Sabtu, 29 September 2012

OBYEK WISATA UTAMA DI LASEM (2) KOMPLEKS MAKAM NYAI AGENG MALOKO


Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Nyai Ageng Maloko merupakan anak pertama dari Sunan Ampel. Nama aslinya adalah Siti Syari’ah. Ia memiliki taga adik yaitu Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Nyai Ageng Manila (istri Sunan Kalijaga). Tidak berbeda dengan saudara-saudara laki-lakinya, Nyai Ageng Maloko sebagai keturunan ulama besar Islam juga merupakan seorang mubalighot Islam yang terkenal. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyebarkan Islam terutama di kalangan perempuan. Mula-mula ia ikut menyebarkan Islan di daerah Ampel Denta (Gresik) bersama orang tuanya. Oleh orang tuanya ia dikawinkan dengan salah satu muridnya yang bernama Wiranagara yang merupakan anak Adipati Lasem yang bernama Wirabajra. Pada waktu Adipati Wiranegara (Hindhu-Budha) melamar Siti Syari’ah ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati, yaitu :
1. Pangeran. Wiranegara harus bisa membaca syahadad (msuk Islam)
2. Dia (sang Putri) harus tetap diijinkan mengajar ngaji bagi kaumnya
3. Dibuatkan tempat khusus untuk mengajar (mengaji dan membuat kain tenun bagi kaumnya) di tepi pantai.
Atas persyaratan itu, maka didirikanlah sebuah tempat pendidikan Islam bagi kaum perempuan di wilayah desa yang diberi nama gedung Mulyo di dukuh Caruban. Setelah menjadi istri Adipati Wiranegara namanya diubah menjadi Siti Malochah (dialek jawa menjadi Maloko). Masyarakat sekitar menyebut Nyai Ageng Maloko.
Ketika Adipati Wirabjra meninggal, maka Wiranegara segera pulang ke Lasem untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai adipati di Lasem. Pada saat pemerintahannya, pusat kadipaten dipindahkan ke Binangun. Ia menjabat pemerintahan Lasem selama 5 tahun. Ia meninggal tahun 1479. Oleh karena putranya masih sangat kecil (yaitu seorang putri yang bernama  Sholikhah sedangkan anak yang ke-dua meninggal dunia), maka pemerintahan Lasem dipegang oleh Nyai Ageng Maloko sendiri yang pda waktu itu usianya masih 28 tahun.
Pada tahun 1480 ibukota kadipaten dipindahkan lagi ke Lasem oleh Nyai Ageng Maloko. Pusat pemerintahannya berada di kawasan Caruban dekat dengan kediaman Pangran Santi Puspo yang menduduki jabatan semacam laksamana yang waktu itu dipercaya dikasihi oleh Dewi Laut. Pangeran Santi Puspo juga masih memiliki hubungan kerabat dengan suami Nyai Ageng Maloko sehingga mereka memiliki hubungan yang akrab. Sementara itu setelah putri Solikhah dewasa ia diperistri oleh Arya Jin Bun yang kemudian menjadi Sultan Demak. Selama pemerintahannya Nyai Ageng Maloko membangun sebuah gedung dan taman yang diceritakan dekat dengan tempat pemujaan Sang Hyang Baruna (Dewa Laut) yang diberi nama Taman Sitaresmi yang untuk masa selanjutnya juga disebut Taman Caruban. Nyai Ageng Maloko meninggal pada usia 39 yahun. Setelah itu kedudukan adipati digantikan oleh Pangeran Santi Puspo dan didampingi oleh adiknya yang bernama Santiyogo. Menurut cerita juru kunci makam Nyai Ageng Maloko, Pangeran Santiyogo inilah yang disebut sebagai Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran yang menggantikan kedudukan Nyai Ageng Maloko sebagai Adipati Lasem. Setelah meninggal, Nyai Ageng Maloko dimakamkan di Caruban (yang termasuk dalam wilayah desa Gedungmulyo, Kecamatan Lasem). Makam Nyai Ageng Maloko berada dalam sebuah cungkup yang terdapat pada bagian yang paling utara dari kompleks pekuburan. Bangunan cungkup dibuat dengan menggunakan batu bata merah. Namun demikian saat ini tembok batu bata tersebut sudah dilepa dengan semen. Cungkup ini dibangun lebih tinggi daripada makam-makam disekitarnya. Di dalam cungkup ini hanya terdapat satu makam yaitu makam Nyai Ageng Maloko. Jirat dan nisan makam ini tampaknya bukan aslinya tetapi sudah diperbarui.
Menurut penuturan juru kunci Nyai Ageng Maloko, di daerah Lasem (dusun Caruban) inilah dia membuka pesantren putri yang tidak hanya diperintukkan bagi masyarakat Lasem tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria (Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah), dan bahkan ada santriwati dari Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren ini bertambah ramai.
Di luar cungkup ini terdapat banyak makam dengan nisan kuno yang sesuai dengan nisan yang terdapat di makam Sayid Abubakar. Selain itu juga bisa ditemukan berbagai macam peninggalan pra Islam seperti beberapa buah lingga dan benda-benda purbakala lainnya. Kompleks makam Nyai geng Maloko ini juga dikelilingi oleh pagar yang aslinya berupa batu bata merah kuno meskipun sayang sekali sekarang sudah dipugar dan dilepo dengan semen sehingga tidak menampakkan keasliannya. Di luar pagar kompleks makam Nyai Ageng Maloko terdapat pekuburan umum yang mungkin sesuai dengan nisan-nisan yang ada di dalam tembok keliling.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar