Kamis, 16 Agustus 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (2) PELABUHAN LAMA


Pelabuhan Lama Rembang terletak di Pantai kota Rembang atau tepatnya di muara sungai Karanggeneng. Di samping sebagai tempat pelabuhan, di muara sungai Karanggeneng juga terdapat tempat penimbunan kayu, sedangkan di muara sungai Lasem terdapat tempat pembuatan kapal (galangan kapal) yang sangat penting bagi perkembangan Pelabuhan Rembang itu sendiri.
Secara geografis, Pelabuhan Rembang terletak di lokasi yang tepat atau memenuhi syarat sebagai pelabuhan yang cukup aman. Dari segi geografis, suatu pelabuhan akan berfungsi apabila memenuhi syarat : 1) Mempunyai dasar laut yang cukup dalam; 2) Bebas dari pembekuan/es; 3) Gelombang laut yang tidak besar; 4) Daerah berlabuh cukup luas; 5) Mempunyai daerah belakang (hinterland) yang memenuhi syarat dan mendukung berfungsinya pelabuhan.
Pantai di sepanjang Laut Jawa, tempat tedapatnya Teluk Rembang dan Tuban, relatif lebih tinggi dan terawat daripada Jepara.Tingginya tanah di daerah Rembang Utara dan bagian yang dekat dengan Laut Jawa merupakan akibat dari munculnya tanah di wilayah itu pada masa Mio-Pliosen. Di sini terjadi dorongan pelipatan pada masa plistosin dan menyebabkan kenaikan tanah. Itulah sebabnya wilayah Rembang relatif lebih tinggi daripada wilayah lain di Pantai Utara Jawa dan mempunyai laut cukup dalam. Di Teluk Rembang sendiri terdapat sejumlah pulau karang kecil dan gundukan pasir. Nama kepulauan itu adalah Dua Bersaudara (Pulau Kembar) dan Sawalan. Sedangkan gundukan pasir itu bernama Gossa, Pasir Batu dan Pasir Besi.
Adanya pulau-pulau karang dan gundukan pasir di Teluk Rembang ini rupanya menjadikan pelindung dari ombak yang besar, sehingga kondisi laut di pantai Rembang relatif lebih tenang. Sudah barang tentu kondisiseperti ini sangat disukai oleh para pelaut yang akan membawa kapalnya berlabuh di pantai. Pantaidi sepanjang Pantai Rembang yang bisa dilabuhikapal relatif cukup luas, apabila dilihat dari eksistensi Pelabuhan Rembang sebagai pelabuhan kecil. Adapun daerah di pantai Rembang yang dapat digunakan untuk berlabuh adalah dari celah Sungai Karanggeneng ke arah timur laut sepanjang kurang lebih 73 mil dari tembok pelabuhan dengan kedalaman air sekitar 2,5-3 meter dan kerendahan dari permukaan tanah sekitar 1-0,5 kaki.
Eksistensi suatu pelabuhan tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat bergantung pada daerah belakang (hinterland). Bagi Pelabuhan Rembang sendiri, hinterland menjadi pendukung utama aktifitas pelabuhan karena produk kayu jatinya yang sangat baik, disamping produk hasil bumi lainnya. Meskipun demikian, kayu jati buknlah satu-satunya faktor yang mempunyai pengaruh terhadap aktifitas Pelabuhan Rembang. Memang dari dulu Pelabuhan Rembang merupakan penyuplai kayu jati, terutama untuk membuat kapal. Bahkan dibawah pemerintahan Raffles, kayu jatinya berhasil bersaing dengan kayu jati dari Birma maupun Benggala. Pengaruh kayu jati bagi Pelabuhan Rembang rupanya telah menyebabkan pelabuhan ini menjadi ramai terutama bagi kapal-kapal pengangkut kayu yang beroperasi karena berbagai pesanan dari daerah lain. Di samping itu, kapal-kapal dagang yang lain tidak ketinggalan untuk melibatkan diri dalam perdagangan di sekitar pelabuhan dan pada gilirannya Pelabuhan Rembang telah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang cukup penting.
Bagaimanapun juga kondisi sebuah pelabuhan sangat ditentukan oleh faktor-faktor geografis. Sementara itu penanganan terhadap pelabuhan dari segi geografis sangat mempengaruhi fungsi pelabuhan tersebut. Pelabuhan Rembang pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, merupakan pelabuhan dengan warisan kebesaran tradisi maritimnya. Peranan sungai menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan Pelabuhan Rembang. Hal ini disebabkan karena Pelabuhan Rembang merupakan pelabuhan muara, sehingga sngi mempunyai peranan penting sebagai penghubung antar daerah pedalaman dengan wilayah pantai.
Pada tahun 1830, kondisi muara Sungai Karanggeneng tidak sesuai untuk dimasuki kapal-kapal besar. Dengan demikian sebenarnya secara fungsional, Pelabuhan Rembang pada saat itu cocok untuk berlabuh kapal-kapal yang relatif kecil. Akan tetapi tidak berarti bahwa pross pengapalan terhadap barang-barang yang keluar masuk pelabuhan menjadi terhenti. Proses pengapalan di pelabuhan kecil memang berlangsung sangat sederhana. Kapal terletak atau membuang sauhnya agak jauh dari tembok dermaga, para kuli harus memikul barang-barang yang dimuat dan dibongkar ke dari dermaga/dinding itu melalui pasir pantai.
Kemunduran secara geografis suatu pelabuhan terjadi karena adanya endapan lumpur yang dibawa oleh sungai-sungai ke muara. Di samping itu angin musiman di Laut Jawa, secara teratur setiap hari memberikan aliran dan pasang surut dengan perbedaan ketinggian mencapai 1,20-1,80 meter, menyebabkan gerakan yang mengikis pantai.
Sampai tahun 1858, fungsi pelabuhan Rembang maupun pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa, tetap penting untuk pengapalan produk-produk negara. Namun, pada umumnya kondisinya sangat buruk. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi keuangan pemerintah Hindia Belanda yang tidak memungkinkan banyak proyek untuk memperbaiki pelabuhan sehingga banyak pelabuhan yang tidak dirawat. Faktor yang menyebabkan kerusakan suatu pelabuhan adalah cacing laut. Rupanya, cacing laut telah merusak tonggak-tonggak penguat dinding germaga dan bersama dengan air laut, terutama sepanjang tahun pada angin musim Barat Laut dengan kuat menghantam pantai, sehingga pemasangan batu menjadi rusak. Di samping cacing laut, ternyata ada juga jenis kerang yang merugikan dan merusak tonggak-tonggak jati di sepanjang pelabuhan dan pantai. Dengan demikian jelaslah bahwa letak dan dampak geografis suatu pelabuhan akan menentukan eksistensi dan dinamika dari pelabuhan itu sendiri. Sementara eksisten suatu pelabuhan sangat menentukan kedudukannya dalam jaringan perdagangan laut. Tentang hal ini bagaimana dengan Pelabuhan Rembang itu sendiri?
Selanjutnya pada masa VOC, juga tidak banyak sumber yang menceritakan tentang siapa dan bagaimana mengelola Pelabuhan Rembang Baru pada tahun 1816, diperoleh informasi singkat tentang petugas pelabuhan. Rupanya Pelabuhan Rembang yang berkedudukan sebagai Pangkalan Angkatan Laut Kolonial, sehingga para pejabat pengelola pelabuhan saat itu berkedudukan sebagai personal Angkatan Laut. Dari sumber itu disebutkan tentang jumlah pengelola pelabuhan yang terdiri dari seorang kepala pelabuhan (Havenmeester), seorang juru tulis, seorang tukang bendera, seorang juru mudi dan delapan kelasi. Dalam setahun mereka memperoleh gaji sebagai berikut:
Gaji Pengelola Pelabuhan Rembang Tahun 1816, sbb : Kepala Pelabuhan  1 org: f3.600, Juru tulis pelabuhan 1 org: f.400, Tukang bendera 1 org: f96, Juru mudi 1 org: f115,6, Kelasi 3 org: f.576. Masing-masing diberikan pertahun.
(Sumber : AVRR, tahun 1816)
Di lihat dari jumlah petugas pelabuhan dan kedudukan dari para petugas yang brfungsi ganda, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Palabuhan Rembang saat itu merupakan palabuhan kecil yang mempunyai aktifitas perdagangan dan pelayaran dalam skala kecil. Meskipun demikian, Pelabuhan Rembang tetap mempunyai nilai strategis yang penting bagi Pemerintah Kolonial terutama dalam kaitannya dengan eksploitasi hutan jati dan pembuatan kapal. Dari beberapa sumber yang diungkapkan oleh Frank Broeze tentang armada dagang di berbagai pelabuhan di Jawa dari tahun 1820-1850 menunjukkan bahwa Pelabuhan Rembang merupakan salah satu pelabuhan yang secara rutin  banyak dikunjungi oleh para pedagang.
Bahkan dalam klasifikasi pelabuhan yang dolakukan oleh Broeze, Pelabuhan Rembang tidak termasuk dalam kategori sebagai pelabuhan kecil (minor ports). Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dari data- data yang disajikan oleh Broeze masih terbatas pada data-data tentang jumlah kapal yang mengunjungi Pelabuhan Rembang. Sedang tentang beberapa tonase atau bobot dari kapal-kapal itu tidak diunkapkan, sehingga masih bisa dipertanyakan apakah dari jumlah kapal yang datang ke suatu pelabuhan bisa dijadikan indikasi tentang besar kecilnya suatu pelabuhan. Namun yang jelas bahwa pada masa Kolonial, Pelabuhan Rembang menjadi salah satu Pelabuhan kolonial, dalam arti kebijakan terhadap pengelolaan suatu pelabuhan sangat ditentukan oleh kepentingan Kolonial Belanda.
Pelabuhan Rembang bisa disebut sebagai pelabuhan kecil, maka tugas kepala Pelabuhan Rembang diserahkan kepadaKomisi Penerima (Komieden – Ontvangers). Sebenarnya tugas Komisi Penerima ini adalah melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang, tetapi sekaligus juga berfungsi sebagai kepala pelabuhan di Rembang.
Dalam hal kebutuhan bagi tersedianya  pegawai douane yang bertugas di bidang pengawasan dan berkaitan dengan kepentingan kas negara, telah diangkat sebagai Komisi Pengawas. Bagi Pelabuhan Rembang,tugas komisi pengawas ini adalah mengurusi cukai ekspor-impor yang berlangsung di pelabuhan. Tentang berapa jumlah pegawai dalam komisi pengawas ini tidak banyak keterangan yang diperoleh. Hnya saja, dilaporkan bahwa tugas pengawasan yang dilakukan oleh komisi ini tidaklah mencukupi untuk pengawasan di pelabuhan dan sekitarnya, terutama untuk mengawasi penyelundupan kayu jati maupun candu. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 1873 telah diangkat seorang pejabat baru yang membantu Komisi Pengawas. Pejabat itu disebut “Penguji” dengan tugas utama menilai jumlah cukai terhadap barang-barang ekspor-impor di pelabuhan.
Sukses tidaknya aktivitas sebuah pelabuhan, salah satunya ditentukan oleh faktor keamanan bagi kapal-kapal yang kan berlabuh. Faktor keamanan ini tidak saja ditentukan oleh kondisi geografis, tetapi juga ditentukan oleh keamanan penguasa pelabuhan dan pantai untuk memberikan jaminan keamanan bagi kapal beserta barang-barang yang dibawanya. Menurut Chaudhuri, faktor keamanan ini memang penting bagi kelangsungan hidup sebuah pelabuhan. Para pedagang akan selalu singgah apabila dapat melakukan transaksi dagang, pengapalan maupun dalam hal yang berkaitan dengan keuangan dengan kredit secara aman di pelabuhan itu. Satu lagi ysering dikeluhkan oleh seorang pedagang adalah bahwa kapal-kapal sering dirompak, sehingga jaminan keamanan wilayah perairan suatu pelabuhan pun sesungguhnya sangat menentukan eksistensi sebuah pelabuhan.
Bgi Pelabuhan Rembang sendiri, usaha untuk memberikan semacam “Jaminan” keamanan perairan telah dilakukan oleh pemerintah. Patroli laut oleh kapal-kapal pengawas selalu dilakukan oleh para petugas Pelabuhan Rembang. Kapal-kapal pengawas ini berkedudukan di Pelabuhan Rembang dan mempunyai tugas mengamankan wilayah Perairan Rembang dari gangguan perompak dan perdagangan gelap. Memang, secara khusus tugas kapal pengawas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keamanan terhadap kapal-kapal yang datang atau pergi melalui Pelabuhan Rembang. Akan tetapi, usaha ke arah itu sedikit banyak telah dilakukan dan paling tidak telah mengurangi tindak kriminalitas di Perairan Rembang.
Pada tahun 1830, tugas pengamanan terhadap perairan dan Pelabuhan Rembang dilakukan oleh beberapa perahu saja, sehingga tidaklah mencukupi untuk memerangi sejumlah besar perompak pantai atau memberantas perdagangan gelap. Mengingat panjang Pantai Rembang sekitar 80 paal, menjadikan perahu-perahu kecil tidak mengalami kesulitan untuk mendarat di pantai atau masuk ke sungai-sungai yang bermuara di laut, dan bisa berbuat sesukanya. Untuk ukuran saat itu, kapal pengawas yang dapat menjaga secara teratur atas wilayah Perairan Pantai Rembang paling tidak diperlukan tiga buah kapal yang berukuran besar. Rupanya usaha Residen untuk memperoleh fasilitas kapal besar dari pemerintah (Gubernur Jenderal) dapat terpenuhi. Pada tahun 1834 telah bertugas tiga buah kapal tempur yaitu kapal nomor 1, 12 dan 32. Kapal-kapal itu bertugas menjaga dan mengamankannya dari para perompak. Untuk kapal tempur nomor 1 dan 12 bertugas melakukan patroli laut, sedangkan kapal tempur nomor 32 lebih banyak berkadudukan di pelabuhan. Tampaknya terjadi penurunan intensitas perampokan di Pantai Rembang, meskipun tidak diperoleh informasi tentang jumlah peristiwa perampokan yang terjadi di wilayah Perairan Rembang. Pada tahun 1845 jumlah kapal pengawas di Perairan Rembang turun menjadi dua yaitu kapal pengawas no. 12 dan 17. Jumlah ini tetap tidak memadai, meskipun dirasakan mempunyai manfaat yang sangat besar. Rupanya tugas kapal pengawas di Perairan Hindia Belanda ini dilakukan secara bergiliran dan sesuai dengan kebutuhan atau prioritas yang harus ditangani oleh wilayah tertentu. Hal ini terbukti dari sering bergantinya kapal pengawas yang bertugas di Rembang. Bahkan ketika tahun 1852 terjadi penyelundupan senjata api di Kerajaan Jambi, oleh pemerintah kolonial dikirimkan empat kapal tempur yang diambil dari pangkalan Pelabuhan Cirebon, Jepara, Rembang dan Batavia untuk menumpas penyelundupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar