Jumat, 31 Agustus 2012
OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (5) MAKAM R.A. KARTINI
Setelah wafat pada tanggal 17 September 1904, jenazah R.A.Kartini
dimakamkan di pemakaman keluarga bupati Rembang R.M.A.A.Djojodiningrat. Makam
ini terletak di desa Bulu, Kecamatan Bulu (Mantingan), Kabupaten Rembang.
Pemakaman ini terletak sekitar 17,5 km dari kota Rembang ke arah kota Blora.
Luas seluruh areal pemakaman ini adalah sekitar 10 ha. Di pemakaman ini pula
dimakamkan suami R.A.Kartini R.M.A.A.Djojodiningrat dan putera beliau
satu-satunya R.M. Susalit.
OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (4) MUSEUM R.A. KARTINI


Dengan
bacaan-bacaannya dan korespondensinya dengan sahabat-sahabat orang Belanda,
proses pendewasaan Kartini menjadi semakin matang, yang pada akhirnya
mengantarkan jiwa Kartini yang penuh kebebasan dalam berpikir dan demokratis
serta berorientasi maa depan dalam bertindak. Oleh karena itu dalam
surat-suratnya yang dikirimkan kepada para sahabatnya di Belanda, ia mengetik
adat istiadat yang ia pandang sebagai penghambat kemajuan wanita seperti budaya
memingit wanita. Ia menganjurkan agar wanita diberi kebebasan untuk menuntut
ilmu dan bebas belajar. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah di negeri
Belanda diurungkan dan memohon kepada Pemerintah Kolonial Belanda agar
beasiswanya diberikan kepada pemuda Indonesia yang lain. Ia lebih senang
melanjutkan sekolah guru.

Untuk
merealisir cita-citanya, langkah awal yang diambil oleh Kartini adalah
mendirikan sekolah wanita yang ditempatkan di rumahnya yaitu didebelah timur
gapura Kabupaten Rembang (sekarang
digunakan sebagai Kantor Wakil Bupati Rembang). Sekolah yang didirikan oleh
Kartini memiliki banyak murid. Murid-murid dari kalangan keluarga yang tidak
mampu, tidak dipungut biaya. Oleh karena mengalami kemajuan pesat, sehingga
diperlukan guru bantu agar semua murid bisa ditangani dengan baik. Kartini juga
mengajukan subsidi kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk memajukan
sekolahnya. Semuanya dilakukan secara tulus berdasarkan jiwa sosial dan
pengabdiannya.
Dalam kehidupan
sebagai ibu rumah tangga, beliau juga merasa sangat bahagia. Telah banyak yang
dilakukan Kartini untuk kepentingan keluarga dan masyarakatnya. Namun demikian
sayang sekali, ia tidak bisa mengabdikan diri lebih lama apalagi menikmati
hasil perjuangannya. Ia wafat dalam usia yang masih sangat muda sebagai seorang
pembaharu, yaitu 25 tahun. Ia wafat tanggal 17 September 1904, empat hari
setelah melahirkan putra satu-satunya, yaitu Raden Mas Susalit. Beliau
meninggalkan semua yang dicintainya, yaitu keluarga dan bangsanya. Jenazahnya
dimakamkan di makam keluarga Rembang yaitu di desa Bulu, Kecamatan Bulu,
Kabupaten Rembang. Beliau ditetapkan sebagai pahlawan wanita oleh Presiden
Soekarno. Kamar pribadi R.A.Kartini dijadikan sebagai ruang museum R.A.Kartini
dengan koleksi peninggalan beliau antara lain berupa : beberapa perabot rumah
tangga yang dulu pernah digunakan oleh Katini, bak mandi, bothekan tempat jamu,
sepasang rono, penyekat ruangan dari kayu jati berukir pemberian ayahandanya,
meja makan, meja untuk merawat bayi, lukisan karya R.A.Kartini berupa tiga ekor
angsa, naskah tulisan tangan R.A.Kartini dan lain-lain.
OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (3) MASJID JAMI' REMBANG DAN KOMPLEKS MAKAM DI SEKITARNYA
Masjid Jami’ Rembang berada di sebelah barat alun-alun kota Rembang. Kompleks Masjid ini berada di dusun Kauman, desa Kutoharjo, kecamatan Rembang. Posisi Masjid dibangun diatas batur setinggi satu meter, sehingga lebih tinggi dari areal disekitarnya. Kompleks Masjid ini dikelilingi oleh tembok bata setinggi satu setengah meter. Sebagaimana biasanya masjid di Pantai Utara Jawa pada khususnya dan masjid lain di Indonesia pada umumnya, bangunan induk masjid berbentuksegi empat dengan lebar sisi sekitar 40 cm. Pada sisi barat ruangan bagian bangunan utama ini terdapat relung mihrab yang fungsinya sebagai tempat “pengimaman” atau tempat imam memimpin sholat. Sementara itu, di sebelah utara nihrab masih terdapat mimbar yang terbuat dari kayu jati yang diukir dengan motif tumpal, sulur-sulur, dan tumbuh-tumbuhan. Fungsi mimbar adalah sebagai tempat khotib (orang yang memberi khotbah pada sholat Jum’at). Di ambang mimbar ini terdapat inskripsi dengan menggunakan huruf Arab. Demikian juga inskrip dengan huruf Arab juga bisa didapatkan diatas pintu masuk ruang utama. Bangunan induk masjid ini ditopang oleh empat sokoguru yang terbuat dari kayu jati yang berbentuk segi empat. Sebagaimana masjid lain, Masjid Jami’ Rembang juga memiliki tambahan serambi.
Bila dilihat dari inskripsi yang
ada, maka dapat dipastikan bahwa masjid Jami’ Rembang ini didirikan tahun 1814
M oleh Bupati Rembang yang bernama adipati Condrodiningrat. Meskipun
masjid ini telah mengalami enam kali pemugaran, namun bentuk aslinya terjaga.
Sebagaimana
prototipe masjid kuno di Indonesia, kawasan masjid juga selalu menjadi ko,pleks
pemakaman. Di belakang masjid (sebelah barat) terdapat bangunan cungkup dengan
model arsitektur Eropa yang cukup megah. Dengan ketinggian batur sekitar satu
meter, bangunan cungkup ini berbentuk segi delapan yang berpusat pada lima buah
makam yang ada didalamnya. Kompleks makam ini terkenal dengan sebutan makam
Pangeran Sedo Laut, meskipun di dalamnya terdapat paling tidak lima buah makam.
Secara berjajar dari
barat ke timur makam-makam tersebut adalah :
(1).Makam
Adipati Condrodiningrat dengan menggunakan jirat dari semen dan nisan berbentuk
kurawal yang terbuat dari batu putih. Makam ini berangka tahun 1289 Hijriyah.

(3).Makam
Raden Tumenggung Pratiktoningrat atau Kanjeng Pangeran Sedo Laut dengan jirat
yang terbuat dari susunan bata dan nisan yang sudah terbuat dari semen. Pada
nisan terdapat angka tahun 1757 menurut angka tahun Kawa atau 1831 Masehi.
(4).Makam istri Kanjeng Pangeran Sedo Laut
dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan suaminya. Hanya saja pada makam
ini tidak bisa ditemukan angka tahun.
(5).Makam istri Patih Pati, yaitu Raden Ayu
Sasmoyo dengan jirat dan nisan yang hampir sama dengan makam ke-3 dan ke-4
dengan tanpa angka tahun.
Kamis, 16 Agustus 2012
OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (2) PELABUHAN LAMA
Pelabuhan Lama Rembang terletak di Pantai kota Rembang atau tepatnya di muara sungai Karanggeneng. Di samping sebagai tempat pelabuhan, di muara sungai Karanggeneng juga terdapat tempat penimbunan kayu, sedangkan di muara sungai Lasem terdapat tempat pembuatan kapal (galangan kapal) yang sangat penting bagi perkembangan Pelabuhan Rembang itu sendiri.
Secara
geografis, Pelabuhan Rembang terletak di lokasi yang tepat atau memenuhi syarat
sebagai pelabuhan yang cukup aman. Dari segi geografis, suatu pelabuhan akan
berfungsi apabila memenuhi syarat : 1) Mempunyai dasar laut yang cukup dalam;
2) Bebas dari pembekuan/es; 3) Gelombang laut yang tidak besar; 4) Daerah
berlabuh cukup luas; 5) Mempunyai daerah belakang (hinterland) yang memenuhi
syarat dan mendukung berfungsinya pelabuhan.
Pantai di
sepanjang Laut Jawa, tempat tedapatnya Teluk Rembang dan Tuban, relatif lebih
tinggi dan terawat daripada Jepara.Tingginya tanah di daerah Rembang Utara dan
bagian yang dekat dengan Laut Jawa merupakan akibat dari munculnya tanah di
wilayah itu pada masa Mio-Pliosen. Di sini terjadi dorongan pelipatan pada masa
plistosin dan menyebabkan kenaikan tanah. Itulah sebabnya wilayah Rembang
relatif lebih tinggi daripada wilayah lain di Pantai Utara Jawa dan mempunyai
laut cukup dalam. Di Teluk Rembang sendiri terdapat sejumlah pulau karang kecil
dan gundukan pasir. Nama
kepulauan itu adalah Dua Bersaudara (Pulau Kembar) dan Sawalan. Sedangkan
gundukan pasir itu bernama Gossa, Pasir Batu dan Pasir Besi.
Adanya pulau-pulau karang dan
gundukan pasir di Teluk Rembang ini rupanya menjadikan pelindung dari ombak
yang besar, sehingga kondisi laut di pantai Rembang relatif lebih tenang. Sudah
barang tentu kondisiseperti ini sangat disukai oleh para pelaut yang akan
membawa kapalnya berlabuh di pantai. Pantaidi sepanjang Pantai Rembang yang
bisa dilabuhikapal relatif cukup luas, apabila dilihat dari eksistensi
Pelabuhan Rembang sebagai pelabuhan kecil. Adapun daerah di pantai Rembang yang
dapat digunakan untuk berlabuh adalah dari celah Sungai Karanggeneng ke arah
timur laut sepanjang kurang lebih 73 mil dari tembok pelabuhan dengan kedalaman
air sekitar 2,5-3 meter dan kerendahan dari permukaan tanah sekitar 1-0,5 kaki.
Eksistensi
suatu pelabuhan tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat bergantung pada daerah
belakang (hinterland). Bagi Pelabuhan Rembang sendiri, hinterland menjadi
pendukung utama aktifitas pelabuhan karena produk kayu jatinya yang sangat
baik, disamping produk hasil bumi lainnya. Meskipun demikian, kayu jati buknlah
satu-satunya faktor yang mempunyai pengaruh terhadap aktifitas Pelabuhan
Rembang. Memang dari dulu Pelabuhan Rembang merupakan penyuplai kayu jati,
terutama untuk membuat kapal. Bahkan dibawah pemerintahan Raffles, kayu jatinya
berhasil bersaing dengan kayu jati dari Birma maupun Benggala. Pengaruh kayu
jati bagi Pelabuhan Rembang rupanya telah menyebabkan pelabuhan ini menjadi
ramai terutama bagi kapal-kapal pengangkut kayu yang beroperasi karena berbagai
pesanan dari daerah lain. Di samping itu, kapal-kapal dagang yang lain tidak
ketinggalan untuk melibatkan diri dalam perdagangan di sekitar pelabuhan dan
pada gilirannya Pelabuhan Rembang telah berkembang menjadi pelabuhan dagang
yang cukup penting.
Bagaimanapun
juga kondisi sebuah pelabuhan sangat ditentukan oleh faktor-faktor geografis.
Sementara itu penanganan terhadap pelabuhan dari segi geografis sangat
mempengaruhi fungsi pelabuhan tersebut. Pelabuhan Rembang pada pertengahan
hingga akhir abad ke-19, merupakan pelabuhan dengan warisan kebesaran tradisi
maritimnya. Peranan sungai menjadi salah satu faktor penentu bagi kelangsungan
Pelabuhan Rembang. Hal ini disebabkan karena Pelabuhan Rembang merupakan
pelabuhan muara, sehingga sngi mempunyai peranan penting sebagai penghubung antar
daerah pedalaman dengan wilayah pantai.
Pada tahun
1830, kondisi muara Sungai Karanggeneng tidak sesuai untuk dimasuki kapal-kapal
besar. Dengan demikian sebenarnya secara fungsional, Pelabuhan Rembang pada
saat itu cocok untuk berlabuh kapal-kapal yang relatif kecil. Akan tetapi tidak
berarti bahwa pross pengapalan terhadap barang-barang yang keluar masuk
pelabuhan menjadi terhenti. Proses pengapalan di pelabuhan kecil memang
berlangsung sangat sederhana. Kapal terletak atau membuang sauhnya agak jauh dari
tembok dermaga, para kuli harus memikul barang-barang yang dimuat dan dibongkar
ke dari dermaga/dinding itu melalui pasir pantai.
Kemunduran
secara geografis suatu pelabuhan terjadi karena adanya endapan lumpur yang
dibawa oleh sungai-sungai ke muara. Di samping itu angin musiman di Laut Jawa,
secara teratur setiap hari memberikan aliran dan pasang surut dengan perbedaan
ketinggian mencapai 1,20-1,80 meter, menyebabkan gerakan yang mengikis pantai.
Sampai tahun
1858, fungsi pelabuhan Rembang maupun pelabuhan-pelabuhan lain di Jawa, tetap
penting untuk pengapalan produk-produk negara. Namun, pada umumnya kondisinya
sangat buruk. Hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi keuangan pemerintah
Hindia Belanda yang tidak memungkinkan banyak proyek untuk memperbaiki
pelabuhan sehingga banyak pelabuhan yang tidak dirawat. Faktor yang menyebabkan
kerusakan suatu pelabuhan adalah cacing laut. Rupanya, cacing laut telah
merusak tonggak-tonggak penguat dinding germaga dan bersama dengan air laut,
terutama sepanjang tahun pada angin musim Barat Laut dengan kuat menghantam
pantai, sehingga pemasangan batu menjadi rusak. Di samping cacing laut,
ternyata ada juga jenis kerang yang merugikan dan merusak tonggak-tonggak jati
di sepanjang pelabuhan dan pantai. Dengan demikian jelaslah bahwa letak dan
dampak geografis suatu pelabuhan akan menentukan eksistensi dan dinamika dari
pelabuhan itu sendiri. Sementara eksisten suatu pelabuhan sangat menentukan
kedudukannya dalam jaringan perdagangan laut. Tentang hal ini bagaimana dengan
Pelabuhan Rembang itu sendiri?
Selanjutnya
pada masa VOC, juga tidak banyak sumber yang menceritakan tentang siapa dan
bagaimana mengelola Pelabuhan Rembang Baru pada tahun 1816, diperoleh informasi
singkat tentang petugas pelabuhan. Rupanya Pelabuhan Rembang yang berkedudukan
sebagai Pangkalan Angkatan Laut Kolonial, sehingga para pejabat pengelola
pelabuhan saat itu berkedudukan sebagai personal Angkatan Laut. Dari sumber itu
disebutkan tentang jumlah pengelola pelabuhan yang terdiri dari seorang kepala
pelabuhan (Havenmeester), seorang juru tulis, seorang tukang bendera, seorang
juru mudi dan delapan kelasi. Dalam setahun mereka memperoleh gaji sebagai
berikut:
Gaji Pengelola Pelabuhan Rembang Tahun 1816, sbb : Kepala
Pelabuhan 1 org: f3.600, Juru tulis
pelabuhan 1 org: f.400, Tukang bendera 1 org: f96, Juru mudi 1 org: f115,6, Kelasi
3 org: f.576. Masing-masing diberikan pertahun.
(Sumber : AVRR, tahun 1816)
Di lihat dari jumlah petugas
pelabuhan dan kedudukan dari para petugas yang brfungsi ganda, maka dapat
dikatakan bahwa kedudukan Palabuhan Rembang saat itu merupakan palabuhan kecil
yang mempunyai aktifitas perdagangan dan pelayaran dalam skala kecil. Meskipun
demikian, Pelabuhan Rembang tetap mempunyai nilai strategis yang penting bagi
Pemerintah Kolonial terutama dalam kaitannya dengan eksploitasi hutan jati dan
pembuatan kapal. Dari beberapa sumber yang diungkapkan oleh Frank Broeze
tentang armada dagang di berbagai pelabuhan di Jawa dari tahun 1820-1850
menunjukkan bahwa Pelabuhan Rembang merupakan salah satu pelabuhan yang secara
rutin banyak dikunjungi oleh para
pedagang.
Bahkan dalam klasifikasi pelabuhan
yang dolakukan oleh Broeze, Pelabuhan Rembang tidak termasuk dalam kategori
sebagai pelabuhan kecil (minor ports). Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa
dari data- data yang disajikan oleh Broeze masih terbatas pada data-data
tentang jumlah kapal yang mengunjungi Pelabuhan Rembang. Sedang tentang
beberapa tonase atau bobot dari kapal-kapal itu tidak diunkapkan, sehingga
masih bisa dipertanyakan apakah dari jumlah kapal yang datang ke suatu
pelabuhan bisa dijadikan indikasi tentang besar kecilnya suatu pelabuhan. Namun
yang jelas bahwa pada masa Kolonial, Pelabuhan Rembang menjadi salah satu
Pelabuhan kolonial, dalam arti kebijakan terhadap pengelolaan suatu pelabuhan
sangat ditentukan oleh kepentingan Kolonial Belanda.
Pelabuhan Rembang bisa disebut
sebagai pelabuhan kecil, maka tugas kepala Pelabuhan Rembang diserahkan
kepadaKomisi Penerima (Komieden – Ontvangers). Sebenarnya tugas Komisi Penerima
ini adalah melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang, tetapi sekaligus
juga berfungsi sebagai kepala pelabuhan di Rembang.
Dalam hal kebutuhan bagi
tersedianya pegawai douane yang bertugas
di bidang pengawasan dan berkaitan dengan kepentingan kas negara, telah
diangkat sebagai Komisi Pengawas. Bagi Pelabuhan Rembang,tugas komisi pengawas
ini adalah mengurusi cukai ekspor-impor yang berlangsung di pelabuhan. Tentang
berapa jumlah pegawai dalam komisi pengawas ini tidak banyak keterangan yang
diperoleh. Hnya saja, dilaporkan bahwa tugas pengawasan yang dilakukan oleh
komisi ini tidaklah mencukupi untuk pengawasan di pelabuhan dan sekitarnya,
terutama untuk mengawasi penyelundupan kayu jati maupun candu. Untuk mengatasi
hal itu, pada tahun 1873 telah diangkat seorang pejabat baru yang membantu
Komisi Pengawas. Pejabat itu disebut “Penguji” dengan tugas utama menilai
jumlah cukai terhadap barang-barang ekspor-impor di pelabuhan.
Sukses tidaknya aktivitas sebuah
pelabuhan, salah satunya ditentukan oleh faktor keamanan bagi kapal-kapal yang
kan berlabuh. Faktor keamanan ini tidak saja ditentukan oleh kondisi geografis,
tetapi juga ditentukan oleh keamanan penguasa pelabuhan dan pantai untuk
memberikan jaminan keamanan bagi kapal beserta barang-barang yang dibawanya.
Menurut Chaudhuri, faktor keamanan ini memang penting bagi kelangsungan hidup
sebuah pelabuhan. Para pedagang akan selalu singgah apabila dapat melakukan
transaksi dagang, pengapalan maupun dalam hal yang berkaitan dengan keuangan
dengan kredit secara aman di pelabuhan itu. Satu lagi ysering dikeluhkan oleh
seorang pedagang adalah bahwa kapal-kapal sering dirompak, sehingga jaminan
keamanan wilayah perairan suatu pelabuhan pun sesungguhnya sangat menentukan
eksistensi sebuah pelabuhan.
Bgi Pelabuhan
Rembang sendiri, usaha untuk memberikan semacam “Jaminan” keamanan perairan
telah dilakukan oleh pemerintah. Patroli laut oleh kapal-kapal pengawas selalu
dilakukan oleh para petugas Pelabuhan Rembang. Kapal-kapal pengawas ini
berkedudukan di Pelabuhan Rembang dan mempunyai tugas mengamankan wilayah
Perairan Rembang dari gangguan perompak dan perdagangan gelap. Memang, secara
khusus tugas kapal pengawas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keamanan
terhadap kapal-kapal yang datang atau pergi melalui Pelabuhan Rembang. Akan
tetapi, usaha ke arah itu sedikit banyak telah dilakukan dan paling tidak telah
mengurangi tindak kriminalitas di Perairan Rembang.
Minggu, 05 Agustus 2012
OBYEK WISATA UTAMA DI REMBANG (1) KELENTENG MAK CO DI REMBANG
Sesudah pecahnya
pemberontakan Tiong Hoa dan diperoleh kenyataan adanya persatuan antara
orang-orang pribumi dan Tionghoa, maka hal ini dianggap membahayakan kejayaan
Kompeni. Selanjutnya Kompeni melakukan pemecahbelahan antar dua kelompok ini.
Bahkan Kompeni mengeluarkan perintah memindahkan pemukiman orang-orang Tionghoa
di Dresi dan Jangkungan menuju ke sebelah timur atau masuk ke dalam kota
Rembang yang sekarang ini.
Dengan
dipindahkannya pemukiman orang-orang Tionghoa tersebut, maka kelenteng “Dewi
Sanudra Mak Co Poo Thian Siang Sing Bo Nio-Nio” yang semula berada di Jangkungan
masuk ke kota Rembang. Pertama kali menempati lokasi di jalan K.S. Tubun No.3
sekarang ini. Di tempat itu hingga sekarang masih terdapat batu peringatan
pemugaran kelenteng tersbut. Tidak diperoleh data pasti sejak kapan dan berapa
lama kelenteng Dewi Samudra berada dilokasi ini. Dari tempat ini kemudian
kelenteng berpindah ke lokasi di desa Tasik Agung tepatnya di jalan Pelabuhan
No.1 Rembang, setelah dibangun kelenteng “Tjoe Hwie Kiong” oleh masyarakat
Tionghoa di Rembang pada tahun 1841.
Lokasi kelenteng
ini berada di tepi sungai Karanggeneng dan menghadap ke arah bekas pelabuhan
Rembang di muara sungai ini yang sekarang berada di sisi barat Kawasan Bahari
Terpadu. Kelenteng Mak Co di Rembang ini di dirikan pada tahun 1841 oleh Kapten
Lie (?). Kelenteng ini mula-mula didirikan di desa Jangkungan, kecamatan
Kaliori kemudian dipindah ke lokasi sebagaimana yang sekarang bisa
dijumpai.Keistimewaan kelenteng ini adalah adanya dua menara kembanr yang
disebut Kie Kwa yang tidak dapat di jumpai pada kelenteng lain.
Setiap sepuluh
tahun sekali diadakan perayaan ulang tahun kelenteng secara besar-besaran yang
dimeriahkan dengan berbagai atraksi yang khas seperti liang liong, barongsai,
pertunjukan wayang potehi, wayang kulit dan sebagainya. Pengunjungnya datang
dari berbagai daerah bukan hanya dari Rembang saja tetapi juga dari Jakarta,
Semarang, Solo, Surabaya dan sebagainya.
Di dalam klenteng
tersebut ditemukan sebuah prasasti berhuruf kanji yang berisi informasi tentang
pembangunan klenteng tersebut. Adapun isi prasasti tersebut adalah sebagai
berikut :
Riwayat Sheng Mu
(Seng Boo yaitu Ma Zu / Mak Co yang harum mulai tahun Jian Long (960 M).
Dinasti Song waktu dilahirkan di pulau Mi, Prefektur Pu (terletak di provinsi
Fujian / hokkian), beliau sudah dilengkapi kekuatan gaib yang luar biasa dan
setelah dewasa beliau menjadi Dewi dan naik ke langit pada waktu siang hri.
Beliau menyelamatkan dunia, menguntungkan rakyat, juga membntu serta menolong
manusia pada saat bahaya. Kebaikan tersebut menunjukkan bahwa beliau sama
seperti Sang Pencipta. Pada zaman Dinasti Sang, beliau dipuja dan dihadiahi
tanah dan gelar oleh 14 kaisar, Pada zaman Dinasti Yuan dari 5 kaisar, dan pada
zaman Dinasti Ming, jumlah pernyataan penghormatan padanya ditambah 4.
Para Kaisar Dinasti
Qing pula menambah tanah dan gelar kehormatan padanya serta menempatkan beliau
dalam upacara sembahyang resmi, jumlahnya mencapai 10 kali. Sejak Dinasti Song
sampai sekarang, telah tercatat 800 kali lebih kaisar-kaisar turun-temurun
menghadiahi tanah dan gelar kehormatan padanya dan berulang-ulang memberi
peningkatan statusnya dalam upacara sembahyang resmi. Dengan berlalunya zaman,
kebaikannya semakin luar biasa, dunia ini semakin diperdamaikan, dan
keluhurannya semakin jelas. Hal-hal tersebut membuktikan bahwa kebaikannya
tidak terbatas pada tempat atau waktu, tetapi terbentang ke seluruh dunia dan
seluruh masa. Kami para Tang Ren (orang Tionghoa) di Nan Wang (Rembang) juga
diberkati seluas-luasnya dan dilindungi sebesar-besarnya, oleh karena itu kami
ingin memuji keajaibannya yang abadi dan jaya. Maka disinilah kami mendirikan
istana untuk mempersuburkan kemurahan hatinya (Ci / Tjoe) dan keberkatannya
(Hui / Hwe). Dengan mengumpulkan dana dari seluruhnya, akhirnya berhasil
menyelesaikan pembangunan klenteng ini. Kemuliaannya dan perayaan demi beliau
akan dipuja ribuan tahun, dan disini kami khusus mengingatkan bahwa keajibannya
terus makmur, dan kami akan menyembah beliau sebesar-besarnya dan
selama-lamanya.
Tahun Dio Guing
ke-21 (1841 Masehi), Xin Chou (Tahun Sapi-Mas-Yin) Jiayue (bulan
“Alang-alang”), Gudan (pagi hari yang baik)
Dipahat oleh antara
lain Pengurus / Kapitan : Xinshi Huang Kai San; Pengikut (Oei Khay San) Zuzhi
Sun Guo Tai (Soen Kok Thay), Xinshi Guo De Zong (Kwee Tee Tjang).
