Minggu, 05 Agustus 2012

REMBANG SEBAGAI DAERAH BAHARI

Jauh sebalum abad ke-16, Indonesia selalu memainkan secara integral dalam perdagangan laut di Asia yang menggunakan jalur antara Timur Tengah dan Cina.75 Bahkan penyebaran agama Islam di Indonesia juga terjadi melalui perdagangan laut.76 Sementara itu perkembangan sosial ekonomi wilayah Pantai Utara Jawa Tengah sejak abad ke-15 ditandai oleh perkembangan kota-kota pelabuhan yang semakin ramai terutama kedatangan saudagar-saudagar Islam.

Dengan demikian sejak jaman kuno di wilayah Pantai Utara Jawa dengan wilayah-wilayah pesisir lain telah tercipta jaringan perdagangan laut yang saling menghubungkan kota pelabuhan satu dengan yang lain.
Jalur perdagangan laut tradisional dalam negeri dapat direkonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan pribumi dan wilayah ekspansinya, baik Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Banten, Sunda Kelapa dan lain-lain. Dari pantai barat Sumatera, kapal-kapalm memasuki selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa terutama di Jepara, Lasem, Tuban dan Gersik maupun Surabaya. Pada umumnya angin Musim Timur, kapal-kapal dari Pantai Utara Jawa bagian timur berlayar ke Selat Malaka, Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-pelabuhan Siam. Sedangkan pada Musim Barat, mereka berlayar ke pulau-pulau Nusa Tenggara, kepulauan Malaka dan sekitarnya.78 Dari berbagai sumber sejarah yang menceritakan kota-kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa, Pelabuhan Rembang secara khusus memang tidak pernah disebut. Dari sumber tradisional, justru Lasemlah yang disebut-sebut salah satu pe;abuhan besar milik Majapahit. Meskipun demikian, pada masa VOC, Rembang sudah disebut-sebut sebagai sebuah pelabuhan dan tempat pembuatan kapal yang cukup terkenal. De Graaf, dengan beberapa karyanya senantiasa menyebutkan Rembang sebagai daerah pelabuhan,79 yang tentunya mengandung pengertian tentang adanya aktifitas sebuah pelabuhan yang terletak di daerah Rembang, baik sebagai daerah kabupaten maupun sebuah kota.

Di Rembang, Kompeni menganggap mutlak perlu mendirikan kantor karena kaya akan kayu, oleh karena itu ditempat itu didirikan sebuah galangan kapal.80 Tentang kapan galangan itu didirikan dan sejak kapan dimulai beroperasi memang tidak bisa dipastikan. Tome Pires menceritakan, bahwa pada awal abad ke-16, Rembang memilikin galangan kapal untuk armada dagang Kerajaan Demak.81 Kemungkinan besar, sejak saat itu aktivitas Rembang sebagai kota pelabuhan sudah mulai berlangsung dan menjadi bagian dari jaringan jalur perdagangan laut.

Sementara di pelabuhannya sendiri bisa dianggap sebagai pelabuhan yang cukup ramai terutama untuk penjualan kayu jati dan pembuatan kapal, serta pengekspor garam. Pada saat terjadi penyerangan bajak laut Makasar ke Rembang, sasaran mereka ditujukan kepada pedagang dan pengusaha kayu Cina dan Belanda yang tinggal disana. Dalam serangan itu kapal-kapal baru Kompeni di golongan kapal milik Daniel Dupree meskipun bisa diselamatkan, tetapi perahu-perahu yang lain bisa dihancurkan beberapa hari sebelumnya terjadi serangan-serangan dan perampasan-perampasan atas sebuah kapal milik Cina-Rembang.

Di samping itu, pentingnya Pelabuhan Rembang pada waktu itu dapat ditunjukkan dengan sering disinggahinya pelabuhan bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada jalur Pantai Utara Jawa. Sebagai contoh misalnya, Pelabuhan Rembang dijadikan tempat-tempat singgahannya seorang nahkoda dari Melayu yang bernama Sautana yang hendak berlayar dari Gersik ke Pasir di Kalimantan.83 Pelabuhan Rembang rupanya banyak didatangi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Madura.

Pada sekitar tahun 1700, VOC berkembang menjadi sebuah kekuasaan pusat perdagangan kuno, dan menguasai jalur perdagangan laut yang sibuk di sepanjang Pantai Laut Hindia dan Laut Cina serta Pantai India, Burma, Siam, Vietnam, Formosa, dan Nagasaki di Jepang. Namun kegiatan dagang VOC lebih dipusatkan di Maluku, sehingga menghilangkan keseimbanganperdagangan laut di sepanjang Pantai Utara Jawa dari Maluku ke pelabuhan entreport Malaka dan seterusnya ke India. Hal inilah yang turut mempengaruhi intensitas perdagangan laut di Utara Jawa termasuk terjadinya proses kemunduran pelabuhan-pelabuhan tradisional di Jawa. Tak kecuali dengan Pelabuhan Rembang.
Ketika VOC banyak mengalami kekalahan di berbagai medan pada masa Perang Pacinan, tetapi masih tetap mempertahankan pos-pos perdagangannya di Jepara, Semarang, Surabaya, Rembang, Demak, dan Tegal.86 Dengan demikian jalur perdagangan laut yang menghubungkan Rembang dengan daerah-daerah lain di Pantai Utara Jawa masih tetap bertahan. Sebaliknya, ketika VOC berhasil menumpas pemberontakan Pacinan dapat menganeksasi sebagian wilayah pesisir Utara Jawa, telah menimbulkan pergeseran sosial ekonomi atas wilayah-wilayah itu. Di daerah Rembang misalnya, telah terjadi eksploitasi yang semakin intensif atas daerah itu. Penyerahan wajib yang dibebankan kepada daerah Rembang pada waktu itu terutama kayu jati, ikan asin, garam, dan tamarin. Barang-barang itu merupakan komoditas yang cukup berarti dalam perdagangan laut. Dengan demikian di Pelabuhan Rembang mengalami pergeseran-pergeseran pada aktivitas perdagangan lautnya. Peranan Pelabuhan Rembang sebagai salah satu lokasi yang menghubungkan jalur perdagangan laut tetap berlangsung dengan baik, bahkan Pelabuhan Rembang semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang, terutama mereka yang mempunyai kaitan dengan perdagangan kayu jati dan aktivitas pembuatan, perbaikan dan pembelian kapal. Rupanya perdagangan laut dari dan ke Pelabuhan Rembang masih menggunakan jalur perdagangan laut kuno, meskipun intensitas dan kualitas perdagangan laut pribumi semakin berkurang. Sebaliknya pedagang-pedagang asing dari Barat semakin intensif memasuki jaringan perdagangan laut yang sudah terbentuk itu.

Pada abad ke-19, Pemerintah Kolonial Belanda semakin menyadari pentingnya peranan transportasi laut di Indonesia, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk lalu lintas manusia dan barang, dan sekaligus untuk memantapkan proses pasifikasi kolonial.
Meskipun Pemerintah Kolonial Belanda telah menguasai aktivitas Pelabuhan Rembang sejak dasawarsa kedua abad ke-19, tetapi sebenarnya sistem pengelolaan pelabuhan itu sendiri belumlah berjalan secara efektif. Apalagi dengan situasi dan kondisi keuangan pelabuhan yang sangat terbatas telah menyebabkan penanganan pelabuhan baik secara umum maupun Pelabuhan Rembang sendiri sering terabaikan. Dengan demikian perkembangan pelabuhan berlangsung secara sederhana dan apa adanya. Berbagai pihak yang berkepentingan terhadap Pelabuhan Rembang terpaksa harus menyesuaikan dengan kondisi ini, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik. Rupanya kondisi kebanyakan pelabuhan di Jawa pada akhir tahun 1886 cukup memprihatinkan. Sudah barang tentu, dengan kondisi seperti ini telah menjadikan kendala bagi perkembangan pelabuhan itu sendiri yang pada gilirannya akan mempengaruhi kapal-kapal dan pedagang-pedagang yang datang. Di samping itu peranan Pemerintah sangat dominan dalam fungsionalisasi pelabuhan, sedangkan pihak swasta tidak banyak mengalami perkembangan karena mereka harus berperan menyesuaikan dengan kondisi pelabuhan. Kondisi seperti ini juga berpengaruh pada perdagangan laut secara umum di Hindia Belanda maupun di Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar