Sabtu, 29 September 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (3) KOMPLEKS MAKAM RADEN PANJI MARGONO

Makam Raden Panji (R.P.) Margono terletak di desa Dorokandang, Kecamatan Lasem. Di kompleks pemakaman ini dimakamkan pula seorang tokoh yang bernama Ki Moersodo dan istrinya yang menurut cerita merupakan pengawal R.P.Margono. Menurut cerita dalam kitab Sabda Badra Santi R.P.Margono adalah seorang putra tertua dari Adipati Lasem Pangeran Tejokusumo V. Sebagaimana ayahnya ia memiliki sikap tidak senang kepada Sunan Pakubuwono I yang berpihak kepada Kompeni Belanda. Oleh karena itu ketika ayahnya wafat ia tidak mau menjadi adipati Lasem. Ia tidak senang menjadi pejabat tetapi lebih memilih sebagai orang kebanyakan yaitu sebagai petani dan berdagang dengan orang-orang Cina di Lasem dan sekitarnya.
Dengan sikap dasar seperti inilah ketika terjadi pengungsian besar-besaran orang-orang Cina dari Belanda ke Lasem pada tahun 1741 ia membantu pimpinan orang Cina di Lasem yang bernama Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) untuk membantu para pengungsi Cina dari Batavia. Dengan tokoh Cina inilah R.P.Margono mengorganisir rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni bersama orang-orang Cina di Lasem. Rencana perlawanan ini juga dibantu seorang juragan Cina yang kaya yaitu Tan Ki Wie. Bahkan R.P.Margono ini dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni dengan menyamar sebagai orang Cina dengan nama Tan Pan Ciang. Akhirnya dengan kerjasama yang baik antara laskar Cina dengan orang-orang pribumi, mereka bisa menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Namun demikian setelah mendapatkan bantuan tentara dan persenjataan lengkap dari Semarang akhirnya perlawanan ini dapat dikalahkan oleh Belanda.

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (2) KOMPLEKS MAKAM NYAI AGENG MALOKO


Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Nyai Ageng Maloko merupakan anak pertama dari Sunan Ampel. Nama aslinya adalah Siti Syari’ah. Ia memiliki taga adik yaitu Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Nyai Ageng Manila (istri Sunan Kalijaga). Tidak berbeda dengan saudara-saudara laki-lakinya, Nyai Ageng Maloko sebagai keturunan ulama besar Islam juga merupakan seorang mubalighot Islam yang terkenal. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyebarkan Islam terutama di kalangan perempuan. Mula-mula ia ikut menyebarkan Islan di daerah Ampel Denta (Gresik) bersama orang tuanya. Oleh orang tuanya ia dikawinkan dengan salah satu muridnya yang bernama Wiranagara yang merupakan anak Adipati Lasem yang bernama Wirabajra. Pada waktu Adipati Wiranegara (Hindhu-Budha) melamar Siti Syari’ah ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati, yaitu :
1. Pangeran. Wiranegara harus bisa membaca syahadad (msuk Islam)
2. Dia (sang Putri) harus tetap diijinkan mengajar ngaji bagi kaumnya
3. Dibuatkan tempat khusus untuk mengajar (mengaji dan membuat kain tenun bagi kaumnya) di tepi pantai.
Atas persyaratan itu, maka didirikanlah sebuah tempat pendidikan Islam bagi kaum perempuan di wilayah desa yang diberi nama gedung Mulyo di dukuh Caruban. Setelah menjadi istri Adipati Wiranegara namanya diubah menjadi Siti Malochah (dialek jawa menjadi Maloko). Masyarakat sekitar menyebut Nyai Ageng Maloko.
Ketika Adipati Wirabjra meninggal, maka Wiranegara segera pulang ke Lasem untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai adipati di Lasem. Pada saat pemerintahannya, pusat kadipaten dipindahkan ke Binangun. Ia menjabat pemerintahan Lasem selama 5 tahun. Ia meninggal tahun 1479. Oleh karena putranya masih sangat kecil (yaitu seorang putri yang bernama  Sholikhah sedangkan anak yang ke-dua meninggal dunia), maka pemerintahan Lasem dipegang oleh Nyai Ageng Maloko sendiri yang pda waktu itu usianya masih 28 tahun.
Pada tahun 1480 ibukota kadipaten dipindahkan lagi ke Lasem oleh Nyai Ageng Maloko. Pusat pemerintahannya berada di kawasan Caruban dekat dengan kediaman Pangran Santi Puspo yang menduduki jabatan semacam laksamana yang waktu itu dipercaya dikasihi oleh Dewi Laut. Pangeran Santi Puspo juga masih memiliki hubungan kerabat dengan suami Nyai Ageng Maloko sehingga mereka memiliki hubungan yang akrab. Sementara itu setelah putri Solikhah dewasa ia diperistri oleh Arya Jin Bun yang kemudian menjadi Sultan Demak. Selama pemerintahannya Nyai Ageng Maloko membangun sebuah gedung dan taman yang diceritakan dekat dengan tempat pemujaan Sang Hyang Baruna (Dewa Laut) yang diberi nama Taman Sitaresmi yang untuk masa selanjutnya juga disebut Taman Caruban. Nyai Ageng Maloko meninggal pada usia 39 yahun. Setelah itu kedudukan adipati digantikan oleh Pangeran Santi Puspo dan didampingi oleh adiknya yang bernama Santiyogo. Menurut cerita juru kunci makam Nyai Ageng Maloko, Pangeran Santiyogo inilah yang disebut sebagai Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran yang menggantikan kedudukan Nyai Ageng Maloko sebagai Adipati Lasem. Setelah meninggal, Nyai Ageng Maloko dimakamkan di Caruban (yang termasuk dalam wilayah desa Gedungmulyo, Kecamatan Lasem). Makam Nyai Ageng Maloko berada dalam sebuah cungkup yang terdapat pada bagian yang paling utara dari kompleks pekuburan. Bangunan cungkup dibuat dengan menggunakan batu bata merah. Namun demikian saat ini tembok batu bata tersebut sudah dilepa dengan semen. Cungkup ini dibangun lebih tinggi daripada makam-makam disekitarnya. Di dalam cungkup ini hanya terdapat satu makam yaitu makam Nyai Ageng Maloko. Jirat dan nisan makam ini tampaknya bukan aslinya tetapi sudah diperbarui.
Menurut penuturan juru kunci Nyai Ageng Maloko, di daerah Lasem (dusun Caruban) inilah dia membuka pesantren putri yang tidak hanya diperintukkan bagi masyarakat Lasem tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria (Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah), dan bahkan ada santriwati dari Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren ini bertambah ramai.
Di luar cungkup ini terdapat banyak makam dengan nisan kuno yang sesuai dengan nisan yang terdapat di makam Sayid Abubakar. Selain itu juga bisa ditemukan berbagai macam peninggalan pra Islam seperti beberapa buah lingga dan benda-benda purbakala lainnya. Kompleks makam Nyai geng Maloko ini juga dikelilingi oleh pagar yang aslinya berupa batu bata merah kuno meskipun sayang sekali sekarang sudah dipugar dan dilepo dengan semen sehingga tidak menampakkan keasliannya. Di luar pagar kompleks makam Nyai Ageng Maloko terdapat pekuburan umum yang mungkin sesuai dengan nisan-nisan yang ada di dalam tembok keliling.

Sabtu, 22 September 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (1) MAKAM SAYID ABU BAKAR (SANTI PUSPO)

Di kalangan masyarakat setempat Sayid Abu Bakar dikenal juga sebagai Mbah Santi Puspo atau Mbah Imam. Ia dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai salah satu penyebar Islam yang yang tertua di daerah Lasem dan sekitarnya. Di daerah itu, Sayid AbuBajar menyebarkan agama Islam bersama dengan murid-muridnya. Ia Mendirikan pesantren di kawasaan dususn Caruban yang dikelililingi oleh perkanpungan penduduk. Dusun ini letaknya tidak jauh dari pantai, yaitu sekitar 200 meter saja. Berdasarkan penelituian archeologi situs Caruban merupakan salah satu situs tertua sebagai perkampungan pada masa awal kota lasem.
Setelah meninggal, Sayid Abubakar dimakamkan didusun Caruban, desa Gedongmulyo, kecamatan Lasem bersama dengan para santrinya. Bahkan pada saat ini kompleks makam itu juga digunakan oleh penduduk sebagai tempat pemakaman umum. Makam Sayid Abubakar berada di dalam bangunan cungkup sederhana yang aslinya terbuat dari bata merah yang kemungkinan berasal dari sekitar abad XV. Sementara itu serambi cungkup tampaknya merupakan bangunan baru yang berfungsi untuk ruang tunggu para peziarah. Jirat makam ini masih relatif baru karena sudah berbahan semen. Menurut keterangan yang ada memang aslinya makam ini tidak berjirat. Adapun nisan makam ini masih sli yaitu nisan yang berbentuk kurawal berhiaskan motif sulur-sulur dan berbahan batu karang. Di sebelah timur batu cungkup terdapat batu bata yang berserakan dan bekas pondasi persegi panjang keliling. Kemungkinan sisa-sisa pondasi dan batu bata tersebut merupakan tembok keliling makam yang sudah lapuk dimakan usia. Namun demikian ada yang mengatakan bahwa serakan batu bata dan fondasi tersebut merupakan bekas candi pra-Islam yang sudah rusak. Belum jelas apakah bekas candi itu candi itu kemudian difungsikan sebagai mushola bagi orang islam atau dibiarkan begitu saja. Aneh sekali bahwa tanah yang berada di dalam di sebelah timur makam Sayid Abubakar ini lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan letak makam itu sendiri. Sebelum mencapai pintu masuk cungkup makam ini terdapat sumur tua yang diyakini sebagai sumur peninggalan Sayid Abubakar.

Rabu, 05 September 2012

OBYEK WISTA UTAMA REMBANG (6) KOMPLEKS TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI



Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK) sebetulnya sudah dikenal masyarakat Rembang dan sekitarnya sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman Kolonial Belanda, di samping digunakan sebagai tempat rekreasi, TRPK juga digunakan untuk kepentingan lain yaitu untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas laut di sekitar Rembang. Satu hal yang menarik adalah bahwa di dalam kompleks TRPK ini terdapat bekas bangunan kuno yang dapat dibayangkan kemegahannya pada jaman dulu. Bangunan ini berarsitektur Eropa yang kemungkinannya dulu pernah digunakan oleh orang-orang Belanda untuk melakukan pertemuan dan pesta (semacam gedung societiet)
Menurut informasi, di atap bangunan ini pernah ditemukan tulisan angka tahun pembuatan gedung ini yaitu tahun 1811. Kalau hal ini benar, maka gedung ini kemungkinan dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W.Daendels (1808-1811) yang terkenal sebagai pemrakarsa pembangunan Jalan Post antara Anyer dan Panarukan. Rembang merupakan salah satu kota yang dilewati Jalan Pos ini. Sejak tahun 1945, gedung ini dimanfaatkan sebagai gereja oleh Jemaat Umat Kristen Protestan. Oleh karena jumlah anggota jemaat yang semakin berkurang maka bangunan tua tersebut diubah fungsinya sebagai Taman Bacaan dan Perpustakaan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang. Setelah beberapa lama bangunan tersebut dibeli oleh Jemaat Kristen Jawa (dengan koordinasi dengan Gereja Indonesia Bagian Barat) sejak tahun 1996, maka kondisi bangunan semakin memburuk. Pada akhir tahun 2001 atap bangunan tersebut roboh. Pada saat ini tinggal tiang-tiang penyangga dan temboknya saja yang masih tersisa.
Upaya-upaya untuk menyelamatkan gedung antik yang merupakan peninggalan sejarah tersebut sudah sering dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Setelah melakukan negoisasi yang panjang, akhirnya pengelolaan bangunan tua tersebut diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Rembang. Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Rembang sedang merencanakan untuk melakukan renovasi terhadap bangunan tersebut, untuk selanjutnya akan digunakan sebagai gedung pertemuan dan pusat promosi dan pengembangan wisata Kabupaten Rembang.
Secara keseluruhan, Taman Kartini telah mengalami renovasi beberapa kali sejak tahun 1979. Pada tahun ini dibangun sarana bermain anak-anak. Selanjutnya pada tahun 1992 diadakan penataan lagi dengan menambah fasilitas seperti shelter, gardu pandang, pembangunan talud pantai, dan sebagainya sehingga menambah daya tarik taman rekreasi ini. Sejak saat itu nama Taman Kartini diganti dengan nama Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPKartini).
Di dalam TRP Kartini terdapat jangkar raksasa yang oleh masyarakat dikenal dengan nama jangkar Dampo Awang. Jangkar ini dipercaya milik pelaut Tionghoa yang bernama Sam Pho Khong. Diceritakan bahwa pada waktu Sam Pho Khong sedang berlayar di Laut Jawa dalam rangka ekspedisi ke selatan, kapal Sam Pho Khong diterjang gelombang besar sehingga kapalnya rusak, rantai jangkar terlepas dan terdampar di Rembang dan layarnya tertiup angin topan yang akhirnya jatuh di pantai Bonang sekarang ini dikenal sebagai batu layar.
Untuk kepentingan pengmbangan wisata di TRPKartini, pada hari kamis pon tanggal 16 Oktober 2003, jangkar dengan panjang 2,5 m dan lebar 1,5 m ini dipindah dari tempatnya semula daratan di tengah-tengah TRP Kartini yaitu sekitar 50 km dari garis pantai ke dalam monumen megah yang dilengkapi dengan pelindung kaca dan lampu yang dibangun diatas perairan tepi pantai, tepatbya 20 m dari garis pantai. Oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang, jangkar Dampo Awang ini tidak hanya dijadikan sebagai benda bersejarah, namun juga dijadikan sebagai simbol semangat bahari kota Rembang guna mewujudkan misi “Rembang Bahari”
Mengenai hal ihwal pemindahan jangkar Dampo Awang ini terdapat cerita-cerita yang menarik. Diceritakan bahwa pada tahun 1950-an, jangkar ini pernah “mengamuk” ketika akan dipindah keluar Rembang yaitu ke Semarang. Tiba-tiba muncul badai besar di Rembang selama satu minggu lebih. Behkan benda yang semula terletak di belakang Lembaga Pemasyarakatan ini tidak bergerak ketika diangkat oleh sekitar 100 orang. Ketika dipindah dari belakang Lembaga Pemasyarakatan ke TRP Kartini, Jangkar Dampo Awang diangkat oleh 150 orang. Namun demikian proses pemindahan ke lepas pantai tanggal 16 Oktober 2003 hanya membutuhkan 16 orang meskipun membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 5 jam. Relatif mudahnya pemindahan Jangkar Dampo Awang pada tanggal 16 Oktober 2003 ini menurut paranormal setempat disebabkan oleh kerelaan “penunggu” jangkar yang untuk sementara mau pindah dulu dari “rumahnya” untuk kemudian kembali lagi setelah pemindahan selesai. Para paranormal berhasil melakukan pendekatan terhadap “penunggu” Jangkar Dampo Awang.