REMBANG SEBAGAI DAERAH BAHARI
Jauh sebalum abad
ke-16, Indonesia selalu memainkan secara integral dalam perdagangan laut di
Asia yang menggunakan jalur antara Timur Tengah dan Cina.75 Bahkan penyebaran
agama Islam di Indonesia juga terjadi melalui perdagangan laut.76 Sementara itu
perkembangan sosial ekonomi wilayah Pantai Utara Jawa Tengah sejak abad ke-15
ditandai oleh perkembangan kota-kota pelabuhan yang semakin ramai terutama
kedatangan saudagar-saudagar Islam.
Dengan demikian
sejak jaman kuno di wilayah Pantai Utara Jawa dengan wilayah-wilayah pesisir
lain telah tercipta jaringan perdagangan laut yang saling menghubungkan kota
pelabuhan satu dengan yang lain.
Jalur perdagangan
laut tradisional dalam negeri dapat direkonstruksikan dari posisi kerajaan-kerajaan
pribumi dan wilayah ekspansinya, baik Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Banten,
Sunda Kelapa dan lain-lain. Dari pantai barat Sumatera, kapal-kapalm memasuki
selat Sunda menuju pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa terutama di Jepara,
Lasem, Tuban dan Gersik maupun Surabaya. Pada umumnya angin Musim Timur,
kapal-kapal dari Pantai Utara Jawa bagian timur berlayar ke Selat Malaka,
Sumatera, Kalimantan, Patani, dan pelabuhan-pelabuhan Siam. Sedangkan pada
Musim Barat, mereka berlayar ke pulau-pulau Nusa Tenggara, kepulauan Malaka dan
sekitarnya.78 Dari berbagai sumber sejarah yang menceritakan kota-kota
pelabuhan di Pantai Utara Jawa, Pelabuhan Rembang secara khusus memang tidak
pernah disebut. Dari sumber tradisional, justru Lasemlah yang disebut-sebut
salah satu pe;abuhan besar milik Majapahit. Meskipun demikian, pada masa VOC,
Rembang sudah disebut-sebut sebagai sebuah pelabuhan dan tempat pembuatan kapal
yang cukup terkenal. De Graaf, dengan beberapa karyanya senantiasa menyebutkan
Rembang sebagai daerah pelabuhan,79 yang tentunya mengandung pengertian tentang
adanya aktifitas sebuah pelabuhan yang terletak di daerah Rembang, baik sebagai
daerah kabupaten maupun sebuah kota.
Di Rembang, Kompeni
menganggap mutlak perlu mendirikan kantor karena kaya akan kayu, oleh karena
itu ditempat itu didirikan sebuah galangan kapal.80 Tentang kapan galangan itu
didirikan dan sejak kapan dimulai beroperasi memang tidak bisa dipastikan. Tome
Pires menceritakan, bahwa pada awal abad ke-16, Rembang memilikin galangan
kapal untuk armada dagang Kerajaan Demak.81 Kemungkinan besar, sejak saat itu
aktivitas Rembang sebagai kota pelabuhan sudah mulai berlangsung dan menjadi
bagian dari jaringan jalur perdagangan laut.
Sementara di
pelabuhannya sendiri bisa dianggap sebagai pelabuhan yang cukup ramai terutama
untuk penjualan kayu jati dan pembuatan kapal, serta pengekspor garam. Pada
saat terjadi penyerangan bajak laut Makasar ke Rembang, sasaran mereka
ditujukan kepada pedagang dan pengusaha kayu Cina dan Belanda yang tinggal
disana. Dalam serangan itu kapal-kapal baru Kompeni di golongan kapal milik
Daniel Dupree meskipun bisa diselamatkan, tetapi perahu-perahu yang lain bisa
dihancurkan beberapa hari sebelumnya terjadi serangan-serangan dan
perampasan-perampasan atas sebuah kapal milik Cina-Rembang.
Di samping itu,
pentingnya Pelabuhan Rembang pada waktu itu dapat ditunjukkan dengan sering
disinggahinya pelabuhan bagi kapal-kapal yang sedang berlayar pada jalur Pantai
Utara Jawa. Sebagai contoh misalnya, Pelabuhan Rembang dijadikan tempat-tempat
singgahannya seorang nahkoda dari Melayu yang bernama Sautana yang hendak
berlayar dari Gersik ke Pasir di Kalimantan.83 Pelabuhan Rembang rupanya banyak
didatangi oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Madura.
Pada sekitar tahun
1700, VOC berkembang menjadi sebuah kekuasaan pusat perdagangan kuno, dan
menguasai jalur perdagangan laut yang sibuk di sepanjang Pantai Laut Hindia dan
Laut Cina serta Pantai India, Burma, Siam, Vietnam, Formosa, dan Nagasaki di
Jepang. Namun kegiatan dagang VOC lebih dipusatkan di Maluku, sehingga
menghilangkan keseimbanganperdagangan laut di sepanjang Pantai Utara Jawa dari
Maluku ke pelabuhan entreport Malaka dan seterusnya ke India. Hal inilah yang
turut mempengaruhi intensitas perdagangan laut di Utara Jawa termasuk
terjadinya proses kemunduran pelabuhan-pelabuhan tradisional di Jawa. Tak
kecuali dengan Pelabuhan Rembang.
Ketika VOC banyak
mengalami kekalahan di berbagai medan pada masa Perang Pacinan, tetapi masih
tetap mempertahankan pos-pos perdagangannya di Jepara, Semarang, Surabaya,
Rembang, Demak, dan Tegal.86 Dengan demikian jalur perdagangan laut yang
menghubungkan Rembang dengan daerah-daerah lain di Pantai Utara Jawa masih
tetap bertahan. Sebaliknya, ketika VOC berhasil menumpas pemberontakan Pacinan
dapat menganeksasi sebagian wilayah pesisir Utara Jawa, telah menimbulkan
pergeseran sosial ekonomi atas wilayah-wilayah itu. Di daerah Rembang misalnya,
telah terjadi eksploitasi yang semakin intensif atas daerah itu. Penyerahan
wajib yang dibebankan kepada daerah Rembang pada waktu itu terutama kayu jati,
ikan asin, garam, dan tamarin. Barang-barang itu merupakan komoditas yang
cukup berarti dalam perdagangan laut. Dengan demikian di Pelabuhan Rembang
mengalami pergeseran-pergeseran pada aktivitas perdagangan lautnya. Peranan
Pelabuhan Rembang sebagai salah satu lokasi yang menghubungkan jalur
perdagangan laut tetap berlangsung dengan baik, bahkan Pelabuhan Rembang
semakin ramai dikunjungi pedagang-pedagang, terutama mereka yang mempunyai
kaitan dengan perdagangan kayu jati dan aktivitas pembuatan, perbaikan dan
pembelian kapal. Rupanya perdagangan laut dari dan ke Pelabuhan Rembang masih
menggunakan jalur perdagangan laut kuno, meskipun intensitas dan kualitas
perdagangan laut pribumi semakin berkurang. Sebaliknya pedagang-pedagang asing
dari Barat semakin intensif memasuki jaringan perdagangan laut yang sudah
terbentuk itu.
Pada abad ke-19,
Pemerintah Kolonial Belanda semakin menyadari pentingnya peranan transportasi
laut di Indonesia, tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga untuk lalu lintas
manusia dan barang, dan sekaligus untuk memantapkan proses pasifikasi
kolonial.
Meskipun Pemerintah
Kolonial Belanda telah menguasai aktivitas Pelabuhan Rembang sejak dasawarsa
kedua abad ke-19, tetapi sebenarnya sistem pengelolaan pelabuhan itu sendiri
belumlah berjalan secara efektif. Apalagi dengan situasi dan kondisi keuangan
pelabuhan yang sangat terbatas telah menyebabkan penanganan pelabuhan baik
secara umum maupun Pelabuhan Rembang sendiri sering terabaikan. Dengan demikian
perkembangan pelabuhan berlangsung secara sederhana dan apa adanya. Berbagai
pihak yang berkepentingan terhadap Pelabuhan Rembang terpaksa harus
menyesuaikan dengan kondisi ini, dan mereka tidak terkoordinasi dengan baik.
Rupanya kondisi kebanyakan pelabuhan di Jawa pada akhir tahun 1886 cukup
memprihatinkan. Sudah barang tentu, dengan kondisi seperti ini telah
menjadikan kendala bagi perkembangan pelabuhan itu sendiri yang pada gilirannya
akan mempengaruhi kapal-kapal dan pedagang-pedagang yang datang. Di samping itu
peranan Pemerintah sangat dominan dalam fungsionalisasi pelabuhan, sedangkan
pihak swasta tidak banyak mengalami perkembangan karena mereka harus berperan
menyesuaikan dengan kondisi pelabuhan. Kondisi seperti ini juga berpengaruh
pada perdagangan laut secara umum di Hindia Belanda maupun di Rembang.
Langganan:
Postingan (Atom)