Rabu, 31 Oktober 2012

Sekolah Terbesar di Dunia Berikan Siswa India Pelajaran Hidup

Hari pertama di kelas untuk setiap murid baru bisa menjadi pengalaman yang luar biasa. Coba bayangkan rasanya belajar sebagai salah satu dari 40.000 murid yang masuk di sekolah terbesar di dunia.


Penghargaan Guinness World Records terbaru dianugerahkan kepada City Montessori School di kota Lucknow, India dengan 39.437 siswa yang terdaftar pada tahun akademik 2010-2011.

Pihak sekolah mengatakan, jumlah pendaftaran telah meningkat di atas 45.000. Sekolah itu memiliki 2.500 guru, 3.700 komputer, 1.000 ruang kelas dan salah satu dari sebelas tim kriket yang paling tangguh.

City Montessori School dibuka oleh Jagdish Gandhi dan istrinya Bharti pada 1959 dengan pinjaman 300 rupee (setara Rp58.000 pada saat ini) dan hanya memiliki lima orang siswa.

Kini sekolah tersebut telah berkembang hingga lebih dari 20 lokasi di Lucknow, ibu kota negara bagian Uttar Pradesh, dan terkenal dengan hasil ujian dan program pertukaran internasional.

"Pertumbuhan fenomenal sekolah kami adalah refleksi dari upaya kami untuk menyenangkan orangtua melalui layanan terhadap anak-anak mereka," kata Gandhi, 75 tahun, yang masih menjabat dalam manajemen sekolah.

"Siswa kami memiliki hasil akademis yang luar biasa setiap tahun dan mendapatkan perhatian global yang luar biasa. Mendapatkan rekor Guinness sangat membesarkan hati kami, tapi ini bukan segalanya," katanya kepada AFP.

Para murid, yang berusia antara 3-17 tahun, semuanya berseragam dan masing-masing kelas menampung sekitar 45 murid, namun seluruh siswa di sekolah tidak pernah dikumpulkan secara bersama karena tidak ada tempat yang cukup besar untuk menampung mereka.

CMS, yang tidak menerima dana dari pemerintah, membebani  biaya 1.000 rupee (sekitar Rp180 ribu) per bulan untuk biaya murid yang lebih muda,  dan 2.500 rupee (sekitar Rp450 ribu) per bulan untuk senior.

"Dalam sekolah yang besar seperti itu, ada banyak keuntungan, salah satunya adalah Anda bisa berkenalan dengan banyak teman di seluruh lokasi sekolah yang kami miliki," kata Ritika Ghosh (14), yang telah bersekolah di CMS selama dua tahun kepada AFP.

"Tapi karena sekolah begitu besar, maka dibutuhkan banyak upaya untuk bisa mendapatkan perhatian. Jadi Anda hanya merupakan salah satu dari ribuan siswa yang belajar.

"Pasti Ada lebih banyak tantangan dan kompetisi, yang pada akhirnya mempersiapkan kita untuk kehidupan nyata."

Seorang siswa bernama Tanmay Tiwari (16) mengatakan bahwa ukuran sekolahnya yang besar membuatnya lebih  percaya diri.

"Aku dulu sangat pemalu tapi sekolah telah memberi saya kepercayaan diri," katanya kepada AFP. "Sekarang saya masuk dalam tim perguruan tinggi dan ikut berdebat dalam kompetisi nasional."

Ukuran sekolah dibandingkan hanya dengan ambisi idealisnya, para siswa diajarkan tentang filosofi perdamaian universal dan globalisme di bawah moto "Jai Jagat" (Kemenangan untuk Dunia).

Dengan para siswa yang berada di bawah tekanan sengit untuk mendapatkan hasil ujian yang baik, olahraga tidak selalu menjadi prioritas utama, namun pelatih kriket Raju Singh Chauhan mengatakan bahwa ia menganggap pemilihan tim masih rumit.

"Untuk mendapatkan murid berbakat olahraga di antara 45.000 lebih siswa akan menjadi masalah besar," katanya.

"Untuk alasan ini kami mengadakan kompetisi antarcabang untuk menggali bakat anak-anak yang terbaik dan akhirnya kami mendapatkan gambaran yang lebih besar dan sebelas orang dari kami yang terbaik untuk masuk dalam tim."

CMS pertama kali memegang gelar sebagai sekolah terbesar di dunia pada 2005, ketika memiliki 29.212 siswa, mengalahkan pemegang rekor sebelumnya, Rizal High School di Manila, Filipina, yang memiliki 19.738 siswa.

Para alumni sekolah tersebut meliputi Ushhan Gundevia, seorang bankir eksekutif di Goldman Sachs, dan Prakash Gupta, seorang diplomat senior PBB di New York, serta sarjana Harvard dan beberapa ahli bedah terkemuka serta ilmuwan.

"Sekolah merupakan inspirasi tidak hanya bagi siswa, tetapi juga untuk siapa saja, di mana saja yang ingin membuat perbedaan positif," kata Craig Glenday, editor Guinness World Records, kepada AFP dari London.

"Sekolah mengerti betul bahwa mengajar adalah profesi yang paling suci, dan dari asal-usul sederhana tersebut hingga menjadi yang terbesar, serta  salah satu lembaga pendidikan yang paling dihormati di dunia, itu adalah cerita yang benar-benar menginspirasi dan menakjubkan."

(Sumber: Oleh Yahoo! News | AFP , Sagarika Dubey | AFP)

568 Orang Meninggal Akibat HIV/AIDS di Jateng

Jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang meninggal di Jawa Tengah sudah mencapai 568 orang atau 10,91 persen dari data penderita 5.206 orang. Jumlah itu menempatkan provinsi ini di urutan ke enam terbanyak di Indonesia.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Magelang, Drs H Asfuri Muhsis MSi, menyebutkan, yang terinfeksi HIV (Human immunodeficiency virus) 2.646 orang. “Yang menderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome) 1.992 orang,” katanya, Senin (18/6), dalam sosialisasi warga peduli AIDS (WPA).
Menurut dia, jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Magelang, sampai April 2012, terdapat 24 kasus. Rinciannya, 15 positif terinfeksi HIV, Sembilan kasus AIDS dan meninggal sembilan orang (37,5 persen). Menurut dia, dari berbagai peristiwa  penularan HIV/AIDS berkaitan dengan perilaku yang menyimpang.
Karena itu program kegiatan KPA Kabupaten Magelang lebih diarahkan pada upaya pencegahannya. (Tuhu Prihantoro / CN26 / JBSM)
(Sumber: suaramerdeka.com, 18 Juni 2012)

Penderita HIV/AIDS di Rembang Bertambah

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Rembang menemukan enam penderita HIV/AIDS baru di wilayah kabupaten itu. Kepala Dinkes Rembang, Sutedjo menyebutkan, enam penderita baru itu masing-masing dua laki-laki, empat lainnya berjenis kelamin perempuan.
Dengan penambahan itu, total penderita penyakit yang menyerang kekebalan tubuh manusia sejak tahun 2004 mencapai 103 penderita. Dari jumlah itu, sebanyak 56 penderita di antaranya berjenis kelamin laki-laki, sisanya sebanyak 47 penderita adalah perempuan.
Dinkes mencatat, sebanyak 65 penderita diketahui telah meninggal. "Sejak pendataan terakhir pada akhir 2011 hingga Februari 2012, diketahui sebanyak 19 penderita HIV/AIDS di Kabupaten Rembang telah meninggal," jelasnya, Senin (5/3).
Terus bertambahnya penderita HIV/AIDS di Kabupaten Rembang cukup memprihatinkan. Apalagi sebagian menyerang ibu rumah tangga dan anak-anak. Di luar jumlah itu, diperkirakan penderita HIV/AIDS bisa terus bertambah.
"Penderita biasanya tidak menyadari penyakitnya. Jika pun telah tahu, biasanya cenderung menutup diri dan malu memeriksakan kondisi kesehatannya," terangnya.
Agar penderita HIV/AIDS tak semakin dikucilkan, Sutedjo menyebutkan, Dinkes telah mengedarkan surat imbauan kepada seluruh camat di Kabupaten Rembang agar menyosialisasikan upaya pengendalian HIV/AIDS di wilayahnya.
Pihaknya pun terus menyosialisasikan rumus ABCDE untuk menekan kemungkinan bertambahnya jumlah penderita. Sutedjo menjelaskan, penularan penyakit ini bisa dicegah dengan rumus A yakni abstain, atau tidak melakukan hubungan seks bebas, kemudian B atau be faithful yakni setia pada pasangan.
Rumus C yakni cegah dengan menggunakan kondom. Sementara D yakni dihindari penggunaan jarum suntik secara bersama-sama. "Yang terakhir yakni E, yakni edukasi dengan mengajarkan dan mengajak warga masyarakat untuk hidup sehat dan tidak melanggar normal agama," jelasnya. (Saiful Annas / CN31 / JBSM)
(Sumber: suaramerdeka.com, 05 Maret 2012)

Astronom Temukan Planet dengan Empat Matahari


Sebuah tim astronom amatir dan profesional internasional menemukan sebuah planet yang langitnya diterangi oleh empat matahari - kasus pertama yang diketahui dari fenomena semacam itu.
Planet yang terletak sekitar 5.000 tahun cahaya dari Bumi itu dijuluki PH1 untuk menghormati Planet Hunters, sebuah program yang dipimpin oleh Yale University di Amerika Serikat, yang menggabungkan para relawan untuk mencari tanda-tanda planet baru.
PH1 mengorbitkan dua matahari dan sebaliknya diorbitkan oleh sepasang bintang yang jauh jaraknya. Hanya enam planet yang diketahui mengorbitkan dua bintang, kata beberapa peneliti, dan tidak ada satupun dari bintang-bintang itu diorbitkan oleh bintang-bintang jauh lainnya.
“Planet yang mengelililngi dua bintang adalah formasi planet yang ekstrem,” kata Meg Schwamb dari Yale, penulis utama sebuah makalah yang dipresentasikan pada Senin dalam pertemuan tahunan Division for Planetary Sciences of the American Astronomical Society (DPSAAS) di Nevada.
“Penemuan atas sistem ini memaksa kita untuk kembali menggambarkan pemahaman bagaiamana planet itu dapat terbentuk dan berkembang dalam lingkungan yang penuh dengan tantangan dan dinamis tersebut.”
Ilmuwan asal Amerika dan partisipan Planet Hunters, Kian Jek dan Robert Gagliano adalah yang pertama kalinya mengidentifikasi PH1. Pengamatan mereka kemudian dikonfirmasi oleh sebuah tim peneliti Amerika dan Inggris yang bekerja di Hawaii.
PH1 adalah sebuah raksasa gas dengan radius sekitar 6,2 kali Bumi, membuatnya sedikit lebih besar daripada Neptunus. Planet tersebut mengorbitkan sepasang bintang yang massanya 1,5 dan 0,41 kali dari Matahari kira-kira setiap 138 hari sekali.
Dua bintang lainnya mengorbitkan sistem planet pada jarak kira-kira 1.000 kali jarak antara Bumi dan Matahari.
Situs Planethunters.org yang diciptakan pada 2010 ditujukan untuk mendorong para astronom amatir untuk mengidentifikasi planet-planet di luar sistem tata surya kita, menggunakan data dari teleskop ruang angkasa Kepler badan antariksa Amerika, NASA.
Kepler, yang diluncurkan pada Maret 2009, merupakan misi pertama NASA dalam pencarian planet-planet seperti Bumi yang mengorbitkan bintang yang mirip dengan Matahari kita.
Penemuan PH1 dipublikasikan secara online pada Senin di situs arxiv.org dan diserahkan kepada Astrophysical Journal untuk publikasinya.
Pekan lalu, para ilmuwan melaporkan penemuan “planet berlian” yang ukurannya dua kali ukuran bumi dan mengorbitkan sebuah bintang mirip Matahari.
Sampai dengan sepertiga massa planet dan sebagian besar permukaannya diyakini terdiri dari berlian, menyiratkan bahwa planet berbatu yang jauh tersebut tidak dapat lagi diasumsikan memiliki fitur yang sama seperti Bumi. (kn/ik)
(Sumber: Nevada (AFP/ANTARA)

Sabtu, 29 September 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (3) KOMPLEKS MAKAM RADEN PANJI MARGONO

Makam Raden Panji (R.P.) Margono terletak di desa Dorokandang, Kecamatan Lasem. Di kompleks pemakaman ini dimakamkan pula seorang tokoh yang bernama Ki Moersodo dan istrinya yang menurut cerita merupakan pengawal R.P.Margono. Menurut cerita dalam kitab Sabda Badra Santi R.P.Margono adalah seorang putra tertua dari Adipati Lasem Pangeran Tejokusumo V. Sebagaimana ayahnya ia memiliki sikap tidak senang kepada Sunan Pakubuwono I yang berpihak kepada Kompeni Belanda. Oleh karena itu ketika ayahnya wafat ia tidak mau menjadi adipati Lasem. Ia tidak senang menjadi pejabat tetapi lebih memilih sebagai orang kebanyakan yaitu sebagai petani dan berdagang dengan orang-orang Cina di Lasem dan sekitarnya.
Dengan sikap dasar seperti inilah ketika terjadi pengungsian besar-besaran orang-orang Cina dari Belanda ke Lasem pada tahun 1741 ia membantu pimpinan orang Cina di Lasem yang bernama Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) untuk membantu para pengungsi Cina dari Batavia. Dengan tokoh Cina inilah R.P.Margono mengorganisir rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Kompeni bersama orang-orang Cina di Lasem. Rencana perlawanan ini juga dibantu seorang juragan Cina yang kaya yaitu Tan Ki Wie. Bahkan R.P.Margono ini dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni dengan menyamar sebagai orang Cina dengan nama Tan Pan Ciang. Akhirnya dengan kerjasama yang baik antara laskar Cina dengan orang-orang pribumi, mereka bisa menghancurkan tangsi Kompeni di Rembang pada tanggal 21 Juli 1741. Namun demikian setelah mendapatkan bantuan tentara dan persenjataan lengkap dari Semarang akhirnya perlawanan ini dapat dikalahkan oleh Belanda.

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (2) KOMPLEKS MAKAM NYAI AGENG MALOKO


Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Nyai Ageng Maloko merupakan anak pertama dari Sunan Ampel. Nama aslinya adalah Siti Syari’ah. Ia memiliki taga adik yaitu Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Nyai Ageng Manila (istri Sunan Kalijaga). Tidak berbeda dengan saudara-saudara laki-lakinya, Nyai Ageng Maloko sebagai keturunan ulama besar Islam juga merupakan seorang mubalighot Islam yang terkenal. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyebarkan Islam terutama di kalangan perempuan. Mula-mula ia ikut menyebarkan Islan di daerah Ampel Denta (Gresik) bersama orang tuanya. Oleh orang tuanya ia dikawinkan dengan salah satu muridnya yang bernama Wiranagara yang merupakan anak Adipati Lasem yang bernama Wirabajra. Pada waktu Adipati Wiranegara (Hindhu-Budha) melamar Siti Syari’ah ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati, yaitu :
1. Pangeran. Wiranegara harus bisa membaca syahadad (msuk Islam)
2. Dia (sang Putri) harus tetap diijinkan mengajar ngaji bagi kaumnya
3. Dibuatkan tempat khusus untuk mengajar (mengaji dan membuat kain tenun bagi kaumnya) di tepi pantai.
Atas persyaratan itu, maka didirikanlah sebuah tempat pendidikan Islam bagi kaum perempuan di wilayah desa yang diberi nama gedung Mulyo di dukuh Caruban. Setelah menjadi istri Adipati Wiranegara namanya diubah menjadi Siti Malochah (dialek jawa menjadi Maloko). Masyarakat sekitar menyebut Nyai Ageng Maloko.
Ketika Adipati Wirabjra meninggal, maka Wiranegara segera pulang ke Lasem untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai adipati di Lasem. Pada saat pemerintahannya, pusat kadipaten dipindahkan ke Binangun. Ia menjabat pemerintahan Lasem selama 5 tahun. Ia meninggal tahun 1479. Oleh karena putranya masih sangat kecil (yaitu seorang putri yang bernama  Sholikhah sedangkan anak yang ke-dua meninggal dunia), maka pemerintahan Lasem dipegang oleh Nyai Ageng Maloko sendiri yang pda waktu itu usianya masih 28 tahun.
Pada tahun 1480 ibukota kadipaten dipindahkan lagi ke Lasem oleh Nyai Ageng Maloko. Pusat pemerintahannya berada di kawasan Caruban dekat dengan kediaman Pangran Santi Puspo yang menduduki jabatan semacam laksamana yang waktu itu dipercaya dikasihi oleh Dewi Laut. Pangeran Santi Puspo juga masih memiliki hubungan kerabat dengan suami Nyai Ageng Maloko sehingga mereka memiliki hubungan yang akrab. Sementara itu setelah putri Solikhah dewasa ia diperistri oleh Arya Jin Bun yang kemudian menjadi Sultan Demak. Selama pemerintahannya Nyai Ageng Maloko membangun sebuah gedung dan taman yang diceritakan dekat dengan tempat pemujaan Sang Hyang Baruna (Dewa Laut) yang diberi nama Taman Sitaresmi yang untuk masa selanjutnya juga disebut Taman Caruban. Nyai Ageng Maloko meninggal pada usia 39 yahun. Setelah itu kedudukan adipati digantikan oleh Pangeran Santi Puspo dan didampingi oleh adiknya yang bernama Santiyogo. Menurut cerita juru kunci makam Nyai Ageng Maloko, Pangeran Santiyogo inilah yang disebut sebagai Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran yang menggantikan kedudukan Nyai Ageng Maloko sebagai Adipati Lasem. Setelah meninggal, Nyai Ageng Maloko dimakamkan di Caruban (yang termasuk dalam wilayah desa Gedungmulyo, Kecamatan Lasem). Makam Nyai Ageng Maloko berada dalam sebuah cungkup yang terdapat pada bagian yang paling utara dari kompleks pekuburan. Bangunan cungkup dibuat dengan menggunakan batu bata merah. Namun demikian saat ini tembok batu bata tersebut sudah dilepa dengan semen. Cungkup ini dibangun lebih tinggi daripada makam-makam disekitarnya. Di dalam cungkup ini hanya terdapat satu makam yaitu makam Nyai Ageng Maloko. Jirat dan nisan makam ini tampaknya bukan aslinya tetapi sudah diperbarui.
Menurut penuturan juru kunci Nyai Ageng Maloko, di daerah Lasem (dusun Caruban) inilah dia membuka pesantren putri yang tidak hanya diperintukkan bagi masyarakat Lasem tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria (Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah), dan bahkan ada santriwati dari Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren ini bertambah ramai.
Di luar cungkup ini terdapat banyak makam dengan nisan kuno yang sesuai dengan nisan yang terdapat di makam Sayid Abubakar. Selain itu juga bisa ditemukan berbagai macam peninggalan pra Islam seperti beberapa buah lingga dan benda-benda purbakala lainnya. Kompleks makam Nyai geng Maloko ini juga dikelilingi oleh pagar yang aslinya berupa batu bata merah kuno meskipun sayang sekali sekarang sudah dipugar dan dilepo dengan semen sehingga tidak menampakkan keasliannya. Di luar pagar kompleks makam Nyai Ageng Maloko terdapat pekuburan umum yang mungkin sesuai dengan nisan-nisan yang ada di dalam tembok keliling.

Sabtu, 22 September 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (1) MAKAM SAYID ABU BAKAR (SANTI PUSPO)

Di kalangan masyarakat setempat Sayid Abu Bakar dikenal juga sebagai Mbah Santi Puspo atau Mbah Imam. Ia dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai salah satu penyebar Islam yang yang tertua di daerah Lasem dan sekitarnya. Di daerah itu, Sayid AbuBajar menyebarkan agama Islam bersama dengan murid-muridnya. Ia Mendirikan pesantren di kawasaan dususn Caruban yang dikelililingi oleh perkanpungan penduduk. Dusun ini letaknya tidak jauh dari pantai, yaitu sekitar 200 meter saja. Berdasarkan penelituian archeologi situs Caruban merupakan salah satu situs tertua sebagai perkampungan pada masa awal kota lasem.
Setelah meninggal, Sayid Abubakar dimakamkan didusun Caruban, desa Gedongmulyo, kecamatan Lasem bersama dengan para santrinya. Bahkan pada saat ini kompleks makam itu juga digunakan oleh penduduk sebagai tempat pemakaman umum. Makam Sayid Abubakar berada di dalam bangunan cungkup sederhana yang aslinya terbuat dari bata merah yang kemungkinan berasal dari sekitar abad XV. Sementara itu serambi cungkup tampaknya merupakan bangunan baru yang berfungsi untuk ruang tunggu para peziarah. Jirat makam ini masih relatif baru karena sudah berbahan semen. Menurut keterangan yang ada memang aslinya makam ini tidak berjirat. Adapun nisan makam ini masih sli yaitu nisan yang berbentuk kurawal berhiaskan motif sulur-sulur dan berbahan batu karang. Di sebelah timur batu cungkup terdapat batu bata yang berserakan dan bekas pondasi persegi panjang keliling. Kemungkinan sisa-sisa pondasi dan batu bata tersebut merupakan tembok keliling makam yang sudah lapuk dimakan usia. Namun demikian ada yang mengatakan bahwa serakan batu bata dan fondasi tersebut merupakan bekas candi pra-Islam yang sudah rusak. Belum jelas apakah bekas candi itu candi itu kemudian difungsikan sebagai mushola bagi orang islam atau dibiarkan begitu saja. Aneh sekali bahwa tanah yang berada di dalam di sebelah timur makam Sayid Abubakar ini lebih tinggi posisinya dibandingkan dengan letak makam itu sendiri. Sebelum mencapai pintu masuk cungkup makam ini terdapat sumur tua yang diyakini sebagai sumur peninggalan Sayid Abubakar.

Rabu, 05 September 2012

OBYEK WISTA UTAMA REMBANG (6) KOMPLEKS TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI



Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPK) sebetulnya sudah dikenal masyarakat Rembang dan sekitarnya sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman Kolonial Belanda, di samping digunakan sebagai tempat rekreasi, TRPK juga digunakan untuk kepentingan lain yaitu untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas laut di sekitar Rembang. Satu hal yang menarik adalah bahwa di dalam kompleks TRPK ini terdapat bekas bangunan kuno yang dapat dibayangkan kemegahannya pada jaman dulu. Bangunan ini berarsitektur Eropa yang kemungkinannya dulu pernah digunakan oleh orang-orang Belanda untuk melakukan pertemuan dan pesta (semacam gedung societiet)
Menurut informasi, di atap bangunan ini pernah ditemukan tulisan angka tahun pembuatan gedung ini yaitu tahun 1811. Kalau hal ini benar, maka gedung ini kemungkinan dibuat pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W.Daendels (1808-1811) yang terkenal sebagai pemrakarsa pembangunan Jalan Post antara Anyer dan Panarukan. Rembang merupakan salah satu kota yang dilewati Jalan Pos ini. Sejak tahun 1945, gedung ini dimanfaatkan sebagai gereja oleh Jemaat Umat Kristen Protestan. Oleh karena jumlah anggota jemaat yang semakin berkurang maka bangunan tua tersebut diubah fungsinya sebagai Taman Bacaan dan Perpustakaan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang. Setelah beberapa lama bangunan tersebut dibeli oleh Jemaat Kristen Jawa (dengan koordinasi dengan Gereja Indonesia Bagian Barat) sejak tahun 1996, maka kondisi bangunan semakin memburuk. Pada akhir tahun 2001 atap bangunan tersebut roboh. Pada saat ini tinggal tiang-tiang penyangga dan temboknya saja yang masih tersisa.
Upaya-upaya untuk menyelamatkan gedung antik yang merupakan peninggalan sejarah tersebut sudah sering dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Rembang. Setelah melakukan negoisasi yang panjang, akhirnya pengelolaan bangunan tua tersebut diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Rembang. Pada saat ini Pemerintah Kabupaten Rembang sedang merencanakan untuk melakukan renovasi terhadap bangunan tersebut, untuk selanjutnya akan digunakan sebagai gedung pertemuan dan pusat promosi dan pengembangan wisata Kabupaten Rembang.
Secara keseluruhan, Taman Kartini telah mengalami renovasi beberapa kali sejak tahun 1979. Pada tahun ini dibangun sarana bermain anak-anak. Selanjutnya pada tahun 1992 diadakan penataan lagi dengan menambah fasilitas seperti shelter, gardu pandang, pembangunan talud pantai, dan sebagainya sehingga menambah daya tarik taman rekreasi ini. Sejak saat itu nama Taman Kartini diganti dengan nama Taman Rekreasi Pantai Kartini (TRPKartini).
Di dalam TRP Kartini terdapat jangkar raksasa yang oleh masyarakat dikenal dengan nama jangkar Dampo Awang. Jangkar ini dipercaya milik pelaut Tionghoa yang bernama Sam Pho Khong. Diceritakan bahwa pada waktu Sam Pho Khong sedang berlayar di Laut Jawa dalam rangka ekspedisi ke selatan, kapal Sam Pho Khong diterjang gelombang besar sehingga kapalnya rusak, rantai jangkar terlepas dan terdampar di Rembang dan layarnya tertiup angin topan yang akhirnya jatuh di pantai Bonang sekarang ini dikenal sebagai batu layar.
Untuk kepentingan pengmbangan wisata di TRPKartini, pada hari kamis pon tanggal 16 Oktober 2003, jangkar dengan panjang 2,5 m dan lebar 1,5 m ini dipindah dari tempatnya semula daratan di tengah-tengah TRP Kartini yaitu sekitar 50 km dari garis pantai ke dalam monumen megah yang dilengkapi dengan pelindung kaca dan lampu yang dibangun diatas perairan tepi pantai, tepatbya 20 m dari garis pantai. Oleh masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang, jangkar Dampo Awang ini tidak hanya dijadikan sebagai benda bersejarah, namun juga dijadikan sebagai simbol semangat bahari kota Rembang guna mewujudkan misi “Rembang Bahari”
Mengenai hal ihwal pemindahan jangkar Dampo Awang ini terdapat cerita-cerita yang menarik. Diceritakan bahwa pada tahun 1950-an, jangkar ini pernah “mengamuk” ketika akan dipindah keluar Rembang yaitu ke Semarang. Tiba-tiba muncul badai besar di Rembang selama satu minggu lebih. Behkan benda yang semula terletak di belakang Lembaga Pemasyarakatan ini tidak bergerak ketika diangkat oleh sekitar 100 orang. Ketika dipindah dari belakang Lembaga Pemasyarakatan ke TRP Kartini, Jangkar Dampo Awang diangkat oleh 150 orang. Namun demikian proses pemindahan ke lepas pantai tanggal 16 Oktober 2003 hanya membutuhkan 16 orang meskipun membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 5 jam. Relatif mudahnya pemindahan Jangkar Dampo Awang pada tanggal 16 Oktober 2003 ini menurut paranormal setempat disebabkan oleh kerelaan “penunggu” jangkar yang untuk sementara mau pindah dulu dari “rumahnya” untuk kemudian kembali lagi setelah pemindahan selesai. Para paranormal berhasil melakukan pendekatan terhadap “penunggu” Jangkar Dampo Awang.

Jumat, 31 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (5) MAKAM R.A. KARTINI

Setelah wafat pada tanggal 17 September 1904, jenazah R.A.Kartini dimakamkan di pemakaman keluarga bupati Rembang R.M.A.A.Djojodiningrat. Makam ini terletak di desa Bulu, Kecamatan Bulu (Mantingan), Kabupaten Rembang. Pemakaman ini terletak sekitar 17,5 km dari kota Rembang ke arah kota Blora. Luas seluruh areal pemakaman ini adalah sekitar 10 ha. Di pemakaman ini pula dimakamkan suami R.A.Kartini R.M.A.A.Djojodiningrat dan putera beliau satu-satunya R.M. Susalit.

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (4) MUSEUM R.A. KARTINI


R.A.Kartini merupakan salah satu tokoh nasional kebanggaan masyarakat Rembang. Oleh karena di kota Rembang inilah dia memanfaatkan masa-masa akhir hayatnya untuk melanjutkan pemikiran-pemikiran segarnya mengenai kemajuan wanita Indonesia. Oleh bengsa Indonesia, ia diakui sebagai pahlawan emansipasi wanita. Untuk itulaj museum Kartini didirikan di Rembang, khususnya di kompleks Pendopo Kabupaten Rembang yang menyatu dengan rumah dinas Bupati Rembang di jalan Gatot Subroto No. 8 Rembang. Museum Kartini menempati ruangan yang dulu pernah digunakan oleh Kartini dalam aktivitas menuliskan ide-ide dan buah pikirannya mengenai kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya dan wanita pada khususnya. Tempat ini sekaligus juga merupakan tempat beliau melahirkan putra satu-satunya yaitu Raden Mas Susalit dan sebagai kamar pribadi hingga beliau wafat. Benda-benda yang menjadi koleksi museum beraneka ragam khususnya benda-benda yang pernah digunakan oleh R.A.Kartini semasa hidupnya.
R.A.Kartini lahir di Mayong, Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari pasangan suami istri yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Ngasirah yang pada saat itu menjabat sebagai Asisten Wedono Mayong dan tiga tahun setelah kelahiran R.A.Kartini menjabat sebagai Bupati Jepara. Ngasirah, ibu kandung R.A.Kartini adalah anak seorang kyai yang berasal dari Teluk Awur Jepara. Dalam usia tiga tahun yaitu tahun 1881, R.A.Kartini diboyong ke Jepara ketika sang ayahandanya diangkat sebagai Bupati Jepara. Ayah R.A Kartini sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan Kartini.Meskipun pendidikan formal bagi kaum wanita belum merupakan sesuatu yang lazim dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu. Ayahanda R.A.Kartini sudah memberikan pendidikan formal. Meskipun R.A.Kartini mempunyai hak untuk sekolah di sekolah Eropa, namun sang ayah menyekolahkan Kartini di sekolah bersama teman-temannya. Sejak usia sekolah Kartini sudah menunjukkan ketekunan dan bakatnya dalam membaca dan menulis. Ia membaca buku-buku tokoh-tokoh progresif seperti Multatuli, sehingga mengetahui seluk-beluk penindasan penjajahan Belanda. Hal ini memberikan kesadaran kepada Kartini untuk menentang penjajahan Belanda.
Dengan bacaan-bacaannya dan korespondensinya dengan sahabat-sahabat orang Belanda, proses pendewasaan Kartini menjadi semakin matang, yang pada akhirnya mengantarkan jiwa Kartini yang penuh kebebasan dalam berpikir dan demokratis serta berorientasi maa depan dalam bertindak. Oleh karena itu dalam surat-suratnya yang dikirimkan kepada para sahabatnya di Belanda, ia mengetik adat istiadat yang ia pandang sebagai penghambat kemajuan wanita seperti budaya memingit wanita. Ia menganjurkan agar wanita diberi kebebasan untuk menuntut ilmu dan bebas belajar. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah di negeri Belanda diurungkan dan memohon kepada Pemerintah Kolonial Belanda agar beasiswanya diberikan kepada pemuda Indonesia yang lain. Ia lebih senang melanjutkan sekolah guru.
Sadar bahwa cita-cita perjuangan untuk meningkatkan derajat wanita lewat pendidikan tidak dapat dijalankan sendiri, maka ia menerima lamaran Bupati Rembang Raden Mas Adipati Djojodiningrat, seorang duda yang memiliki beberapa orang anak. Bupati Rembang sangat mendukung gagasan dan aktivitas untuk memajukan pendidikan kaum wanita dan untuk memperjuangkan kaum wanita agar sederajat dengan kaum pria. Perkawinan Kartini berlangsung pada tanggal 8 November 1903. Empat hari setelah perkawinan, Kartini meninggalkan Jepara pindah ke kota Rembang.
Untuk merealisir cita-citanya, langkah awal yang diambil oleh Kartini adalah mendirikan sekolah wanita yang ditempatkan di rumahnya yaitu didebelah timur gapura     Kabupaten Rembang (sekarang digunakan sebagai Kantor Wakil Bupati Rembang). Sekolah yang didirikan oleh Kartini memiliki banyak murid. Murid-murid dari kalangan keluarga yang tidak mampu, tidak dipungut biaya. Oleh karena mengalami kemajuan pesat, sehingga diperlukan guru bantu agar semua murid bisa ditangani dengan baik. Kartini juga mengajukan subsidi kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk memajukan sekolahnya. Semuanya dilakukan secara tulus berdasarkan jiwa sosial dan pengabdiannya.
Dalam kehidupan sebagai ibu rumah tangga, beliau juga merasa sangat bahagia. Telah banyak yang dilakukan Kartini untuk kepentingan keluarga dan masyarakatnya. Namun demikian sayang sekali, ia tidak bisa mengabdikan diri lebih lama apalagi menikmati hasil perjuangannya. Ia wafat dalam usia yang masih sangat muda sebagai seorang pembaharu, yaitu 25 tahun. Ia wafat tanggal 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan putra satu-satunya, yaitu Raden Mas Susalit. Beliau meninggalkan semua yang dicintainya, yaitu keluarga dan bangsanya. Jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Rembang yaitu di desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan wanita oleh Presiden Soekarno. Kamar pribadi R.A.Kartini dijadikan sebagai ruang museum R.A.Kartini dengan koleksi peninggalan beliau antara lain berupa : beberapa perabot rumah tangga yang dulu pernah digunakan oleh Katini, bak mandi, bothekan tempat jamu, sepasang rono, penyekat ruangan dari kayu jati berukir pemberian ayahandanya, meja makan, meja untuk merawat bayi, lukisan karya R.A.Kartini berupa tiga ekor angsa, naskah tulisan tangan R.A.Kartini dan lain-lain.

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (3) MASJID JAMI' REMBANG DAN KOMPLEKS MAKAM DI SEKITARNYA



Masjid Jami’ Rembang berada di sebelah barat alun-alun kota Rembang. Kompleks Masjid ini berada di dusun Kauman, desa Kutoharjo, kecamatan Rembang. Posisi Masjid dibangun diatas batur setinggi satu meter, sehingga lebih tinggi dari areal disekitarnya. Kompleks Masjid ini dikelilingi oleh tembok bata setinggi satu setengah meter. Sebagaimana biasanya masjid di Pantai Utara Jawa pada khususnya dan masjid lain di Indonesia pada umumnya, bangunan induk masjid berbentuksegi empat dengan lebar sisi sekitar 40 cm. Pada sisi barat ruangan bagian bangunan utama ini terdapat relung mihrab yang fungsinya sebagai tempat “pengimaman” atau tempat imam memimpin sholat. Sementara itu, di sebelah utara nihrab masih terdapat mimbar yang terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif tumpal, sulur-sulur, dan tumbuh-tumbuhan. Fungsi mimbar adalah sebagai tempat khotib (orang yang memberi khotbah pada sholat Jum’at). Di ambang mimbar ini terdapat inskripsi dengan menggunakan huruf Arab. Demikian juga inskrip dengan huruf Arab juga bisa didapatkan diatas pintu masuk ruang utama. Bangunan induk masjid ini ditopang oleh empat sokoguru yang terbuat dari kayu jati yang berbentuk segi empat. Sebagaimana masjid lain, Masjid Jami’ Rembang juga memiliki tambahan serambi.
Bila dilihat dari inskripsi yang ada, maka dapat dipastikan bahwa masjid Jami’ Rembang ini didirikan tahun 1814 M oleh Bupati Rembang yang bernama adipati Condrodiningrat. Meskipun masjid ini telah mengalami enam kali pemugaran, namun bentuk aslinya terjaga.
Sebagaimana prototipe masjid kuno di Indonesia, kawasan masjid juga selalu menjadi ko,pleks pemakaman. Di belakang masjid (sebelah barat) terdapat bangunan cungkup dengan model arsitektur Eropa yang cukup megah. Dengan ketinggian batur sekitar satu meter, bangunan cungkup ini berbentuk segi delapan yang berpusat pada lima buah makam yang ada didalamnya. Kompleks makam ini terkenal dengan sebutan makam Pangeran Sedo Laut, meskipun di dalamnya terdapat paling tidak lima buah makam. Secara berjajar dari barat ke timur makam-makam tersebut adalah :
(1).Makam Adipati Condrodiningrat dengan menggunakan jirat dari semen dan nisan berbentuk kurawal yang terbuat dari batu putih. Makam ini berangka tahun 1289 Hijriyah.
(2).Makam istri Adipati Condrodiningrat dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan makam suaminya. Nisan ini berangka tahun 1291 Hijriyah.
(3).Makam Raden Tumenggung Pratiktoningrat atau Kanjeng Pangeran Sedo Laut dengan jirat yang terbuat dari susunan bata dan nisan yang sudah terbuat dari semen. Pada nisan terdapat angka tahun 1757 menurut angka tahun Kawa atau 1831 Masehi.
(4).Makam istri Kanjeng Pangeran Sedo Laut dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan suaminya. Hanya saja pada makam ini tidak bisa ditemukan angka tahun.
(5).Makam istri Patih Pati, yaitu Raden Ayu Sasmoyo dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan makam ke-3 dan ke-4 dengan tanpa angka tahun.

Kamis, 16 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (2) PELABUHAN LAMA


Pelabuhan Lama Rembang terletak di Pantai kota Rembang atau tepatnya di muara sungai Karanggeneng. Di samping sebagai tempat pelabuhan, di muara sungai Karanggeneng juga terdapat tempat penimbunan kayu, sedangkan di muara sungai Lasem terdapat tempat pembuatan kapal (galangan kapal) yang sangat penting bagi perkembangan Pelabuhan Rembang itu sendiri.
Secara geografis, Pelabuhan Rembang terletak di lokasi yang tepat atau memenuhi syarat sebagai pelabuhan yang cukup aman. Dari segi geografis, suatu pelabuhan akan berfungsi apabila memenuhi syarat : 1) Mempunyai dasar laut yang cukup dalam; 2) Bebas dari pembekuan/es; 3) Gelombang laut yang tidak besar; 4) Daerah berlabuh cukup luas; 5) Mempunyai daerah belakang (hinterland) yang memenuhi syarat dan mendukung berfungsinya pelabuhan.
Pantai di sepanjang Laut Jawa, tempat tedapatnya Teluk Rembang dan Tuban, relatif lebih tinggi dan terawat daripada Jepara.Tingginya tanah di daerah Rembang Utara dan bagian yang dekat dengan Laut Jawa merupakan akibat dari munculnya tanah di wilayah itu pada masa Mio-Pliosen. Di sini terjadi dorongan pelipatan pada masa plistosin dan menyebabkan kenaikan tanah. Itulah sebabnya wilayah Rembang relatif lebih tinggi daripada wilayah lain di Pantai Utara Jawa dan mempunyai laut cukup dalam. Di Teluk Rembang sendiri terdapat sejumlah pulau karang kecil dan gundukan pasir. Nama kepulauan itu adalah Dua Bersaudara (Pulau Kembar) dan Sawalan. Sedangkan gundukan pasir itu bernama Gossa, Pasir Batu dan Pasir Besi.
Adanya pulau-pulau karang dan gundukan pasir di Teluk Rembang ini rupanya menjadikan pelindung dari ombak yang besar, sehingga kondisi laut di pantai Rembang relatif lebih tenang. Sudah barang tentu kondisiseperti ini sangat disukai oleh para pelaut yang akan membawa kapalnya berlabuh di pantai. Pantaidi sepanjang Pantai Rembang yang bisa dilabuhikapal relatif cukup luas, apabila dilihat dari eksistensi Pelabuhan Rembang sebagai pelabuhan kecil. Adapun daerah di pantai Rembang yang dapat digunakan untuk berlabuh adalah dari celah Sungai Karanggeneng ke arah timur laut sepanjang kurang lebih 73 mil dari tembok pelabuhan dengan kedalaman air sekitar 2,5-3 meter dan kerendahan dari permukaan tanah sekitar 1-0,5 kaki.
Eksistensi suatu pelabuhan tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat bergantung pada daerah belakang (hinterland). Bagi Pelabuhan Rembang sendiri, hinterland menjadi pendukung utama aktifitas pelabuhan karena produk kayu jatinya yang sangat baik, disamping produk hasil bumi lainnya. Meskipun demikian, kayu jati buknlah satu-satunya faktor yang mempunyai pengaruh terhadap aktifitas Pelabuhan Rembang. Memang dari dulu Pelabuhan Rembang merupakan penyuplai kayu jati, terutama untuk membuat kapal. Bahkan dibawah pemerintahan Raffles, kayu jatinya berhasil bersaing dengan kayu jati dari Birma maupun Benggala. Pengaruh kayu jati bagi Pelabuhan Rembang rupanya telah menyebabkan pelabuhan ini menjadi ramai terutama bagi kapal-kapal pengangkut kayu yang beroperasi karena berbagai pesanan dari daerah lain. Di samping itu, kapal-kapal dagang yang lain tidak ketinggalan untuk melibatkan diri dalam perdagangan di sekitar pelabuhan dan pada gilirannya Pelabuhan Rembang telah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang cukup penting.
Bagaimanapun juga kondisi sebuah pelabuhan sangat ditentukan oleh faktor-faktor geografis. Sementara itu penanganan terhadap pelabuhan dari segi geografis sangat mempengaruhi fungsi pelabuhan tersebut. Pelabuhan Rembang pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, merupakan pelabuhan dengan warisan kebesaran tradisi maritimnya. Peranan sungai menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan Pelabuhan Rembang. Hal ini disebabkan karena Pelabuhan Rembang merupakan pelabuhan muara, sehingga sngi mempunyai peranan penting sebagai penghubung antar daerah pedalaman dengan wilayah pantai.
Pada tahun 1830, kondisi muara Sungai Karanggeneng tidak sesuai untuk dimasuki kapal-kapal besar. Dengan demikian sebenarnya secara fungsional, Pelabuhan Rembang pada saat itu cocok untuk berlabuh kapal-kapal yang relatif kecil. Akan tetapi tidak berarti bahwa pross pengapalan terhadap barang-barang yang keluar masuk pelabuhan menjadi terhenti. Proses pengapalan di pelabuhan kecil memang berlangsung sangat sederhana. Kapal terletak atau membuang sauhnya agak jauh dari tembok dermaga, para kuli harus memikul barang-barang yang dimuat dan dibongkar ke dari dermaga/dinding itu melalui pasir pantai.
Kemunduran secara geografis suatu pelabuhan terjadi karena adanya endapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai ke muara. Di samping itu angin musiman di Laut Jawa, secara teratur setiap hari memberikan aliran dan pasang surut dengan perbedaan ketinggian mencapai 1,20-1,80 meter, menyebabkan gerakan yang mengikis pantai.
Sampai tahun 1858, fungsi pelabuhan Rembang maupun pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa, tetap penting untuk pengapalan produk-produk negara. Namun, pada umumnya kondisinya sangat buruk. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memungkinkan banyak proyek untuk memperbaiki pelabuhan sehingga banyak pelabuhan yang tidak dirawat. Faktor yang menyebabkan kerusakan suatu pelabuhan adalah cacing laut. Rupanya, cacing laut telah merusak tonggak-tonggak penguat dinding germaga dan bersama dengan air laut, terutama sepanjang tahun pada angin musim Barat Laut dengan kuat menghantam pantai, sehingga pemasangan batu menjadi rusak. Di samping cacing laut, ternyata ada juga jenis kerang yang merugikan dan merusak tonggak-tonggak jati di sepanjang pelabuhan dan pantai. Dengan demikian jelaslah bahwa letak dan dampak geografis suatu pelabuhan akan menentukan eksistensi dan dinamika dari pelabuhan itu sendiri. Sementara eksisten suatu pelabuhan sangat menentukan kedudukannya dalam jaringan perdagangan laut. Tentang hal ini bagaimana dengan Pelabuhan Rembang itu sendiri?
Selanjutnya pada masa VOC, juga tidak banyak sumber yang menceritakan tentang siapa dan bagaimana mengelola Pelabuhan Rembang Baru pada tahun 1816, diperoleh informasi singkat tentang petugas pelabuhan. Rupanya Pelabuhan Rembang yang berkedudukan sebagai Pangkalan Angkatan Laut Kolonial, sehingga para pejabat pengelola pelabuhan saat itu berkedudukan sebagai personal Angkatan Laut. Dari sumber itu disebutkan tentang jumlah pengelola pelabuhan yang terdiri dari seorang kepala pelabuhan (Havenmeester), seorang juru tulis, seorang tukang bendera, seorang juru mudi dan delapan kelasi. Dalam setahun mereka memperoleh gaji sebagai berikut:
Gaji Pengelola Pelabuhan Rembang Tahun 1816, sbb : Kepala Pelabuhan  1 org: f3.600, Juru tulis pelabuhan 1 org: f.400, Tukang bendera 1 org: f96, Juru mudi 1 org: f115,6, Kelasi 3 org: f.576. Masing-masing diberikan pertahun.
(Sumber : AVRR, tahun 1816)
Di lihat dari jumlah petugas pelabuhan dan kedudukan dari para petugas yang brfungsi ganda, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Palabuhan Rembang saat itu merupakan palabuhan kecil yang mempunyai aktifitas perdagangan dan pelayaran dalam skala kecil. Meskipun demikian, Pelabuhan Rembang tetap mempunyai nilai strategis yang penting bagi Pemerintah Kolonial terutama dalam kaitannya dengan eksploitasi hutan jati dan pembuatan kapal. Dari beberapa sumber yang diungkapkan oleh Frank Broeze tentang armada dagang di berbagai pelabuhan di Jawa dari tahun 1820-1850 menunjukkan bahwa Pelabuhan Rembang merupakan salah satu pelabuhan yang secara rutin  banyak dikunjungi oleh para pedagang.
Bahkan dalam klasifikasi pelabuhan yang dolakukan oleh Broeze, Pelabuhan Rembang tidak termasuk dalam kategori sebagai pelabuhan kecil (minor ports). Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dari data- data yang disajikan oleh Broeze masih terbatas pada data-data tentang jumlah kapal yang mengunjungi Pelabuhan Rembang. Sedang tentang beberapa tonase atau bobot dari kapal-kapal itu tidak diunkapkan, sehingga masih bisa dipertanyakan apakah dari jumlah kapal yang datang ke suatu pelabuhan bisa dijadikan indikasi tentang besar kecilnya suatu pelabuhan. Namun yang jelas bahwa pada masa Kolonial, Pelabuhan Rembang menjadi salah satu Pelabuhan kolonial, dalam arti kebijakan terhadap pengelolaan suatu pelabuhan sangat ditentukan oleh kepentingan Kolonial Belanda.
Pelabuhan Rembang bisa disebut sebagai pelabuhan kecil, maka tugas kepala Pelabuhan Rembang diserahkan kepadaKomisi Penerima (Komieden – Ontvangers). Sebenarnya tugas Komisi Penerima ini adalah melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang, tetapi sekaligus juga berfungsi sebagai kepala pelabuhan di Rembang.
Dalam hal kebutuhan bagi tersedianya  pegawai douane yang bertugas di bidang pengawasan dan berkaitan dengan kepentingan kas negara, telah diangkat sebagai Komisi Pengawas. Bagi Pelabuhan Rembang,tugas komisi pengawas ini adalah mengurusi cukai ekspor-impor yang berlangsung di pelabuhan. Tentang berapa jumlah pegawai dalam komisi pengawas ini tidak banyak keterangan yang diperoleh. Hnya saja, dilaporkan bahwa tugas pengawasan yang dilakukan oleh komisi ini tidaklah mencukupi untuk pengawasan di pelabuhan dan sekitarnya, terutama untuk mengawasi penyelundupan kayu jati maupun candu. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 1873 telah diangkat seorang pejabat baru yang membantu Komisi Pengawas. Pejabat itu disebut “Penguji” dengan tugas utama menilai jumlah cukai terhadap barang-barang ekspor-impor di pelabuhan.
Sukses tidaknya aktivitas sebuah pelabuhan, salah satunya ditentukan oleh faktor keamanan bagi kapal-kapal yang kan berlabuh. Faktor keamanan ini tidak saja ditentukan oleh kondisi geografis, tetapi juga ditentukan oleh keamanan penguasa pelabuhan dan pantai untuk memberikan jaminan keamanan bagi kapal beserta barang-barang yang dibawanya. Menurut Chaudhuri, faktor keamanan ini memang penting bagi kelangsungan hidup sebuah pelabuhan. Para pedagang akan selalu singgah apabila dapat melakukan transaksi dagang, pengapalan maupun dalam hal yang berkaitan dengan keuangan dengan kredit secara aman di pelabuhan itu. Satu lagi ysering dikeluhkan oleh seorang pedagang adalah bahwa kapal-kapal sering dirompak, sehingga jaminan keamanan wilayah perairan suatu pelabuhan pun sesungguhnya sangat menentukan eksistensi sebuah pelabuhan.
Bgi Pelabuhan Rembang sendiri, usaha untuk memberikan semacam “Jaminan” keamanan perairan telah dilakukan oleh pemerintah. Patroli laut oleh kapal-kapal pengawas selalu dilakukan oleh para petugas Pelabuhan Rembang. Kapal-kapal pengawas ini berkedudukan di Pelabuhan Rembang dan mempunyai tugas mengamankan wilayah Perairan Rembang dari gangguan perompak dan perdagangan gelap. Memang, secara khusus tugas kapal pengawas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keamanan terhadap kapal-kapal yang datang atau pergi melalui Pelabuhan Rembang. Akan tetapi, usaha ke arah itu sedikit banyak telah dilakukan dan paling tidak telah mengurangi tindak kriminalitas di Perairan Rembang.
Pada tahun 1830, tugas pengamanan terhadap perairan dan Pelabuhan Rembang dilakukan oleh beberapa perahu saja, sehingga tidaklah mencukupi untuk memerangi sejumlah besar perompak pantai atau memberantas perdagangan gelap. Mengingat panjang Pantai Rembang sekitar 80 paal, menjadikan perahu-perahu kecil tidak mengalami kesulitan untuk mendarat di pantai atau masuk ke sungai-sungai yang bermuara di laut, dan bisa berbuat sesukanya. Untuk ukuran saat itu, kapal pengawas yang dapat menjaga secara teratur atas wilayah Perairan Pantai Rembang paling tidak diperlukan tiga buah kapal yang berukuran besar. Rupanya usaha Residen untuk memperoleh fasilitas kapal besar dari pemerintah (Gubernur Jenderal) dapat terpenuhi. Pada tahun 1834 telah bertugas tiga buah kapal tempur yaitu kapal nomor 1, 12 dan 32. Kapal-kapal itu bertugas menjaga dan mengamankannya dari para perompak. Untuk kapal tempur nomor 1 dan 12 bertugas melakukan patroli laut, sedangkan kapal tempur nomor 32 lebih banyak berkadudukan di pelabuhan. Tampaknya terjadi penurunan intensitas perampokan di Pantai Rembang, meskipun tidak diperoleh informasi tentang jumlah peristiwa perampokan yang terjadi di wilayah Perairan Rembang. Pada tahun 1845 jumlah kapal pengawas di Perairan Rembang turun menjadi dua yaitu kapal pengawas no. 12 dan 17. Jumlah ini tetap tidak memadai, meskipun dirasakan mempunyai manfaat yang sangat besar. Rupanya tugas kapal pengawas di Perairan Hindia Belanda ini dilakukan secara bergiliran dan sesuai dengan kebutuhan atau prioritas yang harus ditangani oleh wilayah tertentu. Hal ini terbukti dari sering bergantinya kapal pengawas yang bertugas di Rembang. Bahkan ketika tahun 1852 terjadi penyelundupan senjata api di Kerajaan Jambi, oleh pemerintah kolonial dikirimkan empat kapal tempur yang diambil dari pangkalan Pelabuhan Cirebon, Jepara, Rembang dan Batavia untuk menumpas penyelundupan ini.

Minggu, 05 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (1) KELENTENG MAK CO DI REMBANG

Sesudah pecahnya pemberontakan Tiong Hoa dan diperoleh kenyataan adanya persatuan antara orang-orang pribumi dan Tionghoa, maka hal ini dianggap membahayakan kejayaan Kompeni. Selanjutnya Kompeni melakukan pemecahbelahan antar dua kelompok ini. Bahkan Kompeni mengeluarkan perintah memindahkan pemukiman orang-orang Tionghoa di Dresi dan Jangkungan menuju ke sebelah timur atau masuk ke dalam kota Rembang yang sekarang ini.

Dengan dipindahkannya pemukiman orang-orang Tionghoa tersebut, maka kelenteng “Dewi Sanudra Mak Co Poo Thian Siang Sing Bo Nio-Nio” yang semula berada di Jangkungan masuk ke kota Rembang. Pertama kali menempati lokasi di jalan K.S. Tubun No.3 sekarang ini. Di tempat itu hingga sekarang masih terdapat batu peringatan pemugaran kelenteng tersbut. Tidak diperoleh data pasti sejak kapan dan berapa lama kelenteng Dewi Samudra berada dilokasi ini. Dari tempat ini kemudian kelenteng berpindah ke lokasi di desa Tasik Agung tepatnya di jalan Pelabuhan No.1 Rembang, setelah dibangun kelenteng “Tjoe Hwie Kiong” oleh masyarakat Tionghoa di Rembang pada tahun 1841.

Lokasi kelenteng ini berada di tepi sungai Karanggeneng dan menghadap ke arah bekas pelabuhan Rembang di muara sungai ini yang sekarang berada di sisi barat Kawasan Bahari Terpadu. Kelenteng Mak Co di Rembang ini di dirikan pada tahun 1841 oleh Kapten Lie (?). Kelenteng ini mula-mula didirikan di desa Jangkungan, kecamatan Kaliori kemudian dipindah ke lokasi sebagaimana yang sekarang bisa dijumpai.Keistimewaan kelenteng ini adalah adanya dua menara kembanr yang disebut Kie Kwa yang tidak dapat di jumpai pada kelenteng lain.

Setiap sepuluh tahun sekali diadakan perayaan ulang tahun kelenteng secara besar-besaran yang dimeriahkan dengan berbagai atraksi yang khas seperti liang liong, barongsai, pertunjukan wayang potehi, wayang kulit dan sebagainya. Pengunjungnya datang dari berbagai daerah bukan hanya dari Rembang saja tetapi juga dari Jakarta, Semarang, Solo, Surabaya dan sebagainya.

Di dalam klenteng tersebut ditemukan sebuah prasasti berhuruf kanji yang berisi informasi tentang pembangunan klenteng tersebut. Adapun isi prasasti tersebut adalah sebagai berikut :

Riwayat Sheng Mu (Seng Boo yaitu Ma Zu / Mak Co yang harum mulai tahun Jian Long (960 M). Dinasti Song waktu dilahirkan di pulau Mi, Prefektur Pu (terletak di provinsi Fujian / hokkian), beliau sudah dilengkapi kekuatan gaib yang luar biasa dan setelah dewasa beliau menjadi Dewi dan naik ke langit pada waktu siang hri. Beliau menyelamatkan dunia, menguntungkan rakyat, juga membntu serta menolong manusia pada saat bahaya. Kebaikan tersebut menunjukkan bahwa beliau sama seperti Sang Pencipta. Pada zaman Dinasti Sang, beliau dipuja dan dihadiahi tanah dan gelar oleh 14 kaisar, Pada zaman Dinasti Yuan dari 5 kaisar, dan pada zaman Dinasti Ming, jumlah pernyataan penghormatan padanya ditambah 4.

Para Kaisar Dinasti Qing pula menambah tanah dan gelar kehormatan padanya serta menempatkan beliau dalam upacara sembahyang resmi, jumlahnya mencapai 10 kali. Sejak Dinasti Song sampai sekarang, telah tercatat 800 kali lebih kaisar-kaisar turun-temurun menghadiahi tanah dan gelar kehormatan padanya dan berulang-ulang memberi peningkatan statusnya dalam upacara sembahyang resmi. Dengan berlalunya zaman, kebaikannya semakin luar biasa, dunia ini semakin diperdamaikan, dan keluhurannya semakin jelas. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa kebaikannya tidak terbatas pada tempat atau waktu, tetapi terbentang ke seluruh dunia dan seluruh masa. Kami para Tang Ren (orang Tionghoa) di Nan Wang (Rembang) juga diberkati seluas-luasnya dan dilindungi sebesar-besarnya, oleh karena itu kami ingin memuji keajaibannya yang abadi dan jaya. Maka disinilah kami mendirikan istana untuk mempersuburkan kemurahan hatinya (Ci / Tjoe) dan keberkatannya (Hui / Hwe). Dengan mengumpulkan dana dari seluruhnya, akhirnya berhasil menyelesaikan pembangunan klenteng ini. Kemuliaannya dan perayaan demi beliau akan dipuja ribuan tahun, dan disini kami khusus mengingatkan bahwa keajibannya terus makmur, dan kami akan menyembah beliau sebesar-besarnya dan selama-lamanya.

Tahun Dio Guing ke-21 (1841 Masehi), Xin Chou (Tahun Sapi-Mas-Yin) Jiayue (bulan “Alang-alang”), Gudan (pagi hari yang baik)

Dipahat oleh antara lain Pengurus / Kapitan : Xinshi Huang Kai San; Pengikut (Oei Khay San) Zuzhi Sun Guo Tai (Soen Kok Thay), Xinshi Guo De Zong (Kwee Tee Tjang).

REMBANG SEBAGAI DAERAH BAHARI

Jauh sebalum abad ke-16, Indonesia selalu memainkan secara integral dalam perdagangan laut di Asia yang menggunakan jalur antara Timur Tengah dan Cina.75 Bahkan penyebaran agama Islam di Indonesia juga terjadi melalui perdagangan laut.76 Sementara itu perkembangan sosial ekonomi wilayah Pantai Utara Jawa Tengah sejak abad ke-15 ditandai oleh perkembangan kota-kota pelabuhan yang semakin ramai terutama kedatangan saudagar-saudagar Islam.

Dengan demikian sejak jaman kuno di wilayah Pantai Utara Jawa dengan wilayah-wilayah pesisir lain telah tercipta jaringan perdagangan laut yang saling menghubungkan kota pelabuhan satu dengan yang lain.
Jalur perdagangan laut tradisional dalam negeri dapat direkonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya, baik Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Banten, Sunda Kelapa dan lain-lain. Dari pantai barat Sumatera, kapal-kapalm memasuki selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa terutama di Jepara, Lasem, Tuban dan Gersik maupun Surabaya. Pada umumnya angin Musim Timur, kapal-kapal dari Pantai Utara Jawa bagian timur berlayar ke Selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-pelabuhan Siam. Sedangkan pada Musim Barat, mereka berlayar ke pulau-pulau Nusa Tenggara, kepulauan Malaka dan sekitarnya.78 Dari berbagai sumber sejarah yang menceritakan kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, Pelabuhan Rembang secara khusus memang tidak pernah disebut. Dari sumber tradisional, justru Lasemlah yang disebut-sebut salah satu pe;abuhan besar milik Majapahit. Meskipun demikian, pada masa VOC, Rembang sudah disebut-sebut sebagai sebuah pelabuhan dan tempat pembuatan kapal yang cukup terkenal. De Graaf, dengan beberapa karyanya senantiasa menyebutkan Rembang sebagai daerah pelabuhan,79 yang tentunya mengandung pengertian tentang adanya aktifitas sebuah pelabuhan yang terletak di daerah Rembang, baik sebagai daerah kabupaten maupun sebuah kota.

Di Rembang, Kompeni menganggap mutlak perlu mendirikan kantor karena kaya akan kayu, oleh karena itu ditempat itu didirikan sebuah galangan kapal.80 Tentang kapan galangan itu didirikan dan sejak kapan dimulai beroperasi memang tidak bisa dipastikan. Tome Pires menceritakan, bahwa pada awal abad ke-16, Rembang memilikin galangan kapal untuk armada dagang Kerajaan Demak.81 Kemungkinan besar, sejak saat itu aktivitas Rembang sebagai kota pelabuhan sudah mulai berlangsung dan menjadi bagian dari jaringan jalur perdagangan laut.

Sementara di pelabuhannya sendiri bisa dianggap sebagai pelabuhan yang cukup ramai terutama untuk penjualan kayu jati dan pembuatan kapal, serta pengekspor garam. Pada saat terjadi penyerangan bajak laut Makasar ke Rembang, sasaran mereka ditujukan kepada pedagang dan pengusaha kayu Cina dan Belanda yang tinggal disana. Dalam serangan itu kapal-kapal baru Kompeni di golongan kapal milik Daniel Dupree meskipun bisa diselamatkan, tetapi perahu-perahu yang lain bisa dihancurkan beberapa hari sebelumnya terjadi serangan-serangan dan perampasan-perampasan atas sebuah kapal milik Cina-Rembang.

Di samping itu, pentingnya Pelabuhan Rembang pada waktu itu dapat ditunjukkan dengan sering disinggahinya pelabuhan bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada jalur Pantai Utara Jawa. Sebagai contoh misalnya, Pelabuhan Rembang dijadikan tempat-tempat singgahannya seorang nahkoda dari Melayu yang bernama Sautana yang hendak berlayar dari Gersik ke Pasir di Kalimantan.83 Pelabuhan Rembang rupanya banyak didatangi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Madura.

Pada sekitar tahun 1700, VOC berkembang menjadi sebuah kekuasaan pusat perdagangan kuno, dan menguasai jalur perdagangan laut yang sibuk di sepanjang Pantai Laut Hindia dan Laut Cina serta Pantai India, Burma, Siam, Vietnam, Formosa, dan Nagasaki di Jepang. Namun kegiatan dagang VOC lebih dipusatkan di Maluku, sehingga menghilangkan keseimbanganperdagangan laut di sepanjang Pantai Utara Jawa dari Maluku ke pelabuhan entreport Malaka dan seterusnya ke India. Hal inilah yang turut mempengaruhi intensitas perdagangan laut di Utara Jawa termasuk terjadinya proses kemunduran pelabuhan-pelabuhan tradisional di Jawa. Tak kecuali dengan Pelabuhan Rembang.
Ketika VOC banyak mengalami kekalahan di berbagai medan pada masa Perang Pacinan, tetapi masih tetap mempertahankan pos-pos perdagangannya di Jepara, Semarang, Surabaya, Rembang, Demak, dan Tegal.86 Dengan demikian jalur perdagangan laut yang menghubungkan Rembang dengan daerah-daerah lain di Pantai Utara Jawa masih tetap bertahan. Sebaliknya, ketika VOC berhasil menumpas pemberontakan Pacinan dapat menganeksasi sebagian wilayah pesisir Utara Jawa, telah menimbulkan pergeseran sosial ekonomi atas wilayah-wilayah itu. Di daerah Rembang misalnya, telah terjadi eksploitasi yang semakin intensif atas daerah itu. Penyerahan wajib yang dibebankan kepada daerah Rembang pada waktu itu terutama kayu jati, ikan asin, garam, dan tamarin. Barang-barang itu merupakan komoditas yang cukup berarti dalam perdagangan laut. Dengan demikian di Pelabuhan Rembang mengalami pergeseran-pergeseran pada aktivitas perdagangan lautnya. Peranan Pelabuhan Rembang sebagai salah satu lokasi yang menghubungkan jalur perdagangan laut tetap berlangsung dengan baik, bahkan Pelabuhan Rembang semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang, terutama mereka yang mempunyai kaitan dengan perdagangan kayu jati dan aktivitas pembuatan, perbaikan dan pembelian kapal. Rupanya perdagangan laut dari dan ke Pelabuhan Rembang masih menggunakan jalur perdagangan laut kuno, meskipun intensitas dan kualitas perdagangan laut pribumi semakin berkurang. Sebaliknya pedagang-pedagang asing dari Barat semakin intensif memasuki jaringan perdagangan laut yang sudah terbentuk itu.

Pada abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda semakin menyadari pentingnya peranan transportasi laut di Indonesia, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk lalu lintas manusia dan barang, dan sekaligus untuk memantapkan proses pasifikasi kolonial.
Meskipun Pemerintah Kolonial Belanda telah menguasai aktivitas Pelabuhan Rembang sejak dasawarsa kedua abad ke-19, tetapi sebenarnya sistem pengelolaan pelabuhan itu sendiri belumlah berjalan secara efektif. Apalagi dengan situasi dan kondisi keuangan pelabuhan yang sangat terbatas telah menyebabkan penanganan pelabuhan baik secara umum maupun Pelabuhan Rembang sendiri sering terabaikan. Dengan demikian perkembangan pelabuhan berlangsung secara sederhana dan apa adanya. Berbagai pihak yang berkepentingan terhadap Pelabuhan Rembang terpaksa harus menyesuaikan dengan kondisi ini, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik. Rupanya kondisi kebanyakan pelabuhan di Jawa pada akhir tahun 1886 cukup memprihatinkan. Sudah barang tentu, dengan kondisi seperti ini telah menjadikan kendala bagi perkembangan pelabuhan itu sendiri yang pada gilirannya akan mempengaruhi kapal-kapal dan pedagang-pedagang yang datang. Di samping itu peranan Pemerintah sangat dominan dalam fungsionalisasi pelabuhan, sedangkan pihak swasta tidak banyak mengalami perkembangan karena mereka harus berperan menyesuaikan dengan kondisi pelabuhan. Kondisi seperti ini juga berpengaruh pada perdagangan laut secara umum di Hindia Belanda maupun di Rembang.