Sabtu, 05 Januari 2013

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (4) GALANGAN KAPAL DASUN

Sejak jaman kerajaan Majapahit Lasem telah menjadi salah satu pusat pembuatan kapal. Prestasi ini terus berlangsung pada masa kerajaan Islam Demak yang memiliki armada yang kuat. Dua kali armada Demak menyerang posisi Portugis di Malaka dengan kekuatan sekitar 100 buah kapal lebih. Meskipun mengalami kegagalan, namun serangan itu menunjukkan bahwa kerajaan Demak pernah memiliki armada laut yang cukup tangguh di Asia Tenggara. Dalam hal ini sebagian kapal-kapal itu dibuat di Lasem.
Pada masa Mataram, kapal yang dibuat di galangan ini digunakan untuk kepentingan perdagangan baik oleh pihak VOC atau para Bupati, maupun pihak swasta. Galangan kapal Rembang ini berlokasi di muara Sungai Lasem atau tepatnya di desa Dasun.
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tradisi pembuatan kapal di Rembang mulai berlangsung. Akan tetapi diperkirakan bahwa tradisi membuat kapal itu sudah berlangsung sebelum abad XVI. Misalnya, ketika Demak melakukan ekspedisi militer ke Malaka untuk mengusir Portugis, sebagian kapal yang dugunakan dibuat  dan dikirim dari Rembang. Tradisi kemaritiman dalam hal teknologi dan industri kapal terus mengalami perubahan. Pengaruh terbesar atas perkapalan Samudera Hindia adalah tibanya kapal-kapal Atlantik sejak akhir abad XVI. Desain tiang perlahan-lahan diubah sampai bentuk kapal tradisional yang lebih kuat dihasilkan. Di berbagai galangan pembuatan kapal Asia, kapal lokal dapat meniru model kapal Atlantik. Menurut Bernard H.M. Viekke, perkembangan kapal di Indonesia pada akhir abad XV, juga dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kapal dari negara-negara Asia lain, seperti Pegu dan Birma. Hal ini terjadi karena adanya hubungan perdagangan laut antara negara-negara di Asia yang sudah berlangsung lama.
Pada masa Mataram Kartasura, VOC berhasil mendirikan kantor di Demak dan Rembang yang dianggap mutlak perlu karena kaya akan kayu, sehingga di kedua tempat itu didirikan sebuah galangan kapal. Sejak kapan pendirian galangan kapal oleh VOC di Rembang juga tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi diperkirakan antara tahun 1651 sampai 1677. Tahun 1651 merupakan tahun diadakannya perdamaian antara VOC dengan Amangkurat I, sehingga VOC diberi ijin untuk membuka kantor di Jepara, dan tidak menutup kemungkinan VOC telah merintis dan membuka kantor di Rembang. Salah satu alasan utama bagi Kompeni untuk membuka loji di Jepara adalah adanya kesempatan baik untuk membuat kapal-kapal kici (jacht) yang sangat diperlukan. Oleh karena itu instruksi Residen pertama Dick Schouten melihat kesempatan yang baik dan harganya pun murah, sehingga dipesan sedikitnya tiga kapal kici berukuran 70 sampai 60 last, dan kapal-kapal itu selesai dibuat pada bulan November 1651.
Sementara pada tahun 1677, diceritakan tentang kejadian orang-orang Makasar yang sampai di kota Rembang yang dapat menghancurkan kota Rembang serta perahu-perahu baru Kompeni di galangan kapal milik Daniel Dupree dalam pemberontakan Trunojoyo.. Pada masa itu, galangan kapal Rembang menjadi produsen kapal untuk memenuhi kebutuhan kapal baik bagi Mataram maupun VOC. Pada tahun 1657, Amangkurat I memerintahkan Tumenggung Pati untuk membuat sebuah kapal untuk Mataram dan sebuah kapal lagi dipesan oleh Duta Makasar.
Tentang siapa pengelola dan pemilik galangan kapal Rembang itu, pertama-tama bisa disebut nama Daniel Dupree seorang pengusaha kayu swasta sebgaimana banyak disebut oleh H.J. de Graff. Akan tetapi tidak diperoleh data yang menjelaskan kapan Daniel Dupree ini mulai memimpin galangan kapal tersebut. Ketika galangan kapal miliknya dapat dihancurkan oleh para pemberontak dari Makasar yang mendukung Trunojoyo, glangan ini sempat dibubarkan pada tahun 1677, tetapi dibangun lagi oleh VOC pada tahun 1679 setelah pemberontakan berhasil dipadamkan. Tidak diketahui, apakah setelah galangan itu dibangun kembali dia masih dengan para penggantinya, tidak diketahui sejak kapan mereka mulai dan berakhir memiliki galangan tersebut. Pada tahun 1832 diketahui, Tuan Horning menjadi pemilik galangan dan Tuan Browne menjadi pemborong. Kemudian pada tahun 1836, galangan itu dimiliki oleh Tuan Perry sedangkan Browne dan Horning menjadi pemborong. Pada tahun 1849 diketahui sebagai pemilik galangan yaitu Browne en Co, sebagai perusahaan patungan. Selanjutnya pada tahun 1878 diketahui bahwa pemilik galangan itu adalah sebuah firma, yang bernama Firma Nering Bogel en Dunlop.
Galangan kapal di Rembang ini telah memberikan andil yang cukup besar bagi perkembangan perkapalan dan pelayaran baik yang berlangsung di wilayah Rembang maupun wilayah lain yang menggunakan jasa pembuatan kapal di Rembang. Pelabuhan Rembang menjadi ramai antara lain juga disebabkan oleh galangan kapal ini. Banyak kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Rembang di samping untuk berdagang juga melakukan perbaikan terhadap kapal-kapal mereka di geladak kapal Rembang. Dengan demikian galangan kapal di Rembang menjadi tempat pembuatan maupun perbaikan kapal.
Pada tanggal 3 Juli 1813, galangan kapal Rembang telah berhasil diperbaiki 20 perahu dan 14 kapal meriam yang telah dikirim kembali ke Batavia dalam kondisi yang baik. Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1813 telah berhasil pula diperbaiki 30 kapal yang digunakan untuk mengangkut garam dan beras dari satu daerah ke daerah lain. Pada bulan Oktober juga telah dikirim sebuah kapal meriam oleh Residen Jepara ke galangan kapal Rembang untuk diperbaiki. Kapal tersebut setelah selesai dibawa ke Banjarmasin oleh Residen Jepara untuk menumpas pemberontak. Memang galangan kapal Rembang menjadi pusat bengkel kapal di Jawa karena pada saat itu, galangan ini merupakan galangan yang cukup besar di Hindia Belanda. Namin demikian bagi kapal-kapal yang rusak berat, misal lantai kapal jebol sehingga air laut masuk, tidak bisa diperbaiki di Rembang, kecuali diperbaiki untuk sementara saja. Perbaikan kapal yang rusak berat menelan biaya sampai 3.000 gulden, sedangkan bagi kapal yang rusak ringan bisa mencapai 500 gulden. Kapal-kapal pemerintah yang diperbaiki di galangan kapal Rembang ini semuanya menjadi tanggungan EIC. Pada tahun 1813, pemerintah memberikan anggaran rutin untuk biaya pengelolaan galangan kapal Rembang ini sebesar 2.000 gulden per tahun.
Pembuatan kapal di galangan kapal Rembang memang mengalami kemajuan baik dalam jumlah kapal yang dibuat maupun teknik pembuatan yang semakin baik. Sebenarnya tentang teknik, dan jaminan keamanan bagi kapal yang akan dibuat menempuh pada jarak pelayaran tertentu memang berbeda-beda. Akan tetapi sarana dasar bagi kapal kayu yang didorong oleh angin, memiliki batasan teknik yang sama. Kapal ini tidak melebihi ukuran tertentu, jumlah kondisi, permukaan layar, dan kecepatan. Pada tahun 1813 di galangan ini telah mampu dibuat kapal layar cepat dan kapal meriam, di samping memproduksi kapal-kapal kecil. Meskipun demikian cepat tidaknya pembuatan kapal sangat bergantung pada jumlah para pekerja yang melakukan pekerjaan itu. Pada bulan September tahun 1813, dilaporkan bahwa di galangan ini telah dilakukan pekerjaan pembuatan yang terdiri dari enam buah kapal meriam berkapasitas 30 orang yang dibuat dengan cara: dasar didempul, lapisan kayu lengkap menutup papan kabin, tiang dan geladak; sebuah kapal layar berkapasitas 20 orang; delapan kapal meriam tiang rendah lengkap dan siap dikemudikan dengan kekecualian belum dilapisi tembaga; 10 perahu berkapasitas 10 orang dengan papan pada bagian dalam, serta sebuah perahu dengan geladak dari papan pada bagian dalam.
Pembuatan kapal di Rembang baik yang dilakukan oleh perusahaan swasta maupun oleh penduduk pribumi di distrik pantai dapat berlangsung karena didukung oleh keberadaan hutan jati di wilayah pedalaman Rembang. Dengan demikian maju mundurnya pembuatan kapal di Rembang sangat bergantung pada eksploitasi hutan jati dan segala aspek yang mempengaruhinya. Ketika pada tahun 1820 terjadi pengurangan terhadap ganti rugi pemotongan kayu jati, maka sebagai akibatnya adalah pembuatan kapal segera mengalami kemerosotan, meskipun pembuatan kapal oleh penduduk pribumi di distrik pantai masih bisa bertahan.
Sering terjadi pula, ketika pembuatan kapal swasta sedang meningkat tajam, tetapi kondisi sulit juga muncul menyertainya. Hal ini disebabkan karena hutan jati yang kayu-kayunya dicadangkan oleh pemerintah untuk menjadi bahan baku pembuatan kapal, sering harus dikalahkan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kayu jati bagi pembangunan sarana dan prasarana sosial dan pemerintahan. Sementara itu, pemerintah itu sendiri tidak mendapatkan kayu jati karesidenan lain sebab hutan di tempat lain tidak mampu menunjang kegiatan ini. Dengan demikian penduduk sering mengalami kekurangan kayu, karena di samping tidak mau menggunakan kayu lain karena kekuatan yang kurang baik, juga karena penduduk tidak terbiasa menggunakan kayu yang melengkung yang bisa dihasilkan hutan untuk pembuatan kapal.
Di samping itu, residen juga memperhatikan eksploitasi hutan jati yang cukup tinggi. Untuk itu dibuat aturan, bahwa sebagian besar penduduk kini terlibat dalam aktivitas kehutanan dan pekerjaan yang amat berat pada saat itu karena penduduk diminta oleh pemerintah untuk bekerja dan menyerahkan hewan pemeliharaannya untuk menarik kayu-kayu itu dari hutan ke tempat penimbunan atau sungai-sungai untuk dialirkan ke muara.
Pembuatan kapal sampai tahun 1832, tetap menjadi cabang industri yang paling utama di Rembang, terutama telah memberikan kesempatan kepada pemerintah di Rembang selama empat tahun belakangan ini untuk segera membuat sejumlah besar kapal dan perahu tanpa banyak menemui kesulitan dalam bidang biaya. Namun demikian beberapa tahun menjelang tahun 1836 terjadi penurunan produksi kapal. Hal ini disebabkan karena penebangan hutan yang kayunya digunakan untuk membuat kapal harus diserahkan kepada pemerintah, sedang kapal yang telah dibuat tidak diberi harga yang cukup tinggi. Sementara itu para pemborong Browne dan Horning masih memiliki persediaan kayu dari tahun sebelumnya, sehingga bisa bertahan untuk memenuhi kebutuhannya. Pada tahun 1849 dilaporkan bahwa galangan kapal milik Browne berkembang dengan pesat. Pada bulan Juli 1854, Firma Browne & Co di Dasun telah mengadakan kontrak dengan Pangkalan militer Ourust yang berisi pemesanan sebuah geladak dorong untuk kepentingan militer di Ourust. Geladak dorong ini harus sudah selesai dikerjakan oleh galangan kapal Browne & Co pada akhir bulan Mei 1856.
Namun demikian kesulitan untuk mendapatkan kayu kembali menjadi penghambat kemajuan galangan ini pada tahun 1864. Bahkan ketika Firma Nering, Bogel dan Dunlop dapat tetap membangun geladak kapal dan kapal-kapal lain karena dapat mendatangkan kayu-kayu dari lain tempat meskipun dengan harga yang sangat mahal. Rupanya Pemerintah Pusat tetap beranggapan bahwa pembangunan geladak dorong bagi pangkalan di Ourust sangat penting dan perlu disukseskan. Untuk itu Direktur Perkebunan di Batavia akhirnya dapat menyetujui permohonan perusahaan Firma Nering, Bogel, en Dunlop untuk melakukan penebangan kayu jati, tetapi hanya diijinkan menebang sebanyak 400 balok kayu jati di hutan pemerintah di distrik Sedan dan Pamotan.
Dengan terbatasnya kayu jati ini telah menyebabkan galangan kapal di Dasub tidak membuath kapal untuk kepentingan swasta pada tahun 1858, kecuali untuk kepentingan pemerintah dan mengadakan perbaikan atau pembaharuan kapal untuk kepentingan militer laut. Meskipun produksi kapal mengalami penurunan, tetapi di galangan ini telah mencapai suatu kemajuan dalam teknik pembuatan kapal. Sebagai bukti kemajuan ini bisa ditunjukkan pada tahun 1854 telah berhasil dibuat beberapa kapal uap bersilinder dengan kekuatan sebesar 30 tenaga kuda. Bahkan proyek ini telah menghasilkan kapal tempur yang ditujukan untuk kepentingan daerah Banjarmasin yang menurut catatan Insinyur Kepala pada proyek pembuatan kapal itu, dibuat selama 8 bulan di galangan kapal Browne en Co di Dasun, dimatangkan lagi selama lima bulan di Surabaya. Beberapa bukti pelayaran menurut laporan ini, semua sesuai dengan harapan.
Di samping masalah kesulitan mendapatkan kayu jati, bertambahnya kapal uap di Hindia Belanda juga berpengaruh terhadap perkembangan galangan kapal di Rembang ini. Pada tahun 1880 kemerosotan ini sangat dirasakan. Akibat situasi ini galangan kapal Rembang pada tahun 1883 hanya memberikan sedikit kemajuan sehingga suatu tinjauan tentang aktivitasnya tidak banyak diberikan. Pada tahun 1885 galangan ini tidak banyak mengalami perkembangan, dan pada tahun 1889 pembuatan kapal besar tidak ditekuni lagi karena kekurangan modal kerja dan pekerjaan.
Selanjutnya, tentang perkembangan produksi serta perbaikan kapal di galangan kapal desa Dasun ini dari tahun ke tahun cukup bervariasi. Pada tahun 1832 galangan kapal ini membuat semua jenis perahu untuk pesanan orang-orang Eropa dan perahu angkut barang. Pada tahun itu dilaporkan telah dibuat empat buah kapal. Empat buah kapal pemerintah telah diselesaikan lagi pada tahun 1834 sementara pembuatan kapal bagi kepentingan swasta, meskipun terus berjalan tetapi semakin sulit karena mahalnya harga kayu jati yang terjadi pada tahun 1829. Akan tetapi para pemborong masih banyak memiliki persediaan yang cukup besar dari kayu sebelumnya, sehingga mereka masih bisa membuat perahu. Beberapa perahu dan kapal “Maria Freberica” dibuat. Di samping itu, empat kapal sipil pemerintah telah dibuat dan diselesaikan pada bulan November 1835. Kapal tersebut kemudian dikirim ke Surabaya. Kemudian pada tahun 1936 diselesaikan tujuh perahu yang terdiri dari lima buah kapal layar, sebuah kapal cepat, dan satu “kotler”. Selanjutnya pada tahun 1839 berhasil diselesaikan dua buah kapal layar “tiang dua” dan sebuah kapal layar cepat. Sementara pada tahun 1840, telah dibuat satu kapal uap, tiga kapal layar “tiang tiga”, tiga kapal layar cepat, tiga perahu angkut, satu perahu pancalang. Pada tahun 1852 telah diselesaikan enam kapal pesanan pemerintah yang difungsikan sebagai kapal pengawas. Empat tahun setelah itu, telah dihasilkan delapan kapal pengawas, dua kapal “sloep”, dua kapal angkut, dua “loods boot”. Pada tahun 1857 telah diselesaikan pembuatan dua kapal tempur yang dilapisi dengan tembaga dan sebuah kapal layar cepat atas biaya swasta. Kecuali itu berbagai perahu mengalami banyak perbaikan di galangan Dasun ini. Kemudian pada tahun 1858, di samping mengadakan perbaikan dan pembaharuan geladak dorong untuk pangkalan militer di Ourust, telah diselesaikan pula tiga kapal pengawas, tujuh kapal dayung, lima kapal angkut, sebuah kapal cepat dan dua perahu mayang. Selanjutnya pada tahun 1865 telah dihasilkan enam buah kapal cepat. Kemerosotan terjadi sejak tahun 1870, karena terjadinya penutupan hutan jati di beberapa distrik, sehingga harga kayu jati mengalami peningkatan tajam. Pada tahun 1880 diperoleh informasi bahwa galangan kapal Dasun hanya memproduksi sabuah perahu dan dua kapal sungai, suatu produk yang tidak berarti bagi pabrik kapal yang relatif besar dan tersohor itu. Tampaknya pada tahun 1886 galangan kapal ini tidak memperoleh pekerjaan pembuatan kapal baik dari pemerintah maupun swasta, sehingga hanya membuat dan memperbaiki perahu-perahu kecil saja. Untuk lebih jelasnya, produksi kapal dari galangan kapal di Dasun ini dapat dilihat pada tanel berikut:
Perkembangan Produksi kapal dan Galangan Kapal di Dasun Rembang pada tahun 1832 – 1880
Tahun     Jumlah Kapal       
1832               4                
1834               4                
1835               5                
1836               7                
1839               4                
1840              11                
1852               6                
1856              14                
1857               3                
1858              18                
1865               6                
1880               3                

Sumber : Diolah dari AVRR  dan K.V. dari berbagai tahun.