Jumat, 09 Juli 2010

Rembang dan Perang China

Pada tahun 1740 meletus pemberontakan orang-orang Cina yang terjadi di Batavia akan tetapi kemudian meluas hampir seluruh Jawa. Di Jawa Tengah khususnya di ibukota Kerajaan Mataram yaitu Kartasura, para pemberontak orang-orang Cina itu pada mulanya memang mendapat dukungan oleh Raja Kartasura pada waktu itu yaitu Paku Buwana II. Sebagai akibatnya benteng kompeni di Kartasura diserang dan dikuasai oleh para pemberontak. Peristiwa yang naas bagi Kompeni ini terjadi pada tahun 1741, bahkan komandan Benteng yang bernama Vilsen dibunuh, sedangkan prajurit kompeni lainnya yang bersedia masuk Islam diberi pengampunan.58 Namun demikian setelah Kompeni menghimpun kekuasaan militer yang besar di sepanjang Pantai Utara Jawa, Paku Buwana II berbalik menarik dukungannya kepada “pemberontak”. Selanjutnya dengan terlebih dahulu meminta maaf kepada pihak Kompeni, Paku Buwana II bergabung dan bersekutu dengan Kompeni untuk bersama-sama menumpas pemberontakan Cina.


Pada tanggal 17 Juli 1741, loji di Rembang juga telah diduduki dan dibakar pasukan Tionghoa. Tentang armada kekuatan pasukan pemberontak, Willem G.J. Remmelink, menyebutkan, bahwa pada 1 Oktober 1742 menurut keterangan yang diterima Steinmets, adalah hari Joosje (JOSS), sebuah armada Cina berlayar ke luar dari Teluk Rembang. Armada ini terdiri dari 20 kapal dan sebuah mesin “aneh”, semacam rakit yang terbuat dari balok-balok besar yang dibungkus kulit sapi dan dipersenjatai meriam, dengan panjang 50 kaki dan lebar 30 kaki. Senapan-senapan Kompeni tidak berdaya menghadapinya. Keesokan harinya ketika armada sedang berlayar dalam cuaca tenang, salah satu perahu berhasil mendekati mesin aneh itu, tapi ketika kru Kompeni berteriak “menang” orang Cina meletakkan senjata rahasia itu. Ledakan besar yang terjadi merusak beberapa kapal Kompeni. Mereka berhasil dipukul mundur dan Kompeni bahkan berhasil menyelamatkan beberapa meriam dari mesin aneh itu. Sayangnya mesin itu sendiri tidak dapat diselamatkan.

Dalam perkembangannya, setelah mengetahui pengkhianatan Paku Buwana II, sebagai imbangan pihak pemberontak mengangkat Mas Garendi (cucu Sultan Mas yang akhirnya di buang ke Sailan) sebagai susuhanan ( raja) dengan gelar Sunan Amangjurat.60 Oleh karena sebagai pemimpin pemberontak Cina (kulit kuning) maka Mas Garendi lebih dikenal sebagai Sunan Kuning. Pada tahun 1742 pemberontakan Cina di bawah pimpinan Mas Garendi berhasil merebut dan menguasai Kraton Mataram, bahkan bagian-bagian terpenting dari kraton tersebut dibakar. Pada waktu itu Paku Buwana II beserta beberapa pengikutnya dan beberapa orang Belanda dua diantaranya adalah Hohendrof dan Hogewits (utusan kompeni) melarikan diri ke Ponorogo. Kepada Kompeni Paku Buwana meminta dengan sangat agar bersedia menumpas pemberontak dan mengembalikan kedudukannya sebagai Raja Mataram. Untuk itu Paku Buwana berjanji akan menyerahkan daerah-daerahnya di wilayah Pasisiran dan mengangkat patih Kartasura kepada kompeni.

Pihak Kompeni memang menyetujui permintaan Paku Buwana II tersebut, akan tetapi kompeni lebih dulu mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota-kota pantai utara Jawa. Maka terjadilah pertempuran di Bicak (Kudus) antara pasukan Kompeni melawan pasukan pemberontak. Pasukan pemberontak pada waktu itu berada dibawah pimpinan Martapura (Bupati Grobogan), Mangun Oneng (Bupati Pati) dan Panjang (tokoh pemberontak Cina) yang menggerakkan rakyat Rembang dan orang-orang Cina dari Rembang, serta Tambi seorang Bugis bekas pimpinan pedagang India di Juwana. Di pihak Kompeni yang bertempur pada waktu itu adalah pasukan kasunanan yang telah bersekutu dengan Kompeni dibawah pimpinan Pringgalaya. Dalam pertempuran tanggal 7 Mei 1742 pasukan Pringgalaya mengalami kekalahan total.

Di front yang lain pasukan Kompeni di bawah pimpinan Kapten Mom pada bulan Agustus berhasil menghalau pemberontak yang menguasai Demak. Pasukan pemberontak yang mengundurkan diri ke Welahan juga dapat dihalau kembali oleh pasukan Kapten Mom dalam pertempuran pada tanggal 24 Agustus 1742. Pada waktu itu pasukan pemberontak di bawah pimpinan Singseh dan Suryokusumo (yang ternyata adalah Raden Mas Said). Pasukan pemberontak kemudian mengundurkan diri lagi ke timur untuk bergabung dengan pemberontak yang bermarkas di Kudus. Di kota pasukan pemberontak kembali dihalau oleh pasukan Kapten Mom. Mereka terpaksa mengundurkan diri lagi, sebagian ke Grobogan (dibawah pimpinan Martapura), dan sebagian lagi ke arah timur ke Pati dan Rembang.

Rencana Kapten Mom selanjutnya adalah merebut Pati dan Rembang. Dengan bantuan pasukan yang didatangkan dari Semarang di bawah pimpinan Steinmets mereka bergerak menuju Pati dan Juwana. Akan tetapi pasukan pemberontak pada waktu itu telah mengundurkan diri ke Rembang. Maka pada tanggal 19 Oktober 1742 terjadilah pertempuran di kota Rembang. Dalam pertempuran itu timbul pasukan pemberontakan tidak mampu menghadapi pasukan Kompeni , sehingga mereka melarikan diri ke Lasem.

Setelah seluruh pantai Utara Jawa berhasil direbut oleh Kompeni, selanjutnya adalah merebut Kraton Kartasura dan mengembalikan tahta Mataram kepada Paku Buwana II. Usaha Kompeni itu memang berhasil dengan ditangkapnya Mas Gaendi sebagai pimpinan pemberontak. Sebagai hukumannya dibuang ke Sailan pada tahun 1743. Dengan berakhirnya penumpasan pemberontakan Cina, maka pada gilirannya Kompeni mengajukan tuntutan atau menagih janji Paku Buwana II pada waktu pelariannya di Ponorogo. Tuntutan Kompeni itu akhirnya dipenuhi dan dituangkan dalam perjanjian 11 Nopember 1743.

Sumber: Buku “Menggali Warisan Sejarah Kab. Rembang” Kerjasama Kantor Departemen Pariwisata dengan Pusat Studi Sejarah dan Budaya Maritim Undip Semarang Tahun 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar