Menurut cerita yang
berkembang di masyarakat, Nyai Ageng Maloko merupakan anak pertama dari Sunan
Ampel. Nama aslinya adalah Siti Syari’ah. Ia memiliki taga adik yaitu Sunan
Bonang, Sunan Drajat dan Nyai Ageng Manila (istri Sunan Kalijaga). Tidak
berbeda dengan saudara-saudara laki-lakinya, Nyai Ageng Maloko sebagai
keturunan ulama besar Islam juga merupakan seorang mubalighot Islam yang
terkenal. Ia memiliki semangat juang yang tinggi untuk menyebarkan Islam
terutama di kalangan perempuan. Mula-mula ia ikut menyebarkan Islan di daerah
Ampel Denta (Gresik) bersama orang tuanya. Oleh orang tuanya ia dikawinkan
dengan salah satu muridnya yang bernama Wiranagara yang merupakan anak Adipati
Lasem yang bernama Wirabajra. Pada waktu Adipati Wiranegara (Hindhu-Budha)
melamar Siti Syari’ah ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Adipati, yaitu :
1. Pangeran.
Wiranegara harus bisa membaca syahadad (msuk Islam)
2. Dia (sang Putri)
harus tetap diijinkan mengajar ngaji bagi kaumnya
3. Dibuatkan tempat
khusus untuk mengajar (mengaji dan membuat kain tenun bagi kaumnya) di tepi
pantai.
Atas persyaratan
itu, maka didirikanlah sebuah tempat pendidikan Islam bagi kaum perempuan di
wilayah desa yang diberi nama gedung Mulyo di dukuh Caruban. Setelah menjadi
istri Adipati Wiranegara namanya diubah menjadi Siti Malochah (dialek jawa
menjadi Maloko). Masyarakat sekitar menyebut Nyai Ageng Maloko.
Ketika Adipati
Wirabjra meninggal, maka Wiranegara segera pulang ke Lasem untuk menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai adipati di Lasem. Pada saat pemerintahannya, pusat
kadipaten dipindahkan ke Binangun. Ia menjabat pemerintahan Lasem selama 5
tahun. Ia meninggal tahun 1479. Oleh karena putranya masih sangat kecil (yaitu
seorang putri yang bernama Sholikhah
sedangkan anak yang ke-dua meninggal dunia), maka pemerintahan Lasem dipegang
oleh Nyai Ageng Maloko sendiri yang pda waktu itu usianya masih 28 tahun.
Pada tahun 1480
ibukota kadipaten dipindahkan lagi ke Lasem oleh Nyai Ageng Maloko. Pusat
pemerintahannya berada di kawasan Caruban dekat dengan kediaman Pangran Santi
Puspo yang menduduki jabatan semacam laksamana yang waktu itu dipercaya
dikasihi oleh Dewi Laut. Pangeran Santi Puspo juga masih memiliki hubungan
kerabat dengan suami Nyai Ageng Maloko sehingga mereka memiliki hubungan yang
akrab. Sementara itu setelah putri Solikhah dewasa ia diperistri oleh Arya Jin
Bun yang kemudian menjadi Sultan Demak. Selama pemerintahannya Nyai Ageng
Maloko membangun sebuah gedung dan taman yang diceritakan dekat dengan tempat
pemujaan Sang Hyang Baruna (Dewa Laut) yang diberi nama Taman Sitaresmi yang
untuk masa selanjutnya juga disebut Taman Caruban. Nyai Ageng Maloko meninggal
pada usia 39 yahun. Setelah itu kedudukan adipati digantikan oleh Pangeran
Santi Puspo dan didampingi oleh adiknya yang bernama Santiyogo. Menurut cerita
juru kunci makam Nyai Ageng Maloko, Pangeran Santiyogo inilah yang disebut
sebagai Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran yang menggantikan kedudukan Nyai
Ageng Maloko sebagai Adipati Lasem. Setelah meninggal, Nyai Ageng Maloko
dimakamkan di Caruban (yang termasuk dalam wilayah desa Gedungmulyo, Kecamatan
Lasem). Makam Nyai Ageng Maloko berada dalam sebuah cungkup yang terdapat pada
bagian yang paling utara dari kompleks pekuburan. Bangunan cungkup dibuat
dengan menggunakan batu bata merah. Namun demikian saat ini tembok batu bata
tersebut sudah dilepa dengan semen. Cungkup ini dibangun lebih tinggi daripada
makam-makam disekitarnya. Di dalam cungkup ini hanya terdapat satu makam yaitu
makam Nyai Ageng Maloko. Jirat dan nisan makam ini tampaknya bukan aslinya
tetapi sudah diperbarui.
Menurut penuturan
juru kunci Nyai Ageng Maloko, di daerah Lasem (dusun Caruban) inilah dia
membuka pesantren putri yang tidak hanya diperintukkan bagi masyarakat Lasem
tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria
(Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah), dan bahkan ada santriwati dari
Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari Minangkabau adalah
murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia mengajak
wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga pesantren
ini bertambah ramai.
Di luar cungkup ini
terdapat banyak makam dengan nisan kuno yang sesuai dengan nisan yang terdapat
di makam Sayid Abubakar. Selain itu juga bisa ditemukan berbagai macam
peninggalan pra Islam seperti beberapa buah lingga dan benda-benda purbakala
lainnya. Kompleks makam Nyai geng Maloko ini juga dikelilingi oleh pagar yang
aslinya berupa batu bata merah kuno meskipun sayang sekali sekarang sudah
dipugar dan dilepo dengan semen sehingga tidak menampakkan keasliannya. Di luar
pagar kompleks makam Nyai Ageng Maloko terdapat pekuburan umum yang mungkin
sesuai dengan nisan-nisan yang ada di dalam tembok keliling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar