terletak di belakang Lembaga
Pemasyarakatan ini tidak bergerak ketika diangkat oleh sekitar 100 orang.
Ketika dipindah dari belakang Lembaga Pemasyarakatan ke TRP Kartini, Jangkar
Dampo Awang diangkat oleh 150 orang. Namun demikian proses pemindahan ke lepas
pantai tanggal 16 Oktober 2003 hanya membutuhkan 16 orang meskipun membutuhkan
waktu yang lama yaitu sekitar 5 jam. Relatif mudahnya pemindahan Jangkar Dampo
Awang pada tanggal 16 Oktober 2003 ini menurut paranormal setempat disebabkan
oleh kerelaan “penunggu” jangkar yang untuk sementara mau pindah dulu dari
“rumahnya” untuk kemudian kembali lagi setelah pemindahan selesai. Para
paranormal berhasil melakukan pendekatan terhadap “penunggu” Jangkar Dampo
Awang.
Langganan:
Postingan (Atom)