Kamis, 22 April 2010

Sunan Bonang dan Putri Malokha


Sunan Bonang dan Putri Malokha
Di dalam Kitab Negarakertagama maupun Pararaton tidak disebutkan adanya keturunan Bhre Lasem, hingga tidak dapat diketahui tentang genealoginya. Meskipun demikian ada beberapa Bhre Lasem yang disebut dalam Pararaton, yaitu Kusumawardhani yang dikenal sebagai Bhre Lasem Sang Ahayu (Bhre Lasem yang cantik), Ia adalah putri Hayam Wuruk dari permaisurinya yang bernama Paduka Sori, Putra Bhra Parameswara.

Kusumawardhani menikah dengan saudara sepupunya yang bernama Wikramawardhana alias Bhra Hyang Wisesa. Wikramawardhana adalah anak Dyah Nittaja, yaitu adik Hayam Wuruk yang kawin dengan Bhre Paguhan yang bernama Singhawardhana. Kemudian ada lagi yang di sebut sebagai Bhre Lasem yaitu Negarawardhani yang dikenal dengan sebutan Bhre Lasem sang Alemu (Bhre Lasem yang gemuk). Ia adalah anak Bhre Pajang yang diperistri oleh Bhre Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari selir. Setelah itu disebut sebagai Bhre Lasem adalah putri Bhre Wirabhumi.

Dari Pararaton diketahui, Bhre Wirabhumi mempunyai 4 orang anak, yaitu Bhre Pakembangan, Bhre Mataram yang diperistri oleh Bhre Tumapel, dan Bhre Matahun. Lasem yang terakhir dikenal adalah anak Bhre Pandan salas adalah seorang Raja Majapahit yang bergelar Bhre Pandan Salas Byah Suraprabhawa Sri Singhawikra-mawardhana. Setelah itu tidak terdengar kemunduran dan kejatuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-16.

Dewi Indu menurunkan Pangeran Badrawardhana, Pr. Badrawardhana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pr. Wijayabadra menurunkan Pr. Badranala. Ketiga keturunan Dewi Indu ini menjadi Adipati turun temurun di Lasem, serta tetap menempati Keraton Indu di Kriyan.Pr. Badranala kawin dengan Putri Campa yang bernama Bi Nang Ti, menurunkan dua putra, bernama Pangeran Wirabajra dan Pangeran Santibadra.Sepeninggalan Pr.Wirabajra putra pertama, tidak menempati lagi Keraton Kriyan,tetapi pindah menempati bumi Bonang-Binangun,pada tahun Saka 1391 dekat dengan tempat kubur ibunya di Teluk Regol. Sedang Puri Kriyan ditempati Pr. Santibadra beserta istri anaknya hingga keturunannya.

Pangeran Wirabajra Menurunkan Pangeran Wiranagara yang ketika masih kecil sudah belajar agama Rosul (Islam) di Ampelgading. Pada waktu belakangan Wiranagara diambil menantu oleh Maulana Rakhmat Sunan Ampelgading, dijodohkan dengan putrinya yang pertama yang bernama Malokhah. Pr. Wiranagara kemudian menggantikan Ayahnya menjadi Adipati Binangun, menjabat menjadi Adipati baru 5 tahun sudah meninggal, pada tahun Saka 1401; Pemerintahan Kadipaten kemudian dipegang kemudinya oleh putri Malokhah Janda Muda yang masih berusia 28 tahun, ketika itu sudah mempunyai dua putra : yang pertama putri bernama Solikhah. Dan bungsunya baru berumur 1 tahun sudah meninggal ketika ayahnya masih hidup.

Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal dalam usia 39 tahun sepeninggalan putri Malokhah penguasa Kadipaten Lasem kemudian dirangkap oleh Dhang Puhawang Pangeran. Santipuspa, yang dibantu oleh adiknya bernama Pangeran. Santiyago dan disuruh menempati Keraton Kadipaten di Colegawan…(Sic) Kitab “Babad” Badrasanti menjelaskan penguasa Kadipaten Lasem hingga dipegang oleh Bupati Sura Adimenggala III yang diangkat oleh VOC dari Semarang.

Sampai disini berita tentang sejarah Lasem bisa diurutkan berdasarkan sumber tertulis, kemudian bagaimana kaitannya dengan Rembang?

Sekilas Tentang Majapahit

Sekilas Tentang Majapahit
Pada zaman Majapahit di kenal pula adanya kelompok yang disebut Saptaprabu, yang merupakan sebuah Pohon Narendra, yaitu suatu lembaga yang merupakan “Dewan Pertimbangan Kerajaan”. Dewan ini bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Raja. Anggotanya adalah para Sanak Saudara Raja. Anggota Dewan Pertimbangan Keajaan ini berjumlah tujuh orang kerabat, dan termasuk di dalamnya adalah penguasa Lasem (Bhre Lasem).

Lembaga Bhattara Saptaprabu pertama kali diketahui dari prasasti berangka tahun 1273 Saka (1351 M) yang dikeluarkan oleh Rakriyan Mapatih Mpu Mada. Kemudian diketahui pula di sebutkan di dalam Kidung Sundhayana dengan sebutan Saptaraja dan di dalam kakawin Negarakertagama dengan sebutan Pohon Narendra.

Seperti diketahui bahwa Kerajaan Majapahit mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Dia sangat memperhatikan daerah dengan beberapa kali mengadakan perjalanan kenegaraan dan peninjauan kedaerah-daerah wilayah Majapahit. Dari Kitab Negarakertagama diketahui pada tahun 1275 S Ia mengadakan perjalanan ke daerah Pajang, pada tahun 1276 S ke daerah Lasem, pada tahun 1279 S ke daerah Pajang, pada tahun 1281 S ke daerah Lumajang, kemudian pada tahun 1282 S Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Tirip dan Sempur. Pada tahun Saka 1285 mengadakan ziarah ke Simpang sambil meresmikan sebuah candi.

Dengan demikian, Lasem sebagai daerah bawahan Majapahit merupakan salah satu daerah penting karena mendapat kunjungan dari Raja Hayam Wuruk. Arti penting kunjungan ini menunjukkan betapa Lasem baik secara politis maupun ekonomis merupakan daerah yang dapat di andalkan oleh Kerajaan Majapahit untuk memperkuat kedudukannya. Dalam PupuhXVII/ 6-7 di sebutkan bahwa perjalanan Hayam Wuruk keberbagai daerah bawahan ini di sesuaikan dengan arah mata angin pokok. Secara Kosmologi magis, daerah yang di kunjungi dapat memberikan kekuatan spiritual atas kedudukan dan posisi Majapahit sebagai pusat pemerintahan.

Hingga kini tak ada prasasti yang ditemukan di daerah Lasem yang menunjukkan informasi historis yang memadai. Persamaan antara Negarakertagama dan Babad Badrasanti hanya berhenti atau terbatas pada keterangan tentang adik sepupu Raja Wilwatika seorang Ratu dari Lasem, bernama Indu Dewi, yang bersuamikan seorang penguasa Matahun, bernama Rajasawardhana.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Sejarah Lasem

Sejarah Lasem
Sementara itu mengenai Lasem, dapat di ketahui dari Kitab Negarakertagama. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Lasem merupakan salah satu daerah kekuasaan Majapahit yang terletak di nagian Utara Kerajaan Majapahit, dan terletak di sebelah Barat Matahun, yaitu daerah Lasem, Jawa Tengah sekarang, sedangkan Matahun terletak di bagian Barat Bojonegoro sekarang.

Dalam Kitab Badrasanti diceritakan, bahwa pada tahun saka 1273, Lasem diperintah oleh Dewi Indu, adik sepupu Raja Hayam Wuruk dari Wilwatika.Suaminya bernama Pangeran Rajasawardhana, yang dijadikan Dampuhawang di Pelanuhan Regol, di Lasem merangkap menjadi Adipati Matahun, bergelar Raja Maladresmi karena kecekapan parasnya. Daerah kekuasaan Dewi Indu meliputi wilayah yang terbentang dari Pacitan sampai muara Bengawan Silungangga di Pangkah Sedayu, sedangkan wilayah sebelah Timur Bengawan beserta pulau-pulau lainnya masuk dalam daerah kekuasaan Hayam Wuruk. Keduanya memerintah bersama-sama di Ngawantipura Wilwatika.

Keraton Dewi Indu terletak di Bumi Kriyan. Disebelah Tenggar keraton terdapat Tamansari dan Balekambang yang ditanami pohon-pohon kamal (asem), sedangkan sepanjang jalan ditanami pohon sawo kecik. Keraton dihiasi ukir-ukiran, dengan umpak berbentuk bunga teratai, lantainya di buat dari bata persegi yang besar dan halus. Atapnya di tutup dengan sirap atau ijuk, sedangkan hubungan atap dihias dengan genting berukir.

Mengenai nama Silungangga, rupanya ada kebiasaan di dalam masyarakat Indonesia yang mendapat pengaruh Hindhu, untuk menghubungkan sungai besar dengan nama Gangga. Jadi Bengawan Silungangga dapat dipastikan bahwa yang di maksud adalah Sungai Bengawan Solo.

Pada Masa Majapahit, pemerintahan dinegara-negara daerah di pegang oleh keluarga Raja yang terdekat dengan kedudukan sebagai penguasa atau raja daerah dengan gelar Paduka Bhattara, Bhrai atau Bhre. Mereka ini menjalankan pemerintahan daerah dengan dibantu sejumlah pejabat daerah dengan strukur yang hampir sama dengan struktur pemerintahan pusat, tetapi ukurannya lebih kecil.32 Dalam Pupuh X/2 Kitab Negarakertagama, disebutkan tentang susunan pemerintahan negara bawahan dan daerah Anjuru. Disebutkan ada senelas (11) daerah bawahan Majapahit di Jawa, Yaitu Daha, Wengker, Matahun, Lasem, Pajang, Peguhan, Singasari, Wirabhumi, Mataram, Kahuripan, Pawanuhan.

Persoalannya, apakah ada indikasi bahwa Rembang pada masa Majapahit merupakan wilayah Lasem? Apabila kita lihat luas wilayah Lasem pada masa Majapahit, baik berdasarkan sumber Kitab Negarakertagama maupun Kitab “Babad”Badrasanti, bisa disimpulkan bahwa Rembang pada saat itu memang merupakan bagian dari daerah Lasem. Dengan demikian untuk mengkaji sejarah Rembang pada masa Majapahit sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Lasem.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Asal Usul Nama Rembang?

Asal Usul Nama Rembang?
Sumber lain tentang Rembang dapat diambil dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru. Di sebutkan antara lain: “…kira-kira tahun Syaka 1336 ada orang Campa Banjarmlati berjumlah delapam keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di negaranya…”Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan itu.Berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Ie Din; setelah mendarat kamudian mengadakan do’a dan semedi, kemudian di mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya.

Tanah lapang itu kemudian di buat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : KABONGAN; mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan),…. Pada suatu hari saat fajar menyingsing di bulan Waisaka; orang-orang akan mulai ngrembang (mbabat,Ind : memangkas) tebu. Sebelum di mulai mbabat diadakan upacara suci Sembayang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan dikepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”.Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.”Menurut Mbah Guru, upacara ngRembang sakawit ini dilaksanakan pada hari Rabu Legi, saat di nyanyikan Kidung, Minggu Kasadha. Bulan Waisaka, Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Rembang, Setting Historis

B. Setting Historis
Pada masa Kerajaan Majapahit, Rembang sebagai kota ataupun wilayah yang sudah berpemerintahan sendiri ataupun menjadi bagian darisuatu Negara bagian kerajaan Majapahit masih belum bisa di buktikan dengan jelas dan tepat. Hal ini di sebabkan sumber-sumber atau bukti-bukti tertulis yang menceritakan Rembang dalam aktivitas kota maupun pemerintah daerah tidak banyak di sebutkan. Berdasarkan sumber tertulis masa Majapahit, nama Rembang memang telah di sebutkan di dalam Kitab Negara Kertagama pada Pupuh XXI sebagai berikut:” …Menuruni surah melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan langsung ke Payaman. Tepasana ke arah kota Rembang sampai di Kemirakan yang letaknya di pantai lautan”.

Meskipun demikian, kota-kota pantai di pantai Utara Jawa dari beberapa sumber baik di dalam maupun dari luar telah di sebutkan eksistensinya. Antonio Pigafetta, seorang pelaut dari Italia, yang pernah mengadakan perjalanan ke beberapa tempat di Indonesia.Dalam catatan perjalanannya pada tanggal 26 Januari sampai 11 Pebruari telah menyebutkan beberapa nama kota di wilayah itu. Olehnya di dengar kabar, bahwa kota-kota penting yang terdapat dalam ilmu bumi, yaitu Majapahit, Mentraman, Djepara, Sedaya, Gresik, Surabaya dan Bali.

Nama Rembang bersama-sama dengan kota-kota pantai lainnya di Jawa juga muncul dalam sumber tertulis yang berasal dari Tome Pires. Di sebutkan oleh Tome Pires, (1512-1515) antara lain : New Comes Java and we must speak of the King within the hinterland. The land of Cherimon(Cheroboam), the land of Jepara, Theland of Losari(Locuri), The land of Tegal (Tegegual), The land of Semarang (Camaram), The land of Demak (Demma), Tidunan (Tudunar),the land of Jepara, the land of Rembang (Remee), the land of Tuban (Toban),the land of Sidayu (Cedayo), the land of Gresee (Agacif), the land of Surabaya (Curabaya),the land of Gamta, the land of Blambangan, the land of Pajarakan (Pajaracam), the land of Gamta,the land of Panarukan (Panarunca), the land of Chamdy, and when is ended we will speak of the great island of Madura.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Sabtu, 17 April 2010

Rembang Miskin Dari Dulu?

Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi social ekonomi penduduk Residensi Rembang terutama pada abad XIX relative miskin dan menderita. Penduduk Rembang yang hidup di wilayah pedalaman sangat bergantung pada tanah sebagai lahan garapan untuk menyambung hidupnya.
Sebagaimana di ungkapkan oleh James C. Scott, bahwa para petenu di Asia Tenggara mempunyai etika subsistensi dengan moral ekonomi yang disebut “safety first”. Dengan demikian, petani diumpamakan oleh Scott sebagai orang yang terendam dalam air laut sebatas lehernya, sehingga bila ada sedikit gelombang saja, sudah bisa menenggelamkannya. Meskipun perlu di teliti lebih jauh tentang moral ekonomi petani itu, namun tampaknya bagi penduduk/petani di daerah Rembang mempunyai indikasi yang hamper sama dengan apa yang dikemukakan dengan Scott. Apakah benar pandangan seperti itu terjadi di Rembang, sehingga menyebabkan penduduk berada dalam kondisi yang miskin dan memprihatinkan?
Menurut H.C.Bekking (Residen Rembang pada pertengahan abad ke-19), sebab-sebab kemiskinan dan kemunduran penduduk Rembang terletak pada cara hidupnya. Dikatakan oleh Bekking, bahwa penduduk Rembang cenderung bergaya hidup rendah, sehingga oranglebih tergantung dari tanah dengan segala dampak yang ditimbulkannya.
Sejak jaman dulu penduduk Rembang mempunyai kebiasaan untuk mengolah tegalan yang luas di samping sawah yang kurang berkembang karena kurangnya peluang untuk mengairi sawahnya, kecuali pada musim hujan. Di tegalan-tegalan mereka menanam tanaman kedua yang bisa mengimbangi panen beras yang gagal atau kurang memadai. Mengenai tanaman kedua ini, kebanyakan berupa bahan pangan, juga termasuk tembakau. Penduduk memperoleh uang melalui tanaman ini sehingga dapat memenuhi kebutuhan berasnya.
Ada tiga jenis padi utama yang ditanam di daerah Rembang yaitu “dalem”, “tengahan”, dan “genjah”. Padi jenis “dalem” terdiri dari tjami langkungan, papah aren, sri kuning, mendjangan mangle, koentoel nguijuk. Padi jenis “tengahan” terdiri dari apa yang disebut genjah, sasrabaija, dan riwong. Sedangkan padi jenis “genjah” terdiri dari pendok pontie, pendok besi, koentoelan dan mentik.
Adapun jenis-jenis tanaman kedua (sampingan) di Karesidenan Rembang yang sangat umum ditanam oleh penduduk antara lain : jagung, ketela, kapas, semangka, krai, gula bit (suikerriet), ubi, talas, bentool, jarak, kacang, lombok, tembakau, indigo, kedelai, terong, ketimun, dan lain-lain. Secara umum, kadaan cuaca kurang menguntungkan bagi tanaman padi, karena musim panas lebih panjang daripada musim penghujan. Meskipun demikian pada awal periode kedua abad ke-19 hasil dari sawah pada umumnya menguntungkan.
Di bidang penanaman hasil buni bagi pasaran Eropa, Rembang lebih ketinggalan dibandingkan dengan semua karesidenan lain di Jawa. Jenis tanaman bagi pasaran Eropa yang utama adalah kopi, hanya di tanam di Kabuaten Rembang dan Blora. Pada tahun 1844 dihasilkan kopi sebanyak 1.938 pikul keadaan tanah di karesidenan ini memang kurang cocok untuk menanam tebu dan kopi. Sementara kayu manis hanya di tanamdi Distrik Bantjar dengan hasil sebanyak 973 pon untuk 1844 dan 496 pon pada tahun 1845. Tanaman yembakau menghasilkan 17.390 pikul pada tahun 1844, kebanyakan perkebunan tembakau terdapat di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro.
Sementara penduduk di daerah pantai hidup dari perdagangan pantai dan nelayan. Kecuali perikanan laut yang masih sangat pentng. Di daerah pantai banyak di jumpai kolam-kolam atau tambak-tambak ikan. Di Distrik Waru, Bancu, Jenu, dan Rembes terdapat 624 orang yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Perkampungan nelayan dapat di jumpai terutama di ibukota Rembang dan Tuban, Mereka banyak memelihara ikan terutama banding dan belanak serta menangkap ikan di laut.
Bagi para nelayan, ikan menjadi konsumsi dan produksi harian dengan cara dikeringkan atau diasinkan untuk selanjutnya diangkut kepedalaman dan pasar-pasar maupun kekaresidenan lain untuk dijual. Aktivitas ini menjadi kesibukan besar yang senantiasa dilakukan oleh para nelayan.
Di Rembang banyak terdapat kerajinan seperti penenunan tenda dan layer bagi perahu dan kapal, pembuatan perahu-perahu pribumi, pengayaman karung goni, tali-temali, pertikangan pribumi, penenunan batik serta kain dan sapu tangan.
Pengrajin emas dan perak banyak terdapat di kota Rembang meskipun hasil karyanya kebanyakan dijual berkeliling di beberapa Distrik. Demikian halnya dengan tukang tembaga dan tukang pembuat kaleng. Di samping itu juga terdapat aktivitas pembakaran kapur, pembuatan batu bata, pot tanah liat, dan lain-lain. Pembuatan garam dan penanaman tembakau untuk konsumsi domestic maupun ekspor banyak dilakukan oleh penduduk Rembang.

Rembang Zaman Sekarang

Pada masa sekarang ini, Rembang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, terletak di Pesisir Pantai Utara Jawa memiliki luas kurang lebih 968,02 km2. Pada tahun 1980-an wilayah ini berpenduduk kira-kira 442.594 jiwa.Disebelah selatan Kabupaten Rembang berbatasan dengan Kabupaten Blora, di sebelah barat dengan Pati, dandi sebelah tinur dengan Tuban (di propinsi Jawa Timur) dan Laut Jawa di sebelah utara.

Secara fisiografi, wilayah Kabupaten Rembang meliputi jajaran Pegunungan Kapur Utara yang mendominasi sepertiga wilayah kabupaten. Ada juga gunung yang tidak tinggi yakni Gunung Butak (dengan ketinggian = 679 m) dan Gunung Lasem (ketinggian = 806 m), selebihnya terdiri dari dataran rendah yang melajur ke utara sampai ke pesisir Laut Jawa.

Hasil pertanian meliputi padi, jagung, ubi kayu, ubi manis, kacang hijau, kacang tanah, kelapa, kapok, tembakau. Sementara itu hasil perikanan laut penduduk Rembang antara lain berupa ikan kembung,tengiri, kakap, tongkol,, udang, dan lain-lain. Untuk hasil perikanan darat terdiri dari banding, mujahir, udang tambak. Ibu kota Kabupaten Rembang terletak di pesisir Laut Jawa di hubungkan dengan kota-kota di sekitarnya.

Adapun daerah Lasem, yang sekarang menjadi salah satu kecamatan dari Kabupaten Rembang, terletak di koordinat 6o 42’ Lintang Selatan dan 111o 25’ Bujur Timur. Secara geografis daerah Lasem dapat dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu 1) daerah pantai yang berpusat di Caruban dan Bonang Binangun; 2) daerah dataran rendah terdapat di sekitar kota Lasem yang dialiri Sungai Lasem; 3) daerah pegunungan Lasem dengan puncak-puncaknya Gunung Ngeblek, Gunung Ijo, Gunung Setro, dan sebagainya. Iklim daerah pantai ini terdiri dari musim kemarau yang jatuh mulai bulan Juni sampai Oktober, musim Pancaroba mulai bulan November hingga Desember dan bulan April sampai Mei, serta musim hujan yang jatuh pada bulan Januari sampai Maret. Curah hujan relatif sedikit sekali, rata-rata kurang dari 1500 mm/tahun. Jumlah rata-rata hujan 60 hari/tahun.

Zaman Pendudukan Jepang

Pada masa Pendudukan Jepang, pihak penguasa melakukan perubahan dalam tata pemerintahan daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.27 tahun 1942. Berdasarkan Undang-Undang itu kecuali wilayah “Vorstenlanden” (wilayah bekas kerajaan Surakarta dan Yogyajarta) seluruh Jawa dibagi menjadi : Syuu (karesidenan), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik) dan Ko (Kelurahan).

Pada dasarnya pembagian itu hanya merupakan pergantian nama dari tata pemerintahan (pembagian wilayah) di Jawa yang sudah ada pada masa sebelumnya. Perubahan yang menonjol adalah dihapuskannya pemerintahan tingkat propinsi, dan perubahan nama Karesidenan Jepara-Rembang menjadi Syuu Pati.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Rembang Zaman Tanam Paksa

Pada masa Kultur Stelsel atau Tanam Paksa (1830-1970), Karesidenan Rembang termasuk bagian dari wilayah Jawa Timur. Dengan demikian disamping sebagai ibukota kabupaten, Rembang juga merupakan ibukota karesidenan, bahkan juga merupakan ibukota kedistrikan yaitu Distrik Rembang.

Di Rembang menjadi tempat kedudukan Residen, Bupati dan kepala Distrik Rembang. Dengan demikian disamping sebagai kota perdagangan Rembang juga merupakan kota pusat pemerintahan sampai tingkat karesidenan. Oleh karena itu bisa diperkirakan bahwa Rembang pada waktu itu merupakan satu kota yang ramai di Jawa Tengah.

Sebagai Karesidenan, Rembang disebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Surabaya, di sebelah barat dengan Karesidenan Jepara dan Kabupaten Grobogan, Di sebelah selatan dengan Karesidenan Madiun dan Kediri, sedangakan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.

Mengenai pembagian wilayah pada waktu itu karesidenan Rembang terdiridari 4 kabupaten yaitu: Kabupaten Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro. Sedangkan untuk Kabupaten Rembang sendiri terdiri dari tujuh wilayah kedistrikan yaitu : Rembang, Waru, Binangun, Kragan, Sulang, Pamotan, dam Sedan. Luasnya meliputi 1.032 km2 yang merupakan sepertujuh dari bagian luas wilayah karesidenan Rembang. Kabupaten tersebut (Rembang), disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Tuban, sebelah selatan kabupaten Blora, dan disebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Karesidenan Jepara.

Pada Tahun 1905, yaitu tahun diberlakukannya Decentralisatie Besluit, karesidenan atau Gewest Rembang seperti halnya daerah-daerah lainnya yang setingkat memperoleh hak-hak otonom, yang berarti wilayah Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Rembang, Blora, Tuban dan Bojonegoro menjadi daerah otonom penuh. Untuk itu maka dibentuklah Dewan Daerah (Gewestelijke Raad) untuk wilayah Rembang.

Perubahan terjadi lagi dengan diberlakukannya Provincie Ordonantie (Undang-Undang Propinsi) pada tanggal 1 April 1925. Berdasarkan Provincie Ordonantie tersebut, maka khusus untuk Jawa Tengah berdasarkan Ordonantie 1929, secara resmi menjadi salah satu provinsi di Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu).

Sebagai wilayah propinsi, Jawa Tengah merupakan daerah otonom dengan hak-hak otonomi tertentu disamping juga memiliki Dewan Propinsi (Provinciale Raad). Berdasarkan Ordonansi itu pula Propinsi Jawa Tengah dibagi menjadi karesidenan yang salah satu diantaranya adalah Karesidenan Rembang-Jepara, yang terdiri dari Kabupaten Jepara, Rembang, Pati, Blora dan Kudus. Kabupaten Bojonegoro dan Tuban yang sebelumnya merupakan 2 kabupaten di Karesidenan Rembang sejak saat itu menjadi bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Zaman Mataram Kartosuro

Sementara pada zaman Mataram Kartosuro, daerah Rembang termasuk wilayah Pesisir Timur bersama daerah-daerah Jepara, Kudus, Cengkal, Pati, Juana, Panjangkungan, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruhan, Bangil, Banyuwangi dan Blambangan, dan Madura.

Pada masa pemerintahan Daendeles (1808-1811) ditemukan sumber yang menyebutkan bahwa Perfectur (semacam karesidenan) Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Juana, Rembang, Lasem dan Tuban.

Namun demikian pada masa Kultur Stelsel, berbagai sumber colonial khususnya Kultuurverslagen menyebutkan bahwa Lasem hanya merupakan daerah yang merupakan bagian dan termasuk wilayah Kabupaten Rembang.

Pada waktu itu daerah Lasem dikepalai oleh seorang Demang. Dengan melihat siapa yang menjadi kepala daerah di Lasem yaitu Demang, maka menurut system pemerintahan pribumi (Inlandsche bestuur) yang berlaku pada waktu itu, Lasem hanyalah merupakan order distrik atau setingkat dengan kecamatan pada saat ini. Walaupun hanya berstatus sebagai order distrik (kecamatan masa kini) Lasem mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi bagi Kabupaten Rembang.

Bahkan pada jaman Mataram Islam, Lasem sudah mempunyai fungsi penting bagi perdagangan dan hubungan luar negeri. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Sungai Lasem yang bagian muaranya merupakan pelabuhan dagang.

Pada jaman colonial Belanda sungai Lasem pernah diperdalam sehingga bisa dilewati perahu berukuran 2,5 pal (1pai = 300 ton) dari kota Lasem sampai ke laut. Di sisi timur dekat muara sungai Lasem terdapat perusahaan galangan kapal milik seorang Belanda yang bernama Browne.

(Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003)

Rembang Zaman Majapahit

Pada masa Kerajaan Majapahit, Rembang berada dibawah kekuasaan Lasem. Tome Pires memberitahukan pula bahwa Rembang memiliki galangan kapal, tempat pembuatan kapal-kapal dagang Demak.

Akan tetapi aktivitas di daerah maupun Pelabuhan Rembang pada masa Majapahit, berdasarkan sumber-sunber sejarah baik sumber tradisional maupun sumber asing, tidak banyak yang dapat diceritakan.

Pada masa Kerajaan Mataram dibawah Panembahan Senopati, nama daerah Rembangtidak terdengar, baikketika masa damai maupun masa penaklukan-penaklukan Senopati terhadap daerah-daerah Pesisir Utara Jawa.

Sampai dengan wafatnya Senopati pada Tahun 1600. Apabila saat itu Rembang termasuk wilayah kekuasaan Lasem, maka pada masa Senopati, Rembang belum dikuasai oleh Mataram, karena Lasem baru dapat ditaklukkan Mataram dibawah Sultan Agung pada Tahun 1616.

Rembang Zaman Kolonial

Setting Ekologis
Rembang Zaman Kolonial
Rembang, baik sebagai nama suatu kota, kabupaten, maupun karisidenan, sudah dikenal sejak masa lampau. Pada masa klasik, pengungkapan sejarah Rembang tidak bisa dilepaskan dengan nama Lasem, karena pada saat itu, wilayah Rembang pernah menjadi bagian dari wilayah Lasem.

Pada masa Kolonial Hindia Belanda, Rembang selain menjadi nama Karesidenan juga menjadi nama Kabupaten dan Lasem menjadi wilayah bagian dari Kabupaten Rembang.

Pada masa Klasik atau masa Kerajaan Majapahit, aktivitas Rembang tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan karena terbatasnya sumber-sumber yang bisa menjelaskan. Namun pada masa Mataram dan prokolonial, wilayah ini mulai banyak diceritakan secara relative lengkap.

Dari beberapa bukti sejarah yang ada, Rembang pada masa ini sangat dikenal sebagai kota pelabuhan dengan aktivitas baharinya. Namun sayangnya pada masa akhir kolonial kebesaran Rembang sebagai daerah bahari mulai menurun.